Mohon tunggu...
Dini Wikartaatmadja
Dini Wikartaatmadja Mohon Tunggu... profesional -

Pustakawan, Penulis, Violist

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan

21 Juli 2014   14:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:43 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu Eyang Murtini menyela, “Nah kalo yang ini Pustakawan”, kata beliau sambil senyum. Aku tertawa begitupula dengan Eyang Nyoman. “Kamu kerja dimana?tanyanya kembali.

Dengan pelan-pelan aku katakan, “Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia”,jawabku. Eyang Nyoman pun mengangguk-angguk mendengar jawabanku.

Seketika itu beliau pun langsung bercerita tentang kisah hidupnya. Eyang Murtini duduk persis di samping Eyang Nyoman. Sedangkan aku dan bu Ratih duduk di hadapan Eyang Nyoman, di kakinya. Ya. Kalau diingat-ingat kami seperti dua orang “anak dan cucu” yang sedang siap-siap mendengarkan dongeng. Para Eyang di atas, dan kami para “anak dan cucu” di bawah bersatu dengan lantai.

“Dulu saya jatuh cinta dengan dia. Dia dari keluarga kaya. Saya dari keluarga sederhana. Tapi dia juga cinta dengan saya, hahaha”, kata Eyang mengawali ceritanya dan diselingi dengan senyum dan tawa.

Aku dan bu Ratih mengangguk-angguk takjub. Melihat kami yang begitu asyik menjadi pendengar setianya. Eyang Nyoman pun menceritakan kembali kisah cintanya, “Susah sekali mendapatkan dia. Dia ini orang kaya. Saya ini orang sederhana, tidak punya apa-apa. Tapi kami bisa menikah, hahaha. Singkat cerita, perjuangan Eyang Nyoman dalam mendapatkan Eyang Murtini sangatlah luar biasa.

Eyang berhasil menaklukan hati orangtua Eyang Murtini dengan sebuah buku. Yup, buku! Buku yang beliau tulis sendiri dengan tangannya dan kedalaman pengetahuannya tentang falsafah Hindu. Itu adalah buku yang membuat luluh hati Sang Calon Mertua. Momen itu rupanya sangat mambekas di memori Eyang Nyoman. Betapa tidak, di hadapan semua orang desa saat itu yang sedang berkumpul untuk membaca Kitab bersama, lalu dengan bangganya Sang Calon Mertua memuji-muji Eyang berikut buku yang telah ditulisnya seraya berkata, “ini calon menantuku yang tulis”. Bisa kubayangkan perasaaan spesial yang menyelimuti hati Eyang Nyoman kala itu. Pasti sangat membahagiakan! Aku terpesona.

Tiba-tiba  cerita pun melompat ke jaman orde lama. “Saya diminta datang ke Istana Negara oleh Bung Karno. Bung Karno itu suka lukisan perempuan telanjang, hahaha. Lalu Bung Karno bilang, “Hei Nyoman,Ibu saya orang Bali, kamu orang Bali,jadi kita sama-sama orang Bali, mari kita berfoto”.

“Saya suka Bung Karno karena dia masih mau bergaul dengan orang kecil seperti saya”, kenangnya dalam.

Pikirku saat itu,”Oh My GOD, Eyang dihadapanku ini  bukanlah orang sembarangan. Betapa tidak orang nomor satu di Indonesia saat itu justru yang minta foto dengan beliau!

Dua minggu yang lalu saat kami berjumpa kembali di rumah Eyang. Beliau masih sama, gagah! Aku, Eyang Murtini dan Eyang Nyoman makan malam bersama. Kuperhatikan beliau makan dengan lahap dan tenang. Aku dibuat senang juga melihatnya. Apalagi malam itu ada makanan kesukaanku, Cap Cai! Setelah makan kami pun kembali berbincang tentang anak dan cucu-nya yang hebat-hebat. Diikuti Eyang Murtini yang mengupaskan mangga untuk kami berdua.

Sesekali kuperhatikan mereka berdua. Cara Eyang Murtini melayani Eyang Nyoman dengan sabar dan penuh kasih. Walau di usianya yang telah sangat sepuh masih bisa kulihat bara cinta di mata Eyang Nyoman untuk Eyang Murtini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun