Mohon tunggu...
Muhammad Choirur Rokhim
Muhammad Choirur Rokhim Mohon Tunggu... -

memberikan apa yang saya bisa, berjuang demi sesuatu hak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Abdul Hamid Wilis, Produktif di Usia Senja

31 Agustus 2016   08:52 Diperbarui: 31 Agustus 2016   08:56 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.masrochim.tk

Dalam skala nasional, sosok ini tak banyak yang mengetahui, tetapi untuk skala regional lokal, tokoh ini banyak yang kenal dan mengagumi. Ia adalah Mbah Hamid Wilis—begitu ia biasa disapa—nama lengkapnya adalah Abdul Hamid Wilis. Kali pertama saya berjumpa dengan Mbah Hamid Wilis adalah saat acara bedah buku Turonggo Yakso: Berjuang untuk Sebuah Eksistensi di gedung kampus STKIP Trenggalek 3 tahun silam. Ia adalah sosok inspiratif dan patut diteladani atas produktifitasnya menulis.

Sekali lagi, bagi saya, ia adalah sosok yang tepat jadi panutan bagi mereka yang menerjuni dunia kepenulisan. Di usia tak lagi muda, ia masih semangat dan konsistensi mengetik huruf-huruf kecil. Pada acara bedah buku itu ia sodorkan buku kusam kepada panitia, mirip buku fotokopian lawas. Ada beberapa buku yang ditunjukkan. Kalau tidak salah sebut, ada tiga buku serupa yang dipegang.

Pengetahuan dan pengalaman tentang sejarah Kabupaten Trenggalek begitu kaya. Kekayaan historyitulah Mbah Hamid kuat dalam menulis (maupun cerita) tentang masa lalu. Menulisnya pun tak menggunakan alat modern, tetapi menggunakan mesin ketik manual. Sebagian besar, ia menulis dengan mesin ketik manual nan butut. Coba bayangkan, betapa berat perjuangannya dalam menghasilkan karya?

Pasti menulis dengan alat tradisional seperti itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Lelah sudah pasti. Menulis memakai mesin manual sudah pasti membutuhkan kejelian, kesabaran, dan tentu komitmen yang tinggi. Ditambah lagi penglihatannya yang mulai kabur, kulit dan tubuhnya keriput mulai dimakan usia. Ya, begitulah Mbah Hamid, di usia 75 tahun ke atas, ghirahnya menulis tetap terawat. Barangkali inilah resep manjur menjaga kesehatannya supaya tetap bugar. Ia menulis setiap hari.

Mbah Hamid Wilis menulis tentang sejarah lokal Trenggalek, serta beberapa ihwal kepenulisan sejarah-sejarah lain yang berada di kabupaten ini. Oleh karena itu, ia menjadi rujukan bagi anak muda untuk mendapatkan tutur ceita ihwal Trenggalek di masa lalu. Jika tidak berlebihan, Mbah Hamid saya sebut "kamus besar" atau lebih tepatnya ensiklopedia sejarah Trenggalek. Pengalaman dan pengetahuan tentang Trenggalek menghadirkan puing-puing patut diziarahi. Selain itu, pada tahun 1973-1985, ia menjadi salah satu panitia kepenulisan babad sejarah Trenggalek.

Pertemuan kedua pada tanggal 1 April 2015. Saat itu, saya diajak Misbahus Surur berkunjung ke rumahnya. Baru kesempatan kali ini, saya bisa ngobrol dengan Mbah Hamid. Saat itu, kami (saya dan Surur) datang untuk menambah referensi tentang sejarah Trenggalek. Kebetulan, Surur saat itu sedang menyelesaikan ikhtiar menulis masa lalu Trenggalek. Jadi ia mencari data sekaligus mengoreksi kebenaran cerita. Tetapi ia tak di rumah. Menurut istrinya, ia ke kantor Radar Trenggalek. Kami menunggu begitu lama. Kami tak berniat menghubungi. Kami menunggu sampai ia pulang.

Lama sekali kami (saya, Surur dan istri Mbah Hamid) menunggu di depan rumah. Pun, saya sempat ketiduran di musholla depan rumah. Kami berdua, (saya dan Surur) juga sempat pamit pulang dengan istri Mbah Hamid. Belum selesai pamit, kami lihat ke depan; halaman, ia nampak dan naik sepada onthel. Segera ia menjagang sepedanya di sebelah barat meja teras.

Selesai memastikan sepeda aman, kami bertiga ngobrol dan diskusi tentang sejarah Trenggalek. Selang beberapa menit, istri Mbah Hamid keluar membawa teh. Saya tak banyak bicara. Surur yang lebih banyak bicara dengan Mbah Hamid. Di sela-sela obrolan mereka, saya sempat bertanya tentang dunia pendidikan di masa lalu.

Ibarat perpustakaan, ia selalu menyediakan waktu, tempat dan pengetahuan yang belum kita ketahui. Ditambah lagi produktifitasnya dalam berkarya terus mengalir. Terlihat dari beberapa buku di rak-rak almari rumah banyak sekali. "Mbah Hamid Wilis setiap hari menghadap mesin ketik saja terus. Paling-paling mau berhenti ketika makan dan sholat. Atau aktivitas penting lainnya," ujar istri Mbah Hamid.

Barangkali buku-buku tersebut adalah referensinya. Lewat tulisan ini, saya menitipkan secarik doa, semoga beliau diberi umur panjang dan kesehatan selalu, dan tetap istiqomah dalam menulis. Saya memiliki naskah buku Mbah Hamid Wilis berjudul Selayang Pandang Sejarah Trenggalek. Naskah ini ia tulis pada tahun 2006. Itu artinya, naskah yang belum diterbitkan secara massal ini diketiknya sebelum tahun tersebut. Itu artinya, Mbah Hamid Wilis sebelum tanggal, bulan dan tahun 2006 telah berusaha mengumpulkan data, fakta, referensi, baik yang bersifat fisik (referensi buku) maupun bersifat sastra lisan (wawancara).

Kegigihannya dalam hal menulis ia wujudkan di beberapa karya. Termasuk buku Saya Mantan Komandan Banser. Rumahnya di daerah Dusun Sugihan RT. 25, RW. 07, Desa Sumber Ringin, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek. Di rumah sederhana itu, ia terus menelurkan gagasan tentang sejarah masa lampau. Jika dilihat dari kesederhanaan itu, tak ada perhatian dari pemerintah. Tak ada bantuan secara moril, apalagi secara materiil.

Usianya tak muda lagi, tetapi ghirah menulisnya luar biasa. Jika tidak ada sosok seperti Mbah Hamid Wilis, tak dipungkiri, sejarah Trenggalek akan hilang ditelan pusaran zaman. Ia kerap bercerita dan menulis tentang gagasan Bapak Pembangunan Trenggalek, yaitu Bupati Soetran.  Pada tahun 1970, Bupati Soetran ingin mengubah nama Trenggalek menjadi nama Trenggalih. Karena nama Trenggalek memiliki indikasi negatif dan tertinggal, kolot dan (n)desa.

Menurut Mbah Hamid, pada masa Bupati Soetran, masyarakat Trenggalek merasakan perubahan yang signifikan. Perubahan yang nyata dalam segi ekonomi, sosial, dan politik maupun budaya. Untuk itu, Mbah Hamid Wilis telah menembus batas kreatifitas. Ia tak mengenal usia dan waktu untuk terus menggali khazanah Trenggalek. Trenggalek memang membutuhkan sosok seperti Mbah Hamid, dan Mbah Hamid-Mbah Hamid lain untuk merawat literasi sejarah Trenggalek. Demikian. []

Tulisan ini pertama pos di blog pribadi masrochim.tk dan sebagai tugas menulis bulanan di SPN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun