Mohon tunggu...
Erwin Siregar
Erwin Siregar Mohon Tunggu... -

Seorang pemulung di Batam yang hoby menulis dari pengalaman hidup menjadi pemulung di perkotaan Batam

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menulis dan Memulung...

28 Oktober 2010   14:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:01 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu sebab menjadi penuliskah atau terus menjadi pemulung-menjadi tema diskusi
pikiran dan hati saya bulan-bulan terakhir ini.

Terus terang menjadi pemulung lebih menjanjikan dari segi duit/materi...
Asal tidak malu saja mengkorek-korek tong sampah orang China di Batam ini pasti
selalu bisa menghasilkan duit.Sedikit berbauk-bauk tidak apa asal bisa
menghasilkan duit.Harga besi saat ini 4500 rupiah/kilo.Kalau pagi2 bisa dapat 5
kilo saja berarti sdh senilai 22 ribu rupiah.Uang segitu sudah cukup untuk
sarapan dan ngerental di warnet(untuk menulis) selama 3 jam.

Tapi kalau menulis ?.....
Sepertinya sulit -paling tidak untuk sekarang ini-menjadikan menulis sebagai
sumber hidup.Tahun 1993 saya pernah menulis di Majalah Rohani Populer
BAHANA.Butuh minimal 1 bulan menunggu tulisan itu dimuat.Setelah tulisan dimuat
saya dikirimi 1 eks BAHANA edisi bulan itu dan poswesel senilai 16 ribu sebagai
honor menulis:(

Saya pernah beberapa kali mengirim artikel ke KOMPAS mengingat honor mereka
yang tinggi...tapi boro2 dimuat--mungkin tulisan saya hanya menjadi bahan
lucu2an bagi redaksi disana:-)

Menjadi wartawan di suatu media?
Itu pekerjaan yg paling saya hindari di hidup ini...Bukan apa2...kesan yang
saya temui..kerja mereka hanya nakut2i orang saja melalui tulisan:-).

Disamping itu modal menjadi penulis itu besar...untuk labtop seken standard
saja minimal butuh 2 juta menurut harga di Batam.Memang ada beberapa hotspot di
Batam seperti dataran Engku Putri- untuk berinternet gratis.Tapi tetap saja
menjadi penulis itu butuh biaya banyak.

Kalao jadi pemulung kan gampang...
Pake celana pendek, bersendal jepit-bila perlu "nyeker" plus satu goni plastik
yg agak besar sebagai tempat barang2 hasil "pulungan".
Pokoknya simpel...oye

Tapi ya itulah...
Entah kenapa saya tetap ingin jadi penulis...
Bukan apa2...selama jadi pemulung saya blom pernah berhasil melamar anak gadis
orang.Kendalanya ya itu...setiap ditanya tentang profesi/pekerjaan saya.
Walau saya sudah coba gambarakan ke si gadis dan calon mertua bahwa menjadi
pemulung itu berpotensi besar untuk menjadi kaya dan banyak duit...tapi tetap
saja bagi mereka itu adalah profesi yang hina...soalnya kerjanya hanya ngorek2 tong
sampah orang ...begitu katanya:-)
Itu sebabnya lamaran saya selalu ditolak:-)

Kalau kelak nanti sudah jadi penulis kan saya bisa dengan bangga menyebut diri
sebagai "penulis" waktu ditanya profesi oleh mertua dan kerabatnya.Mungkin
menjadi penulis lebih bergengsi walaupun nggak berduit:-).

Saya pribadi sebenarnya sulit untuk secara dikotomis membedakan antara pemulung
dan penulis.Karena terus terang minat saya menulis/menjadi penulis justru
tumbuh ketika saya sudah terjerumus menjadi pemulung di Batam ini:-)

Ada sekitar 4 tahun-1994-1998- saya menjadi Biro Batam majalah "Jejal
Malioboro"-terbitan Jogjakarta.Jejal-Jerit Jalanan-- Malioboro berisi tulisan
karya asli anak jalanan dari berbagai kota di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun