Penyebaran konten-konten negatif berupa berita bohong, hoaks, hingga ujaran kebencian di dunia maya, kian mengkuatirkan. Sudah beberapa kali terjadi pergesekan ditengah masyarakat yang diawali oleh konten berita yang setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata hoaks.
Kita sebut saja dua diantaranya. Peristiwa pertama, Juli 2015 di Tolikara Papua. Pada peristiwa tersebut terjadi gesekan hebat antara dua pemeluk agama berbeda: Islam dan Kristen. Situasi sontak tegang dan memanas.Â
Berbagai informasi menyesatkan berseliweran di dunia maya dan sayangnya langsung dipercayai oleh banyak orang diduga turut membuat suasana semakin kacau. Tak terkecuali, Presiden Jokowi pun menjadi sasaran fitnah lewat berita hoaks di media sosial yang menyebutkan Presiden hanya memihak pada satu pihak saja. Â Â Â Â Â
Peristiwa kedua, terjadi tahun 2016 di kota Tanjung balai, Sumatera Utara. Kota yang sebelumnya dikenal relatif aman dan tenteram tersebut mendadak mencekam oleh amuk massa yang membakar dua vihara dan lima kelenteng. Â
Peristiwa tersebut ternyata berawal dari seorang warga keturunan Tionghoa, M, merasa terganggu dan komplain soal suara adzan maghrib dari pengeras suara di masjid yang berada tepat di depan rumahnya. Sempat terjadi perselisihan antara M dan jemaah masjid tersebut. Anggota kepolisian setempat pun telah berusaha melakukan mediasi bersama pihak kelurahan.
Tidak berhentiÂ
Berbicara soal upaya dan tindakan yang sudah dilakukan guna memerangi hoaks sebenarnya sudah cukup banyak. Dari sisi penegakan hukum, pemerintah melalui aparat keamanan sudah menggemakan perang terhadap penyebaran hoaks.
Berbagai kampanye anti hoaks di berbagai daerah dilakukan sebagai upaya sosialisasi ke masyarakat. Proses penegakan hukum terhadap orang-orang yang dengan sengaja memroduksi dan menyebarkan berita hoaks juga terus dilakukan. Â
Demikian halnya kementerian terkait, dalam hal ini Kemenkominfo telah melakukan pemblokiran situs-situs yang dianggap sebagai produsen konten-konten negatif. Â Â Â Â
Dari sisi masyarakat juga telah terbentuk berbagai komunitas anti hoaks. Secara sukarela mereka berupaya semaksimal mungkin melakukan gerakan penyadaran di tengah-tengah masyarakat akan bahaya penyebaran berita hoaks.
Ketika segala daya dan upaya tersebut sudah dilakukan, lalu pertanyaan besarnya, mengapa penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian tidak juga berhenti ?. Mengutip data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), pada akhir 2016 saja terdapat sedikitnya 800 situs yang diduga menjadi produsen virus hoaks, berita palsu dan ujaran kebencian.
Upaya perlawanan terhadap penyebaran informasi hoaks sepertinya selalu kalah cepat. Satu sindikat penyebar informasi hoaks diberantas, timbul sindikat-sindikat yang lain. Satu orang penyebar berita hoaks ditangkap, esok masih ada lagi yang melakukannya. Satu situs hoaks diblokir, besok sudah muncul lagi yang lain.
Melalui berbagai perangkat media sosial, informasi-informasi sesat terus disebarluaskan hingga dibaca banyak orang. Mereka yang malas melakukan cek dan ricek informasi lalu terpengaruh, bahkan ada yang langsung ikut menyebarluaskannya di akun pribadi masing-masing. Demikianlah, proses penyebaran informasi tersebut terus "beranak pinak" di media sosial.
Yang lebih memprihatinkan, ada pula tokoh-tokoh publik yang beberapa kali turut menjadi penyebar konten negatif. Motifnya bisa ditebak yaitu dalam konteks perebutan kekuasaan. Indikasinya, saat memasuki tahun politik, penyebaran konten negatif khususnya di media sosial sudah kian menjadi-jadi. Â Â Â Â Â
Menyentuh hati
Jika saya menjadi Menteri Agama, tentu saya harus ikut terlibat langsung dalam "perang" terhadap penyebaran konten-konten negatif di media sosial. Apalagi, isu-isu agama cukup sering dijadikan sebagai muatan konten.
Saya akan memberikan dukungan penuh pada pihak-pihak terkait yang terus bekerja untuk menangkal penyebaran konten negatif ini. Kepada pihak kepolisian, kementerian, dan elemen-elemen masyarakat lainnya. Â Â
Saya bersama seluruh jajaran di bawah akan lebih banyak turun ke bawah bertemu dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat dan mengajak mereka untuk turut serta dalam gerakan penyadaran ke seluruh warga, akan bahaya penyebaran konten hoaks karena bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Saya akan melakukan penghematan anggaran secara ketat, sehingga dana tersebut semaksimal mungkin bisa digunakan untuk menggelar lebih banyak lagi kegiatan sosialisasi dan dialog langsung dengan para pemuka agama dan masyarakat.
Saya berasumsi, kebanyakan netizen atas dasar ketidaktahuan dan sekadar ikut-ikutan, bisa terlibat menjadi penyebar konten negatif di media sosial. Mereka langsung percaya dan terpengaruh karena konten tersebut biasanya memang dikemas dengan bahasa yang sensasional dan bisa menyentuh rasa emosional. Kita lihat, muatan yang sering digunakan hampir selalu terkait dengan isu primordial dan agama.
Menyadarkan kembali hati yang sudah telanjur "termakan" oleh virus konten negatif tentu bukan pekerjaan mudah, butuh proses & waktu, serta harus dilakukan secara intensif. Untuk itulah, pendekatan melalui syiar dan pesan keagamaan sangat diperlukan. Peran para tokoh agama juga harus semakin dioptimalkan untuk terus menyebarkan semangat persaudaraan dan persatuan.
***
Jambi, 17 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H