"Kenapa begitu?"
"Mungkin kamu sudah hilang kabar, mungkin nasibku akan sama saja seperti mantan-mantanmu yang lain itu, kan?" Aku tertawa kecil, menggodanya.
"Aku nggak pernah menganggapmu sama dengan mereka,"
"Tapi aku juga nggak bisa memastikan kamu nggak akan meninggalkanku seperti kamu memutuskan mantan-mantanmu." Perbincangan ini terlalu mendebarkan untuk bisa kutahan sendirian. Kali ini saatnya. Biarlah. Aku tak punya banyak kesempatan untuk mengatakan semuanya.
"Aku sudah menyukaimu lama sekali, jauh sebelum aku bertemu dengan pacarku yang pertama. Kalau kamu tahu, malam itu saat aku bilang bahwa aku menyukaimu dan memintamu jadi pacarku. Aku sungguh-sungguh mengatakannya Sin. Aku sungguh-sungguh."
Kuhela napas perlahan, berat sekali obrolan malam ini. Jujur, aku akan lebih senang dia bercerita tentang pacarnya daripada harus menodongku dengan rentetan kalimat samacam itu.
"Rey, aku tahu perasaanmu tulus." Jawabku setelah menimbang sebelumnya, kutatap matanya berusaha meyakinkan.
"Tanpa kamu bilang pun, aku sebenarnya sudah tahu. Aku bisa merasakan itu."
"Lalu kenapa?"
Pertanyaannya seolah mengintimidasi, meminta penjelasan, sesuatu yang selama ini tidak pernah kubicarakan dengannya panjang lebar.
"Kalau waktu itu aku bisa bicara terus terang, aku ingin bilang bahwa takut sekali rasanya harus kehilangan seseorang. Aku memilih menolakmu karena aku enggak mau kehilangan seseorang dalam hidupku. Kamu temanku yang sangat baik, kalau dulu aku menerima tawaranmu lalu kamu jadi pacarku, aku nggak bisa membayangkan bagaimana kalau nanti kita putus. Aku akan kehilangan pacar sekaligus teman baik. Aku nggak mau kehilangan dua-duanya. Jadi aku harus memilih salah satu. Dan aku memilih bilang tidak."