Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bisnis dan Konsep "Ride Sharing" Layu Sesudah Berkembang

8 November 2017   01:18 Diperbarui: 8 November 2017   01:25 1259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemacetan (Foto:Tempo.co)

Kemacetan yang terjadi di kota-kota besar adalah realita. Dampak negatif yang sudah ditimbulkannya pun realita sekaligus fakta. Bukan hanya soal waktu dan energi yang terbuang percuma tetapi juga terkait psikologi, kesehatan bahkan nyawa manusia. Berdampak pula pada terganggunya hubungan sosial di lingkungan dan keluarga hingga menurunnya produktivitas kerja.                       

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa kemacetan terjadi karena jumlah kendaraan bermotor tak sebanding dengan ketersediaan jalan raya. Penambahan ruas jalan tak pernah sanggup mengejar pertambahan jumlah kendaraan. Perbaikan pelayanan transportasi publik memang harus terus dilakukan dan dikembangkan, sembari alternatif penyelesaian masalah kemacetan harus terus diusahakan.  

Beberapa kajian menunjukkan konsep ride sharing bisa dijadikan alternatif solusi menghadapi kemacetan sekaligus memberikan beberapa keuntungan. AlphaBeta, sebuah perusahaan penasihat strategi bisnis berlokasi di Singapura dan Sydney yang jangkauannya meliputi Australia dan Asia, melakukan penelitian terhadap penggunaan mobilitas bersama di 33 kota besar di Indonesia. Hasilnya menunjukkan mobilitas bersama dapat mengurangi beban finansial akibat waktu perjalanan sebesar Rp138 triliun. 

Layanan ride sharing bisa memberikan transportasi yang lebih hemat dibandingkan memiliki sebuah mobil, penghematan yang dilakukan bisa mencapai 10-65 persen. Analisis penelitian tersebut memperkirakan saat ini beban keuangan akibat waktu tempuh perjalanan di kota-kota di Indonesia mencapai Rp498 triliun per tahun dan dapat meningkat sebesar 41 persen di tahun 2020. 

Penggunaan mobilitas bersama juga diperkirakan dapat mengurangi lebih dari 71 juta perjalanan dengan mobil di jalan-jalan di Indonesia di tahun 2020. Dengan demikian terjadi pengurangan emisi CO2 serta polusi udara yang berasal dari kendaraan yang setara dengan penyelamatan 415.000 hektar lahan dari penebangan hutan. 

Penelitian tersebut juga memperkirakan saat ini ada 40.000 hektar lahan yang dipakai tempat parkir kendaraan pribadi atau setara 5 persen dari total lahan di kota-kota di Indonesia. Sebanyak 6.645 hektar dari lahan ini adalah lahan komersial di lokasi strategis yang bisa dimanfaatkan sebagai motor pembangunan. 

Senada dengan AlphaBeta, penelitian Boston Consulting Group bersama Uber menunjukkan bahwa penerapan ride sharing dapat menjadi alternatif mengurangi penggunaan jumlah kendaraan pribadi bisa dikurangi hingga 60 persen di Jakarta. Selain itu, kajian ini juga menunjukkan saat ini ada lebih dari 50 persen mobil di jalan yang hanya digunakan oleh 1 orang saja.   

Berkembang lalu layu (?)

Konsep ride sharing mulai dilirik dan berkembang pesat sebagai peluang bisnis di Indonesia sejak 2015. Sedangkan konsepnya sudah dikembangkan oleh beberapa komunitas sejak 2005. Kita mengenal Nebeng.com. Situs yang pertama kali diluncurkan pada 28 September 2005 oleh Rudyanto Linggar. Terdapat juga beberapa situs lain yang berafiliasi dengan Nebeng.com seperti Kombeng.com (komunitas nebeng) dan Nebeng.info. 

Kembali soal bisnis. Sangat disayangkan, perkembangan pesat bisnis dengan konsep ride sharing di tahun 2015 tak segera diantisipasi pemerintah sebagai upaya menata dan melegalkannya. Ketika sudah mulai timbul persoalan, setahun berikutnya baru dikeluarkan Peraturan Menteri nomor 32 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Artinya, selama setahun bisnis tersebut berjalan tanpa ada payung hukum dari pemerintah yang bisa menaunginya. 

Persoalan berikutnya, aturan yang dibuat pemerintah tersebut mendapatkan penolakan dari pengemudi taksi online. Akibatnya, pemberlakuan Permenhub No. 32/2016 pada Desember 2016 juga terpaksa ditunda bahkan akhirnya digantikan dengan yang baru, yakni Permenhub No.26/2017 tentang penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek. 

Permenhub No. 26/2017 ternyata punya nasib yang sama seperti aturan yang sudah ada sebelumnya. Aturan ini digugat oleh beberapa pengemudi taksi online ke Mahkamah Agung (MA). Sebanyak 14 pasal di Permenhub No. 26/2017 pun diputuskan harus dicabut paling lambat 1 November 2017. 

Timbul persoalan lagi, Pemda di sejumlah daerah melarang kegiatan taksi online dengan alasan untuk menghindari gesekan fisik antara pengemudi taksi aplikasi dan taksi konvensional. Pemerintah merespons dengan merevisi Permenhub No. 26/2017 dan mulai berlaku sejak 1 November 2017. 

Kita juga heran pemerintah sepertinya belum satu suara dalam menyikapi keberadaan bisnis ini. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Kondisi ini tentu sangat disayangkan karena membuat nasib bisnis ini semakin tidak jelas. Faktanya, bisnis dengan konsep ride sharing bisa berkembang pesat karena diterima dengan baik oleh masyarakat. Seandainya pemerintah lebih sigap untuk mengatur dan memberikan payung hukum yang jelas, kemungkinan bisnis ini tidak akan layu setelah sempat berkembang. Dan, kita bisa mengurangi realita kemacetan karena memiliki salah satu alternatif solusinya.              

 


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun