Chia, 121
Doorrr...doorrr...doorr
Suara tembakan itu jelas terdengar di telinga, berbarengan dengan teriakan warga termasuk aku. Pecahan kaca, batu serta kayu masih berserakan di jalan. Rasa ketakutan dan suasana mencekam masih menyelimuti areal di pemakaman di utara jakarta ini. Petugas berseragam dan senjata lengkap terus berjaga dan siaga mengantisipasi situasi kondisi sekitar. Lemparan benda-benda keras terus dilayangkan ke arah petugas. Beruntung semua menggunakan helm, jadi kalau pun batu itu mampir di kepala, masih aman.
Ini betul-betul mencekam. Tak berbeda jauh dengan film action, hanya saja ini nyata di depan mata. Kakiku serasa tak menapak ke tanah. Degupan jantung pun berdetak lebih kencang. Dan keringat dingin mulai bercucuran di dahi.
* * *
“Ray,” suara lantang memekik telingaku.
“Siiiaapp....,”
“Ray, loe jangan misah dari gue dong! Gue bingung nyariin, loe malah sembunyi di belakang Polisi. Kalauloe kenapa-napa? Loe itu tanggung jawab gue,” oceh laki-laki berseragam hitam itu.
Raya terpaku.
“Yaaa, gue pikir aman kalau gue di sini bang”.
Dan tiba-tiba, bongkahan batu mendarat di pelis kanan Gigih. Seketika darah segar mengucur. Dengan cekatan, Raya menarik tangan dan membawanya menepi di balik petugas yang berdiri tegap menggalau bebatuan yang sengaja dilemparkan ke arahnya.
“Bang, loe ngga apa-apa kan? Maaf yaa ini semua gara-gara gue”.
Gigih tampak serius menyeka darah yang terus keluar, tanpa mengubris kata-kata Raya. Dengan bantuan beberapa petugas medis yang ada, darah itu berhenti mengalir.
“Thanks, udah peduli sama gue”. Suaranya bergetar dan menahan sakit.
Raya hanya menganggukan kepala. Tak banyak kata yang ia ucapkan selain isyarat. Ketakutan semakin menjadi ketika mendengar ada korban dari petugas yang terkena sabetan senjatan tajam.
“Ray, loe jangan jauh dari gue. Cukup gue yang luka”. Gigih memegang erat tangan Raya.
“Loe partner gue. Jadi kalau ada apa-apa berarti tanggung jawab kita berdua,” ucap Raya.
Kali pertama Raya menghadapi kecemasan yang teramat sangat. Nyawa menjadi taruhan jika salah langkah dan tidak hati-hati. Bagai makan buah simalakama, maju salah mundur pun salah. Hadapi saja kenyataan yang ada di depan mata. Ini merupakan tugas yang harus aku jalankan sesuai dengan profesiku sebagai Jurnalis. Meski kadang nyawa pun bisa menjadi taruhan jika dalam suasana seperti ini.
***
“Ray, sepuluh menit dari sekarang bisa Live?,” kata perempuan di ujung telepon.
“Hah, sepuluh menit lagi? Ngga salah mba? Gue belum ada bahan apa-apa buat Live,” jelas Raya.
“Ngga mungkin belum ada bahan. Liat sekitar loe ada apa aja, amati dari sekarang sepuluh menit lagi gue telepon buat Live dan standby di depan kamera. Tut...tut tuuutt...”. telepon terputus.
Astagaa Tuhan... situasi seperti ini yang tak pernah diharapkan. Terkadang ingin berteriak dan menangis sejadi-jadi jika menghadapi manusia-manusia ‘Superior’ itu. Tapi apa mau dikata, ini adalah tugas yang harus dijalankan. Ini adalah profesi pilihan kami dimana deadline selalu mengintai hari-hari kami.
‘Standby 3...2...1...’
Tak bisa menghindar jika account down mulai dikumandangkan. Siap tidak siap harus dihadapi. Tak peduli betapa gugupnya bertatapan dengan sorotan kamera. Tak peduli pula dengan apa yang ada di kepala kami saat itu. Ruweeett sekali seperti benang kusut. Dalam keadaan seperti ini rasanya ingin sekali memiliki ilmu menghilang sejenak. Ketika kembali sudah melewati jam dimana tidak lagi dengan posisi standby di depan kamera.
Bisa mungkin itu karena terbiasa. Itulah kata yang kebanyakan dikatakan orang. Itu benar adanya dan terbukti. Sebagai bukti nyata, Raya tak segan-segan jika sewaktu-waktu diminta untuk melaporkan langsung kejadian atau peristiwa di suatu tempat.
***
Jarum jam baru menunjukan pukul 6 tepat, tidak kurang dan tidak lebih. Inilah waktu yang tepat untuk menggelilingi Ibukota di pagi hari. Dimana langit masih terasa sendu lantaran tertutup mendung di pagi ini. Raya melangkahkan kaki menuju laki-laki yang sudah bersiap mendampinginya untuk menyusuri perkampungan yang memang letaknya di bibir sungai. Nyaris tak ada batas antara rumah dengan bibir sungai. Butuh perjuangan untuk bisa sampai ke lokasi langganan banjir ini. Dengan bantuan petugas dan volunteer kami menyusuri perkampungan sekitar.
“Ray, nanti loe masuk segmen pertama tapi setelah berita paket yaa...”. Entah itu suara siapa yang terdengar di earphone yang terpasang ditelingaku.
“Siiiaaapp...”
Dia mengamati dari layar kamera yang ada di depannya. Sesekali dahinya berkerut. Sesekali tersenyum simpul.
“Ray, geser ke kiri dikit dong...,” pinta si hidung Betet.
“Nih, kiri itu ke sini bukan ke situ. Sana itu kanan. Kanan kiri aja mesti diajarain”. Pelan tapi dalam dan mengena ke hati.
Standby 3...2...1...
Lima menit kemudian.
“Good job Ray... thank uu...”. kata-kata itu seolah menjadi pertanda ending dari Live Report.
Byuurr...
Peristiwa besar terjadi di depan mata. Yup, sang Kameraman handal terjatuh dan nyaris tenggelam dalam banjir. Mungkin jadi Hot News ketika kamera itu masih dalam keadaan on.
“Pak Har, Betet jatuh dan kakinya kesleo. Gimana ini pak, balik kanan atau bertahan di sini?,” tanya Raya.
“Tapi kameranya ngga apa-apa kan?”.
What? Kenapa kameranya yang dikhawatirkan? Astagaaa....
Hmmm, itulah kehidupan.
Hadapi dengan senyuman dan ambil hikmahnya apa pun yang sudah terjadi. Karena semua kehendak-Nya.
I love my job!!
NB: Untuk membaca karya-karya peserta lain yang kece-kece silahkan menuju akun Fiksiana Community
dan silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H