Siapa dan adakah makhluk hidup yang bisa hidup tanpa air? Jawabannya, tidak ada. Air sangat besar kegunaannya dalam kehidupan di dunia ini.Â
Begitu lekatnya air dalam kehidupan kita, namun kadangkala kita justru sering lupa manfaatnya. Seperti kata pepatah orang bijak, manusia baru menyadari pentingnya sesuatu (benda/orang) yang dimilikinya setelah ia kehilangan "sesuatu" tersebut.
Demikian halnya, terkadang kita baru menyadari manfaat air bila kita mulai mengalami kesulitan mendapatkannya. Ketika saluran air mengalami gangguan, dan keluarnya air menjadi mampat dan kotor, mulailah kita merasa resah. Atau kita semua pun sebenarnya sudah bisa menjelaskan bagaimana perasaan kita masing-masing ketika misalnya air semakin mendadak "mati", tidak mengalir hingga berjam-jam ke rumah kita.
Air merupakan barang kebutuhan yang sifatnya sangat penting/vital bagi kelangsungan hidup makhluk di muka bumi ini. Air tidak tergantikan oleh barang lain (nonsubstitution good). Namun patut menjadi perhatian bersama, saat ini secara kuantitas maupun kualitas, air di bumi kian mencemaskan. Situs Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) juga sudah mengingatkan, pada 2025 terdapat 1,8 miliar penduduk di kota-kota atau daerah-daerah yang mengalami kelangkaan air secara absolut.
Beberapa pengamat meramalkan, tidak lama lagi dua pertiga penduduk dunia akan stres karena menghadapi persoalan air. Maka, air akan menjadi sumber konflik paling potensial pada abad ini. Kalimat-kalimat peringatan semacam itu juga sudah pernah disampaikan beberapa tahun lalu oleh mantan Wakil Presiden Bank Dunia, Ismail Serageldin. Ia menyatakan, "Perang pada masa depan tidak lagi dipicu oleh perebutan emas hitam (minyak), tapi emas biru (air)".
Peringatan tersebut seakan menemukan jawabannya pada pertengahan Juli 2005, ketika Reuter dan BBC memberitakan terjadinya konflik air yang memicu pembantaian massal. Ratusan Suku Borana, Ethiopia, mengepung sebuah sekolah dasar dan perkampungan di Desa Dida Galgadu yang didominasi warga klan Gabra dari Kenya. Insiden yang dipicu oleh perebutan sumber air dan wilayah padang rumput penggembalaan itu bahkan menewaskan 72 orang, 22 di antaranya anak-anak.
Menyayangi air
Ada persepsi keliru yang menyebutkan air tidak akan mungkin pernah habis karena alam pasti terus-menerus menyediakannya dengan melimpah. Inilah fakta yang sebenarnya. Meskipun 70% permukaan bumi tertutup air, namun sesungguhnya hanya sekitar 2.5% saja yang berupa air tawar, sementara yang lainnya merupakan air asin. Itu pun tidak sampai 1% yang bisa dikonsumsi, karena sisanya merupakan air tanah yang dalam atau berupa es di kutub.
Sangat keliru jika mereka memanfaatkan air seolah-olah air berlimpah dan merupakan barang bebas. Padahal semakin terbatas jumlahnya akan berlaku hukum ekonomi, dimana air merupakan benda ekonomis.
Untuk mengingatkan bahwa bumi yang terdiri dari tanah dan air ini sangat kecil dan rapuh sehingga wajib kita pelihara, maka semua negara anggota PBB sepakat menetapkan suatu momen untuk memperingati Hari Air Sedunia (World Water Day).
Peringatan tersebut sebagai wahana untuk memperbaharui tekad manusia untuk melaksanakan Agenda 21 yang dicetuskan pada tahun 1992 dalam Earth Summit yang diselenggarakan di Rio de Janeiro.
Pada Sidang Umum PBB ke-47 tanggal 22 Desember 1992 melalui Resolusi Nomor 147/1993, usulan Agenda 21 diterima dan sekaligus ditetapkan juga pelaksanaan Hari Air Sedunia (HAS) setiap tanggal 22 Maret mulai tahun 1993 di setiap negara anggota PBB.
Pada peringatan HAS, setiap negara perlu merenungi dan menghayati arti penting air sebagai sumber kehidupan, serta bersama-sama mengamankan upaya-upaya yang arif dan bijaksana untuk mendayagunakan, melestarikan, dan mengamankan SDA yang merupakan milik bersama umat manusia.Â
Peringatan hari air sedunia juga kiranya mengingatkan setiap kita agar benar-benar bijak dalam menggunakannya. Selain menuntut peran pemerintah, kita semua juga perlu mencanangkan gerakan menyayangi air. Menyayangi air berarti menggunakannya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab.
Air harus dipergunakan seoptimal mungkin. Jangan lagi air dibiarkan tumpah berhamburan dan terbuang begitu saja. Pola hidup hemat air harus menjadi budaya di masyarakat kita, yang tentunya bisa dimulai dari hal terkecil sekalipun. Misalnya, pemanfaatan ulang (reuse) air buangan untuk menyiram tanaman (gardening) atau mengguyur toilet (flushing).
Kita juga harus belajar untuk "memanen" hujan (rain harvest). Prinsipnya, mencegah seminimal-minimalnya air hujan terbuang ke laut untuk dimanfaatkan pada musim kemarau. Upaya tersebut bisa  ditempuh lewat pembangunan sarana infrastruktur penampung air misalnya; waduk, embung, situ, sumur-sumur resapan, lubang resapan dan sebagainya.
Gerakan penyelamatan lingkungan misalnya dalam kegiatan penghijauan pun menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi. Gerakan menanam pohon kiranya tidak berhenti pada acara-acara seremonial belaka. Kegiatan-kegiatan semacam itu perlu dilakukan secara berkelanjutan.
Akhirnya, menyelamatkan bumi dari ancaman kekeringan dan kekurangan air merupakan tanggungjawab bersama. Mari melakukannya dengan menyayangi air. Menyayangi air berarti menyayangi kehidupan.
Jambi, 22 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H