Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Begini Sejarah Desa Lempur, Daerah Wisata di Kerinci

22 Mei 2018   20:31 Diperbarui: 23 Mei 2018   10:14 5032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa Lempur (Foto: explorejambi, dikutip nuansajambi.com)

Lempur merupakan nama desa yang ada di kabupaten Kerinci, provinsi Jambi. Menjadi menarik karena desa ini telah ditetapkan sebagai satu-satunya desa wisata terpadu di kabupaten Kerinci.

Masyarakat desa tersebut juga pernah mendapat penghargaan lingkungan tingkat nasional, Kalpataru 2015 yang diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Penyerahan Kalpataru (Foto: kerincitime.co.id)
Penyerahan Kalpataru (Foto: kerincitime.co.id)
Desa Lempur memiliki berbagai keistimewaan sehingga ditetapkan sebagai desa wisata. Desa Lempur menawarkan ragam wisata mulai dari wisata agro, wisata edukasi, wisata alam, hingga wisata budaya.

Masyarakat lokal desa yang didominasi melayu proto atau melayu tua masih mempertahankan warisan budayanya. Hingga kini masih bisa dijumpai berbagai tarian tradisional serta upacara adat saat merayakan suatu peristiwa seperti panen atau perayaan lainnya.

Keunikan lainnya, Desa Lempur memiliki lima danau sekaligus yakni Danau Lingkat, Danau Nyalo, Danau Duo, Danau Kecik dan Danau Kaco. Kelima danau tersebut mempunyai karakter yang berbeda dan 80 persen masuk dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Danau Kaco (Foto: tribunnews.com)
Danau Kaco (Foto: tribunnews.com)
Dibalik keistimewaannya tersebut, ternyata nama Lempur menyimpan kisah pilu yang dialami seorang gadis putri raja nan jelita. Hasil penelusuran dari beberapa sumber tulisan serta penuturan langsung dari warga desa setempat, diperoleh alur cerita yang dipercaya sebagai asal-usul terjadinya Desa Lempur.      

***

Alkisah di wilayah Kerinci terdapat sebuah kerajaan yang disebut dengan Puncak Tiga Kaum. Disebut demikian karena kerajaan tersebut dipimpin oleh tiga orang bersaudara sekaligus; Raja Pamuncak Rencong Talang, Raja Pamuncak Tanjung Sari dan Raja Pamuncak Koto Tapus.

Ketiganya dikenal sebagai raja yang arif dan bijaksana. Demi memudahkan roda pemerintahan, mereka membagi tiga wilayah kerajaan tersebut dan masing-masing memiliki tanggung jawab yang sama. Sementara untuk mengambil keputusan yang mungkin akan berdampak luas, ketiganya akan bermufakat untuk memutuskan yang terbaik.

Masyarakat merasa senang dipimpin ketiga raja tersebut. Kehidupan mereka semakin makmur dan sejahtera. Keamanan pun terjaga karena hampir tidak pernah terjadi keributan. Andaipun ada perselisihan diantara warga, biasanya langsung segera bisa diatasi. Warga sangat menghormati sekaligus meneladani para rajanya.

Kebersamaan antar warga juga terjalin erat, terutama saat musim tanam atau panen. Sebagian besar warga memang bekerja sebagai petani. Tidak heran karena didukung faktor alam yang sangat bersahabat; cuaca yang sejuk dan tanah yang subur. Musim tanam tiba, mereka akan bersama-sama turun ke sawah. Demikian halnya saat musim panen, warga akan bersukaria mengadakan pesta sebagai wujud syukur pada Sang Ilahi.

Suatu ketika, hasil panen warga tiga kerajaan tersebut ternyata melimpah lebih dari biasanya. Warga sangat girang gembira menyambutnya. Ketiga raja juga bersepakat membuat acara perayaan yang lebih meriah untuk menambah sukacita. Mereka sepakat menggelar acara perayaan tersebut tiga hari tiga malam lamanya. Sebagai tuan rumah adalah warga kerajaan Raja Pamuncak Rencong Talang.

Panitia perayaan dibentuk. Undangan disebar tidak hanya bagi seluruh warga tiga kerajaan tersebut namun sampai ke wilayah-wilayah kerajaan tetangga lainnya. Raja ingin rasa syukur dan bahagia itu bisa turut dirasakan oleh mereka.       

***

Raja Pamuncak Tanjung Sari, adik Raja Pamuncak Rencong Talang memiliki seorang putri nan cantik jelita bernama Puti Ayu Maryam. Kecantikannya melebihi siapapun gadis remaja yang ada di kerajaan itu. Namun sayang, elok paras tak seelok budinya. Puti sering melawan perintah orangtua, terkhusus ibunya. Sebagai anak satu-satunya, Puti benar-benar dimanja.

Hari itu, Puti Ayu bersama ibunya ikut berangkat untuk merayakan pesta panen. Setiba di tempat, Puti Ayu girang bukan kepalang. Ia bisa bertemu dengan banyak teman sebaya. Ia langsung membayangkan bisa bermain sepuasnya. Apalagi ini suasana pesta, tentu tak akan ada yang melarang. Itu yang ada dalam benaknya.

Acara perayaan pun digelar. Berbagai atraksi hiburan tampil bergantian. Semua bersukaria. Hari beranjak malam, namun kemeriahan pesta terus berlangsung. Puti Ayu bersama teman-temannya terus asyik bermain. Ibunya yang merasa waktu bermain sudah cukup, kemudian memanggilnya.

Berulangkali ibunya memanggil, tapi Puti Ayu tidak menyahut. Ia malah terus berlari, bermain bersama teman-temannya. Ibunya kerepotan mengejar bahkan terkadang harus mencari karena Puti Ayu dan teman-temannya justru menyembunyikan diri. Dengan agak bersungut-sungut Puti Ayu akhirnya mengikuti perintah ibunya.

"Siapa sebenarnya ibu tua itu ?." Seorang teman Puti Ayu tiba-tiba bertanya, saat mereka sedang berjalan.

"Dia pembantuku." Puti menjawab asal, terpengaruh suasana hatinya yang masih kesal. Tak disangka suara Puti Ayu ternyata didengar oleh ibunya yang sontak merasa terkejut, sedih, serta tidak menyangka putri yang sangat dikasihinya tega berkata seperti itu. Sepanjang jalan, ibunya terus berdoa di dalam hati memohon kesabaran dari Sang Pencipta. Perkataan Puti Ayu terus terngiang di telinganya.

Hari ketiga, hari terakhir perayaan pesta panen. Keesokan harinya para tamu undangan, termasuk Puti Ayu dan ibunya beranjak pulang ke tempat asalnya masing-masing. Ibunya berjalan di depan, Puti Ayu mengiring di belakang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba seseorang kembali bertanya pada Puti Ayu.

"Hei,, Puti Ayu. Ibu tua yang bersama denganmu itu, ibumu kan?."

"Enak saja...mana mungkin aku punya ibu yang jelek dan tua seperti itu. Lihat saja, wajah kami tak mirip sama sekali. Dia cuma pembantu yang mengasuhku." 

Sekali lagi, ibunya mendengar dengan jelas ucapan putrinya. Dalam hati ia menangis sambil meratap.

"O...Tuhan. Apakah dosa hambamu ini? Mengapa putriku satu-satunya ini sampai hati berkata aku ini adalah pembantunya, bukan ibunya. Sembilan bulan aku mengandungnya, belasan tahun aku bersusah payah merawatnya hingga tumbuh menjadi seperti sekarang ini. Sekarang, inikah yang harus kuterima? Tuhan Semesta Alam, hamba memohon, tunjukkanlah kuasamu."

Sesaat ibu Puti Ayu selesai berdoa, terjadi keanehan. Seketika langit yang tadinya cerah mendadak gelap, terdengar suara gemuruh petir menyambar, lalu diiringi hujan deras yang jatuh ke bumi. Warga berlarian mencari tempat berteduh. Saat itu mereka sedang berada di daerah rawa.

Malang nasib Puti Ayu, kakinya terpeleset masuk dalam satu lubang. Anehnya, lama-kelamaan lubang itu terus berputar dan menarik tubuhnya.

"Tolong......tolong......ibu, selamatkan aku." Puti Ayu berusaha mengulurkan tangan sambil terus menjerit memanggil ibunya.

"Aku bukan ibumu, aku ini hanya pembantu yang mengasuhmu." ibunya menjawab.

Teringatlah Puti Ayu akan kebodohannya yang tidak mengakui ibu kandungnya sendiri.

"Oh,,,,ibu. Ampunilah anakmu ini. Aku benar-benar menyesal dan sudah berdosa pada ibu. Aku sudah durhaka pada ibu. Tolonglah anakmu ini, bu...."

Mendengar perkataan anaknya, tergeraklah hati ibu Puti Ayu oleh belas kasihan. Ia mengulurkan tangan dan berusaha meraih tangan anaknya. Namun ternyata alam berkehendak lain, tubuh Puti Ayu terus masuk terseret ke dalam lubang lumpur itu. Ibunya menangis menjerit seraya memanggil-manggil nama Puti Ayu. Namun apa daya, Puti Ayu sudah hilang ditelan lubang lumpur.

Sejak saat itu, warga desa kemudian menamai daerah itu Lempur yaitu berasal dari kata lumpur.

***

Di daerah lain mungkin ada banyak kisah yang mirip dengan cerita ini, cerita tentang anak yang durhaka pada ibunya, misalnya Malin Kundang. Mungkin itu hanya cerita rakyat yang masih diragukan kebenarannya. Namun, cerita ini perlu diingat dan diceritakan kembali untuk mengingatkan siapapun agar tidak pernah durhaka pada ibunya. Jangan pernah menyakiti hati ibu kita yang sudah bersusah payah mulai mengandung, melahirkan bahkan membesarkan kita.

***

Jambi, 22 Mei 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun