Astagaa Tuhan... situasi seperti ini yang tak pernah diharapkan. Terkadang ingin berteriak dan menangis sejadi-jadi jika menghadapi manusia-manusia ‘Superior’ itu. Tapi apa mau dikata, ini adalah tugas yang harus dijalankan. Ini adalah profesi pilihan kami dimana deadline selalu mengintai hari-hari kami.
‘Standby 3...2...1...’
Tak bisa menghindar jika account down mulai dikumandangkan. Siap tidak siap harus dihadapi. Tak peduli betapa gugupnya bertatapan dengan sorotan kamera. Tak peduli pula dengan apa yang ada di kepala kami saat itu. Ruweeett sekali seperti benang kusut. Dalam keadaan seperti ini rasanya ingin sekali memiliki ilmu menghilang sejenak. Ketika kembali sudah melewati jam dimana tidak lagi dengan posisi standby di depan kamera.
Bisa mungkin itu karena terbiasa. Itulah kata yang kebanyakan dikatakan orang. Itu benar adanya dan terbukti. Sebagai bukti nyata, Raya tak segan-segan jika sewaktu-waktu diminta untuk melaporkan langsung kejadian atau peristiwa di suatu tempat.
***
Jarum jam baru menunjukan pukul 6 tepat, tidak kurang dan tidak lebih. Inilah waktu yang tepat untuk menggelilingi Ibukota di pagi hari. Dimana langit masih terasa sendu lantaran tertutup mendung di pagi ini. Raya melangkahkan kaki menuju laki-laki yang sudah bersiap mendampinginya untuk menyusuri perkampungan yang memang letaknya di bibir sungai. Nyaris tak ada batas antara rumah dengan bibir sungai. Butuh perjuangan untuk bisa sampai ke lokasi langganan banjir ini. Dengan bantuan petugas dan volunteer kami menyusuri perkampungan sekitar.
“Ray, nanti loe masuk segmen pertama tapi setelah berita paket yaa...”. Entah itu suara siapa yang terdengar di earphone yang terpasang ditelingaku.
“Siiiaaapp...”
Dia mengamati dari layar kamera yang ada di depannya. Sesekali dahinya berkerut. Sesekali tersenyum simpul.
“Ray, geser ke kiri dikit dong...,” pinta si hidung Betet.
“Nih, kiri itu ke sini bukan ke situ. Sana itu kanan. Kanan kiri aja mesti diajarain”. Pelan tapi dalam dan mengena ke hati.