Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mempelajari Faktor Kemenangan Oposisi Malaysia

10 Mei 2018   19:29 Diperbarui: 10 Mei 2018   19:40 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemenangan aliansi oposisi di Pemilu Malaysia ternyata turut menarik perhatian para politisi di tanah air. Kebetulan, kita pun sedang memasuki tahun politik dan akan segera melaksanakan Pemilu di tahun 2019 mendatang.

Pihak-pihak yang selama ini sudah mendeklarasikan diri sebagai kandidat penantang pemerintahan saat ini seakan mendapat "angin segar" sekaligus semangat baru untuk memenangkan pertarungan di Pemilu mendatang. Jika di Malaysia bisa, di Indonesia pun tentu bisa. Itu dasar pemikirannya.

Lalu mulai dicocok-cocokkan kondisi di negeri jiran tersebut dengan di negara kita. Tentu tak ada yang salah dengan itu. Dalam konteks pertarungan politik, siapapun berhak untuk mengatur strategi sekaligus menyemangati diri.

Terlebih lagi kampanye #GantiPresiden2019 sudah, masih dan sepertinya akan terus digaungkan hingga jelang pemungutan suara. Pihak oposisi selalu berdalih itu sebagai gerakan rakyat yang menginginkan perubahan, meskipun faktanya (diakui atau tidak) itu jelas diinisiasi sekaligus disemarakkan oleh para politisi.   

Dalam konteks pemilu kita, peluang oposisi untuk menumbangkan petahana saat ini tentu saja masih terbuka lebar dan sama besarnya dengan peluang petahana untuk kembali mempertahankan kekuasaan di periode kedua.

Pengamat Hubungan Internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah, Eva Mushoffa melihat, hasil Pemilu Malaysia tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kondisi politik di Indonesia.

Figur Mahathir yang sempat memimpin Malaysia pada 1981 hingga 2003 tidak bisa ditemui di Indonesia. Eva melihat, menyamakan Mahathir dengan sosok Prabowo (jika nama ini yang dijagokan) sebagai sesama oposisi pun tidak bisa dilakukan. "Keduanya termasuk incomparable (tidak setara untuk dibandingkan).    

Perbedaan kedua figur nasional ini terletak pada pencapaian. Apabila Mahatahir jelas sudah berhasil memajukan ekonomi Malaysia, Prabowo belum sampai pada tahap tersebut. Ketua umum Partai Gerindra ini belum memilik rekam jejak nyata untuk bisa meraih pencapaian seperti Mahathir sekarang.

Faktor berikutnya adalah soal pengelolaan isu. Jika di Malaysia, isu ekonomi menjadi paling dominan di sepanjang kampanye jelang pemilu, di Indonesia saat ini yang paling sering digunakan justru isu agama, kriminalisasi ulama, dan segala turunannya. 

Di sisa waktu tersisa, pertarungan dipastikan akan semakin panas. Pihak petahana tentu tak boleh menganggap remeh tren isu kemenangan pihak oposisi seperti yang terjadi di negeri jiran, Malaysia. Sama halnya, pihak oposisi jika ingin memenangkan pertarungan harus banyak belajar dan tak cukup sekadar mencocok-cocokkan dua hal yang ternyata tak terlalu pas untuk dicocokkan.

Jambi, 10 Mei 2018  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun