Mohon tunggu...
Nur Hatimah
Nur Hatimah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Nama: Nurhatimah Hobi: memasak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[ Untukmu Ibu ] Lukisan Sang Ibu

22 Desember 2013   14:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisikan ini masih terbayang dengan kejadian tiga tahun silam. Aku pun masih teringat jelas suara ibu. Suara yang tak pernah bosan. Suara terindah yang bisa melelapkan tidurku disetiap malam.

“Bu, jangan pulang terlalu malam,”ujarku sambil mengangkat sekantong bekal milik ibu.

“Ibuku diam tak berkata apa pun, mungkin sedang kecapaian,” gumamku.

“Kalau enggak pulang sampai magrib, ya ibumu ini tidak dapat memberimu makan untuk esok hari,” sahut ibu sembari melepaskan tudung yang ada dikepalanya.

Aku pun kaget dengan kata-kata ibu barusan, Ya robbi mudahkanlah jalan rizki ibuku. Air mata ini mengalir dan tak dapat dibendung lagi. Tumpah membanjiri kulit yang lembut. Ya Tuhan, ingatkanlah aku akan kasih sayangnya. Ibu, batinku sakit melihatmu. Kau sudah terlalu tua untuk bekerja disawah orang. Kulitmu pun sudah keriput, tapi jiwamu masih segar.
Ibuku tak pernah menyerah sampai sekarang ini. Dia masih saja bekerja, memang kondisi ekonomi yang menbuatnya seperti ini. Wajah yang oval dan badan yag kurus tak pernah kau hiraukan. Angin malam yang sunyi. Hampar terkapar diatas pasir hitam diseberang pantai. Ibuku bukanlah wanita yang hanya duduk diam dirumah.

Sepucuk surat cinta yang bertuliskan lukisan sang ibu. Lukisan yang menggambarkan kepribadian seorang ibu demi sesuap nasi. Sang ibu yang selalu menjaga diri kita sampai menjadi wanita yang sukses. Tak ada penyesalan dalam dirinya untuk melakukan itu semua. Cintalah yang membawanya menjadi wanita seribu kasih sayang. Kasih yang tak terbayar oleh rautsan uang yang kau berikan. Kasih ibu sepanjang jalan. Tak ada yang dapat tergantikan oleh perjuangannya.

Penggorbanan yang kita lakukan barulah sebiji jagung yang tertanam dalam kebun, bukan padi yang berisi beras dipetakan sawah milik petani. Ibuku bernama Tarsini. Anak pertama dari almahrum ibu Saidah dan almahrum bapak Kasroni. Dulu ketika kecil ibuku selalu hidup menderita. Derita tak mengenal ilmu dan derita tak mengenal kasih dan sayang. Cintanya, bukanlah cinta seperti sekarang. Kasihnya berbeda dengan kasih yang ibu berikan sekarang. Dan pengalamannya yang terdahulu menjadi sebuah mimpi tak terlupakan. Kini, aku merasakan kasih ibu yang tulus dari hatinya. Hati yang aku jaga sampai akhir hayat.

Hujan yang melintas. Angin yang diam tak bersuara. Lamunan ini berhenti, ketika majikanku memanggil namaku.

“Nur…Nur…Nur,” terikan yang jelas dan keras.

“Ya,” sahutku sembari berjalan diatas lantai putih dan mengusap air mata yang mengalir.

“Aku hidup diperantauan seorang diri, tanpa ibu yang menemani. Langkah kaki ini terus berjalan menelusuri jejak suara yang terdengar keras diatas kamar.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun