“Bang, loe ngga apa-apa kan? Maaf yaa ini semua gara-gara gue”.
Gigih tampak serius menyeka darah yang terus keluar, tanpa mengubris kata-kata Raya. Dengan bantuan beberapa petugas medis yang ada, darah itu berhenti mengalir.
“Thanks, udah peduli sama gue”. Suaranya bergetar dan menahan sakit.
Raya hanya menganggukan kepala. Tak banyak kata yang ia ucapkan selain isyarat. Ketakutan semakin menjadi ketika mendengar ada korban dari petugas yang terkena sabetan senjatan tajam.
“Ray, loe jangan jauh dari gue. Cukup gue yang luka”. Gigih memegang erat tangan Raya.
“Loe partner gue. Jadi kalau ada apa-apa berarti tanggung jawab kita berdua,” ucap Raya.
Kali pertama Raya menghadapi kecemasan yang teramat sangat. Nyawa menjadi taruhan jika salah langkah dan tidak hati-hati. Bagai makan buah simalakama, maju salah mundur pun salah. Hadapi saja kenyataan yang ada di depan mata. Ini merupakan tugas yang harus aku jalankan sesuai dengan profesiku sebagai Jurnalis. Meski kadang nyawa pun bisa menjadi taruhan jika dalam suasana seperti ini.
***
“Ray, sepuluh menit dari sekarang bisa Live?,” kata perempuan di ujung telepon.
“Hah, sepuluh menit lagi? Ngga salah mba? Gue belum ada bahan apa-apa buat Live,” jelas Raya.
“Ngga mungkin belum ada bahan. Liat sekitar loe ada apa aja, amati dari sekarang sepuluh menit lagi gue telepon buat Live dan standby di depan kamera. Tut...tut tuuutt...”. telepon terputus.