Menjawab
Jika dicermati secara mendalam, analisis Mardani diatas jelas bisa menggambarkan potensi sekaligus kelemahan Jokowi dalam menyongsong Pilpres mendatang. Dengan kata lain, Jokowi dan timnya harus mampu menjawab tiga siasat diatas dengan strategi jitu guna memenangkan pertarungan.
Poin pertama, itu jelas menjadi potensi Jokowi sekaligus menjadi tantangan bagi para calon penantangnya. Mardani benar, hari-hari ini kita lebih sibuk membicarakan siapa calon potensial pendamping Jokowi dibandingkan siapa calon penantangnya.
Beberapa partai politik termasuk para tokoh justru terkesan berlomba ingin merapat ke poros Jokowi lalu dipinang menjadi Cawapres. Ide pembentukan poros ketiga, di luar poros Jokowi dan poros Prabowo kian tak jelas realisasinya. Â
Persoalan di poros Prabowo pun nyaris sama. Hingga hari ini, belum jelas sikap poros tersebut mengenai calon yang akan diusung. Ini mengindikasikan sikap tidak percaya diri.
Memang bisa dimaklumi, selain faktor elektabilitas Jokowi yang tinggi, dua kali kekalahan Prabowo di Pilpres (sebagai Cawapres dan Capres) memang harus membuat tim lebih strategis dan hati-hati dalam mengambil keputusan.
Persoalannya, ketika hal ini semakin berlarut-larut, tim pemenangan akan kehabisan waktu untuk memoles dan memperkenalkan kandidat yang akan diusung ke publik. Sementara petahana dengan posisinya saat ini jelas diuntungkan karena bisa menjalankan tugas sembari "berkampanye".
Poin kedua, potensi kekuatan melalui gelombang persatuan umat. Ini bisa benar, bisa juga tidak. Namun fakta menunjukkan kekuatan massa tak seheboh masa Pilkada DKI Jakarta. Perpecahan sudah terjadi di kalangan pemimpin organisasi.
Hasil pilkada serentak tahun ini mungkin bisa menjadi alat uji sederhana apakah kandidat yang konon sudah direkomendasikan para pemimpin umat bisa meraih kemenangan atau tidak.
Namun demikian, Jokowi dan timnya harus tetap mengantisipasi hal ini. Faktanya berbagai isu miring bahwa pemerintah tidak pro Islam sudah terus digemakan hingga kini dan bahkan nanti.
Strategi paling praktis sekaligus pragmatis yang bisa diambil adalah memasangkan Jokowi dengan tokoh dianggap bisa merepresentasikan dan memiliki kedekatan dengan suara pemilih Muslim.