Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mempelajari Faktor Kemenangan Oposisi Malaysia

10 Mei 2018   19:29 Diperbarui: 10 Mei 2018   19:40 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: kompas.com)

Hasil penghitungan resmi pemilu Malaysia menunjukkan, oposisi Pakatan Harapan yang dipimpin Mahathir Mohamad (92) berhasil mengamankan 113 dari 222 kursi parlemen yang diperebutkan. Jumlah kursi tersebut cukup untuk membentuk pemerintahan baru.

Dengan demikian, Mahathir Mohamad di usianya yang nyaris seabad akan kembali menduduki jabatan penting sebagai Perdana Menteri (PM) ke-7 Malaysia. Dengan demikian Mahathir akan menyandang status PM tertua di dunia.

Pemilik nama lengkap Tun Datuk Seri Dr. Mahathir bin Mohammad yang lahir di Alor Star, Kedah, Malaysia, 10 Juli 1925 ini adalah Perdana Menteri Malaysia keempat, menjabat dari dari 16 Juli 1981 hingga 31 Oktober 2003.

Kemenangan Mahathir Mohamad mengakhiri dominasi Barisan Nasional, yang telah memerintah Negeri Jiran selama lebih dari 60 tahun. Itu berarti, mantan anak didiknya, Najib Razak juga harus lengser dari jabatan Perdana Menteri.

Dalam pemilihan tahun 2013, pihak oposisi sebenarnya sempat membuat gebrakan dengan memenangkan popular vote, namun gagal memenangkan kursi yang cukup di parlemen. Secara dramatis, pemimpin oposisi kala itu, Anwar Ibrahim bahkan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara atas tuduhan sodomi.

Mahathir Mohamad, yang pernah menjadi petinggi Barisan Nasional, sekaligus mentor Najib Razak memilih hengkang dari koalisi yang pernah mendudukkannya sebagai Perdana Menteri.

Alasannya kala itu, ia malu menjadi bagian dari partai "yang mendukung korupsi". Najib Razak dikaitkan dalam skandal korupsi. Ia diduga mengantongi uang sebesar US$ 700 juta dari 1Malaysia Development Berhad, pengelolaan dana investasi negara.

Dengan demikian, kemenangan aliansi oposisi yang dipimpin Mahathir saat ini bisa dikatakan sebagai respon mayoritas warga Malaysia yang menginginkan terjadinya perubahan.

Kepemimpinan Najib Razak dinilai memiliki banyak cacat dan kelemahan. Tokoh wartawan Malaysia, Datuk A Kadir Jasin mencatat ada beberapa isu diantaranya; selain isu korupsi 1Malaysia Development Berhad, lemahnya nilai tukar mata uang ringgit, praktik suap dan tingginya angka pengangguran.             

Mahathir Mohamad bisa dikatakan hadir di saat yang tepat. Meski usianya tak lagi muda, pengalaman kepemimpinannya di masa lalu diyakini masih dibutuhkan Malaysia. Kepemimpinan Mahatahir dalam kurun waktu 1981 sampai 2003 jelas sudah berhasil memajukan ekonomi Malaysia melalui Malaysia Vision 2020. Saat itu Malaysia bahkan menggaungkan diri sebagai Macan Asia.

Oposisi Indonesia

Kemenangan aliansi oposisi di Pemilu Malaysia ternyata turut menarik perhatian para politisi di tanah air. Kebetulan, kita pun sedang memasuki tahun politik dan akan segera melaksanakan Pemilu di tahun 2019 mendatang.

Pihak-pihak yang selama ini sudah mendeklarasikan diri sebagai kandidat penantang pemerintahan saat ini seakan mendapat "angin segar" sekaligus semangat baru untuk memenangkan pertarungan di Pemilu mendatang. Jika di Malaysia bisa, di Indonesia pun tentu bisa. Itu dasar pemikirannya.

Lalu mulai dicocok-cocokkan kondisi di negeri jiran tersebut dengan di negara kita. Tentu tak ada yang salah dengan itu. Dalam konteks pertarungan politik, siapapun berhak untuk mengatur strategi sekaligus menyemangati diri.

Terlebih lagi kampanye #GantiPresiden2019 sudah, masih dan sepertinya akan terus digaungkan hingga jelang pemungutan suara. Pihak oposisi selalu berdalih itu sebagai gerakan rakyat yang menginginkan perubahan, meskipun faktanya (diakui atau tidak) itu jelas diinisiasi sekaligus disemarakkan oleh para politisi.   

Dalam konteks pemilu kita, peluang oposisi untuk menumbangkan petahana saat ini tentu saja masih terbuka lebar dan sama besarnya dengan peluang petahana untuk kembali mempertahankan kekuasaan di periode kedua.

Pengamat Hubungan Internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah, Eva Mushoffa melihat, hasil Pemilu Malaysia tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kondisi politik di Indonesia.

Figur Mahathir yang sempat memimpin Malaysia pada 1981 hingga 2003 tidak bisa ditemui di Indonesia. Eva melihat, menyamakan Mahathir dengan sosok Prabowo (jika nama ini yang dijagokan) sebagai sesama oposisi pun tidak bisa dilakukan. "Keduanya termasuk incomparable (tidak setara untuk dibandingkan).    

Perbedaan kedua figur nasional ini terletak pada pencapaian. Apabila Mahatahir jelas sudah berhasil memajukan ekonomi Malaysia, Prabowo belum sampai pada tahap tersebut. Ketua umum Partai Gerindra ini belum memilik rekam jejak nyata untuk bisa meraih pencapaian seperti Mahathir sekarang.

Faktor berikutnya adalah soal pengelolaan isu. Jika di Malaysia, isu ekonomi menjadi paling dominan di sepanjang kampanye jelang pemilu, di Indonesia saat ini yang paling sering digunakan justru isu agama, kriminalisasi ulama, dan segala turunannya. 

Di sisa waktu tersisa, pertarungan dipastikan akan semakin panas. Pihak petahana tentu tak boleh menganggap remeh tren isu kemenangan pihak oposisi seperti yang terjadi di negeri jiran, Malaysia. Sama halnya, pihak oposisi jika ingin memenangkan pertarungan harus banyak belajar dan tak cukup sekadar mencocok-cocokkan dua hal yang ternyata tak terlalu pas untuk dicocokkan.

Jambi, 10 Mei 2018  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun