Tahun terus berganti, Karto tanpa ampun menyiksa Tunik. Jika Tunik sedang tidur, terkadang ditarik kakinya dan di tendangi, di telanjangi istrinya dan berulang kali dihujani ludahan2. Tunik hanya diam dan menangis.
Cemburunya teramat besar atau dia saking cintanya pada Tunik, entah. Karto lebih memilih memukuli istrinya daripada menanyakan langsung akan apa yang dia rasakan selama ini.
Dan beberapa tahun kemudian, mungkin ini pembela'an TUHAN. Karto yang biasanya bekerja mengayuh becak, pagi itu berteriak memanggil Tunik. Dikatakanya, jika dia tak mampu melihat. Tunik yang kebingungan memanggil anak2nya dan berunding untuk mencari dana berobat bapaknya. Tanah sepetak ini jalanya, dia harus menjual untuk pengobatan Karto.
Nahas, sakitnya tak juga sembuh. Semakin hari Karto mengeluh matanya sakit, badannya tiba2 melemah. Semakin hari tubuhnya menguru, kecil hanya tinggal kulit pembungkus tulang. Tunik, hanya bisa pasrah.
Namun, dalam keada'an yang demikian Karto tak sadar2 juga. Dia selalu menganggap Tunik main mata apabila Karto memanggil Tunik namun Tunik tak kunjung datang. Padahal, Tunik adalah seorang yang tuli yang tak bisa mendengar apabila tak bersuara keras.
Sekarang, usia mereka 69 tahun, bukan usia yang muda lagi. Tetapi, Karto seperti tak memandang usia. Entah, apakah dia begitu cintanya hingga cemburu bukan main seperti itu.
Kini, Karto sering melenguh kesakitan. Sering teriak2 sendiri, mengeluh badanya panas seperti terbakar, badanya seperti dipukuli, yang dia panggil hanya nama istrinya saja. Terkadang menangis, terkadang marah, terkadang diam dan merintih kesakitan. Setiap hari, hanya meminta kematian. Dan selalu marah apabila pagi datang, dia masih bernafas.
Dan Tunik, dia tetap menjalani keseharianya dengan ketulianya, namun dia selalu setia mengurusi suaminya yang terbaring lemah tak berdaya...
Kendal, 26 November 2013
23:26