Nasib Gerindra berikut ambisi memajukan sang ketua umum, Prabowo Subianto maju sebagai calon presiden di Pilpres mendatang bisa diibaratkan memasuki fase kritis. Sebagaimana sudah saya ulas di tulisan sebelumnya, pembentukan sekretariat bersama Gerindra dan PKS tak menggambarkan kemajuan komunikasi dan komitmen politik diantara keduanya. DISINIÂ
Ibarat dua sejoli yang sudah lama menjalin komunikasi dan keakraban, PKS akhirnya dengan tegas menuntut kejelasan status hubungan. PKS menuntut Gerindra segera mengumumkan nama yang akan dipilih untuk mendampingi Prabowo di Pilpres mendatang.
Jika Gerindra ingin terus menggandeng PKS, syaratnya sudah sangat jelas. Ada sembilan nama kader terbaik yang sejak lama sudah disodorkan PKS dan dianggap layak maju di Pilpres mendatang. Gerindra tinggal pilih dan umumkan salah satu nama, maka urusan selesai.
Sikap keras PKS konon untuk membuktikan komitmen dan keriusan bersama untuk bertarung di Pilpres mendatang. Alasan lainnya, PKS menganggap kejelasan status koalisi dua partai tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap konsentrasi berikut strategi politik guna memenangkan kontestasi Pilkada serentak di daerah-daerah.
PKS melalui salah satu petingginya sudah mengultimatum Gerindra harus segera menentukan sikap sebelum memasuki puasa bulan suci ramadhan. PKS sepertinya paham betul bagaimana rasanya "digantung" dan tak ingin memperpanjang masa-masa penantian yang menyesakkan itu. Â Â Â Â Â
Kegalauan Gerindra
Sikap Gerindra yang cenderung mengulur waktu untuk mengumumkan deklarasi pasangan calon di Pilpres mendatang sebenarnya bisa dimaklumi. Kekalahan berturut-turut Prabowo di ajang Pilpres jelas pengalaman yang sangat menyakitkan. Secara hitung-hitungan yang realistis, Pilpres 2019 bisa dikatakan sebagai peluang terakhir Prabowo untuk ikut kontestasi politik sebesar Pilpres.
Saya percaya, kengototan beberapa petinggi Gerindra yang berulangkali menyatakan bahwa Prabowo akan maju sebagai capres dan bukan sebagai king maker tak bisa dianggap sebagai sikap final partai tersebut. Fakta hari ini, Gerindra kelihatannya masih menimbang nama-nama calon yang dianggap bisa memenangkan pertarungan. Â
Rilis survey yang tak juga "ramah" terhadap popularitas dan elektabilitas Prabowo (meski berulangkali dibantah keakuratannya) pasti menjadi bahan perbincangan internal partai tersebut bahkan mungkin oleh Prabowo sendiri. Jokowi selaku calon petahana kian hari terlihat kian sulit dikalahkan oleh calon manapun.
Gerakan tagar #2019GantiPresiden yang sempat mencuat selama beberapa waktu sepertinya akan segera tenggelam dan kehilangan daya magisnya pasca insiden persekusi dan intimidasi yang dilakukan oleh massa aksi terhadap seorang ibu yang membawa anaknya di acara Car Free Day kemarin di Jakarta.
Kegalauan Gerindra dipastikan kian bertambah setelah adanya desakan PKS saat ini. Bagaimanapun, PKS merupakan sekutu politik terdekat Gerindra sejak awal dan hingga kini.
Sementara, Gerindra mau tak mau harus berkoalisi dengan partai lain jika ingin memajukan calonnya di Pilpres mendatang.
Dukungan dari PKS kelihatan jauh lebih rasional daripada menunggu atau berharap dukungan dari partai politik besar yang lain seperti PAN, PKB, Demokrat atau mungkin PPP yang belum ada kepastian.
Persoalannya, masing-masing partai tersebut sudah memiliki jagoan masing-masing yang siap maju di Pilpres mendatang. Zulkifli Hasan (ketum PAN), Muhaimin Iskandar (ketum PKB), AHY (putra ketua umum Demokrat, SBY), Romahurmuziy (ketum PPP) sama-sama terlihat berambisi maju di Pilpres mendatang, minimal sebagai calon wakil presiden. Mereka bahkan tak terlalu mempermasalahkan maju sebagai pendamping atau penantang Jokowi sebagai petahana. Â
Simalakama
Desakan PKS terhadap Gerindra bisa dikatakan sebagai siasat cerdik yang luar biasa guna menaikkan posisi tawar partai tersebut terlebih di tahun politik saat ini. PKS seolah tak ingin mengulangi pengalaman di Pilkada DKI Jakarta sebelumnya, ketika PKS hanya kebagian jatah sebagai ketua tim pemenangan padahal sejak awal mereka sudah punya calon yang digadang-gadang sudah siap maju dan bertanding.
Di ajang kontestasi politik seakbar Pilpres, PKS seolah tak ingin melewatkannya. Posisi tawar mereka sebagai satu-satunya partai politik yang paling setia selalu mendampingi Gerindra saat ini jelas patut diperhitungkan.
Desakan PKS bisa diibaratkan sedang menyodorkan "buah simalakama" ke Gerindra. Dimakan mati ayah, tak dimakan mati ibu. Saat ini Gerindra jelas dalam posisi serba salah untuk menentukan sikapnya sendiri. Â Â Â Â Â
Desakan PKS apalagi yang sampai memberikan limit waktu, seolah menjadi pengingat keras bahwa Gerindra tak lagi memiliki waktu untuk bermanuver atau sekadar menunggu momentum yang tepat.
Andai Gerindra tak juga menentukan sikapnya, konsekuensi terburuk adalah PKS segera membelot meninggalkan mereka dan masuk pada poros politik yang lain. Jika terjadi, ini merupakan mimpi terburuk Gerindra di hajatan Pemilu. Mereka kemungkinan menjadi "jomblo politik" yang terpaksa harus duduk di bangku penonton menyaksikan pertarungan para kontestan.
Pilihan paling logis adalah menuruti kemauan (tuntutan) PKS. Meski logis, tentu tetap ada konsekuensinya dan yang paling penting adalah hitung-hitungan menang-kalah. Masalahnya, diantara sembilan nama kader PKS yang diajukan tersebut justru kalah populer dengan nama-nama bakal cawapres lainnya seperti Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Mahfud MD, AHY atau TGB.
Persoalan berikutnya, jika Gerindra menuruti tuntutan PKS, itu ibarat "kawin paksa" yang harus dilakukan demi menghadapi Pilpres mendatang. Nah,,, kalau sudah kawin paksa, siapapun tahu biasanya ending nya akan bagaimana. Â Â Â Â
Jambi, 1 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H