Indonesia ditakdirkan oleh Tuhan menjadi negeri yang kaya akan budaya, suku, agama, etnis dan bahasa. Keberagama-keberagaman ini pula yang kemudian menjadi ciri khas negara Indonesia terhadap negara lainnya. Segera geografis misalnya, negara Indonesia terdiri dari lima pulau besar, Sumatera, Jawa, Kalimanta, Sulawesi dan Papua, yang kemudian di dalamnya hidup berbagai kebudayaan berdasarkan tatanan kehidupan yang terbentuk. Dari situ, agama pun menjadi beragam menyesuaikan dengan historis yang telah atau sedang berkembang. Lima agama terbesar masuk; Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghuchu saling bercampur baur.
Dan baru-baru ini juga muncul beberapa paham atau aliran keagamaan lokal yang merupakan warisan para leluhur kita. Dengan keragaman yang ada, semestinya kita patut bersyukur dan mengembangkannya menjadi sebuah warisan yang terus tumbuh dan subur. Namun, apabila kita tidak pandai, maka ada kemungkinan kalau kemajemukan yang tinggi tersebut bisa menjadi alat untuk memecah persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia.
Apabila kita berbicara kasus, memang sampai saat ini masih terus ada kejadian yang muncul disebabkan konflik keagamaan, baik itu sesama Islam maupun dengan agama yang lain. Lagi-lagi, ada orang-orang yang bermain di balik layar untuk melahirkan konspirasi. Mereka yang paham, akan berpikir jernih, sementara yang awam akan mencoba mencerna informasi sebatas kemampuannya, atau malah ikut terprovokasi oleh para provokator. Masih enak kita terprovokator dengan orang-orang yang betul-betul ada dihadapan kita, sebab kadang kita bisa membaca lagat dan maksud dari gerak-geriknya.
Namun, yang paling bahaya lagi adalah ketika kita terjebak dalam alur permainan media. Awalnya kita membaca, kemudian menyimpulkan dengan seenaknya, atau termakan alur media, terus kita pun membagikan informasi yang belum tentu kebenarannya kepada teman-teman kita. Padahal informasi yang tadi didapatkan perlu ditelaah dan dianalisis, sayangnya menyebar dalam sekejap saja. Yang tadi awalnya bersumber pada satu orang, bisa mencapai puluh ribuan orang dari berbagai media sosial yang ada.
Contohnya kita sebut saja media jejaring facebook, si A membaca sebuah tulisan yang mengatakan keyakinan atau agama A itu kafir. Dengan pengetahuan seadanya, kita pun menyimpulkan hal yang sama. Karena merasa bahwa kasus ini benar dan tanpa pikir panjang, kita pun membagi informasi ini. Menurut saya pribadi, hal semacam ini sangat salah, terutama apabila informasi yang tersebar tersebut salah. Artinya dosa yang kita tanggung bukan dari diri sendiri, tetapi juga dosa orang yang termakan oleh ulah berbagi informasi yang kita bagikan tadi ikut menjadi tanggung jawab kita. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dan lebih jeli melihat permainan media.
Media itu tidak bertuan, pengguna bisa dimanipuasi. Akun-akun palsu bergentayangan dan menyusup berbagai lini untuk mempengaruhi orang. Tergantung bagaimana kita menanggapi dan membangun diri terhadap nilai-nilai toleransi. Belajar dari pepatah lama “sepandai-pandai menyimpan bangkai, maka akan tercium pula.” Maksud saya jika ada sesuatu yang buruk dan menyimpang, maka semua orang akan tahu nantinya. Jadi selama itu tidak buruk, berarti tidak ada hak kita untuk memberi label pada sebuah paham yang ada.
Permasalahan agama memang menjadi alat nomer satu pemecah persatuan. Apalagi ketika disangkutpautkan antara mayoritas dan minoritas, siapa yang memimpin dan dipimpin, dan siapa dan apa yang dibicarakan. Orang yang tadi memiliki rasa cinta kasih kepada sesama, bisa saja berbalik arah menyerah setelah melihat orang yang dikaguminya berbicara. Lagi-lagi menyebar dan terjebak dalam permainan yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Maka pantas sebuah pepatah arab mengatakan “Jangan lihat siapa yang berbicara, tapi lihatlah apa yang dibicarakannya.” Kalau itu baik, maka patut kita patuhi, sedangkan kalau itu salah sepatutnya pula kita jauhi.
Sekarang memang kita harus peka terhadap pertempuran oleh pihak-pihak tertentu melalui media sosial, atau yang disebut Cyber War. Isu-isu yang diangkat merupakan bola panas yang paling gampang membakar masyarakat, apalagi paling mudah menyerang kalangan awam dan lemah dalam pengetahuan.
Banyak kasus-kasus yang dimanipulasi guna menebar kebencian dan mendukung pihak-pihak tertentu. Dan nahasnya sebagai pengguna media sosial, kita begitu cepat terprovokasi, bahkan memberikan komentar yang sebetulnya diperlukan berbagai informasi penunjang yang tepat agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Maka dari itu, saat ini, kita tidak bisa lepas dari jeratan informasi yang begitu cepat lalu lalang. Yang A bisa dikatakan B dan begitu sebaliknya, selama apa yang diharapkan bisa tercapai. Dari sini sebagai konsumen informasi atau pengguna media sosial, kita harus mampu memilih dan memilah dengan cerdas kebenaran informasi agar tidak menjadi pihak yang brutal dan sadis.
Bagaimana Dengan Keadaan Indonesia?
Apabila kita melihat dari sudut pandangan penggunaan internet, Indonesia menduduki posisi ke empat tersebar di Asia. Posisi yang terbilang berpengaruhi ini sangat rentan dimana seperti di awal dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki kemajemukan tinggi, terutama dalam hal agama tentunya. Data mengatakan bahwa setiap tahun pengguna internet terus bertambah. Dan sebagian besar pengguna adalah menggunakan smartphone dengan rata-rata umur belasan tahun hingga 40 tahunan. Parahnya lagi adalah smartphone atau telpon genggam merupakan alat yang selalu menemani aktivitas kita sehari-hari.
Dengan kata lain, sangat besar kemungkinan kita akan atau menolak ikut dalam pertempuran media, akan ikut terprovokasi atau bahkan semakin tinggi nilai toleransi. Dan sangat disayangkan pula dimana pengguna media sosial terbesar merupakan berasal dari kalangan anak-anak muda atau usia produktif yang sebetulnya akan menjadi pengganti kinerja berbagai bidang selanjutnya.
Jadi dari data yang ada, dengan kapasitas yang sangat cukup mumpuni dalam meluncurkan senjatanya, para pemain akan berusah masuk dalam berbagai media sosial yang digandrungi oleh masyarakat. Jika mereka berhasil merusak dan mencabik-cabik persatuan kita, ada kemungkinan perang antar saudara mungkin saja bisa terjadi lagi di negeri yang kita cintai ini.
Salah satu kasus yang sangat memprihatikan bagi saya pribadi adalah kasus Sampang, penyerangan dalam acara kebaktian Rosario di rumah milik Julius Felicianus di Perum YKPN Jogja, Tolikara, dan berbagai kasus atas nama agama lainnya. Dari beberapa kasus yang ada, serta melihat potensi pengguna internet di Indonesia yang sangat signifikan tersebut, maka sangat mudah melakukan adu domba antar agama.
Apa yang mesti kita lakukan?
- Pahamilah bahwa kita tinggal di Indonesia dengan keragaman agama. Agama-agama besar Indonesia bukan agama milik Indonesia. Indonesia bukan Islam saja, namun juga ada Kristen, Buddha, Hindu dan Konghuchu dan yang lainnya. Tidak ada yang bertahta atau berkuasa, jangan mengatakan mayoritas dan minoritas, tetapi cobalah untuk membangun cinta kasih antar sesama. Jadikan agama yang diyakini sebagai pedoman bagaimana seharusnya memperlakukan sesama, sebab agama tidak pernah mengajarkan kebencian dan saling menyakiti. Agama dibangun berdasarkan tujuan yang sangat mulia yakni membangun diri manusia menjadi lebih baik. Jadi kalau kita masih punya rasa paling benar sendiri dan benci terhadap perbedaan, maka cari tahu lagi apa dan bagaimana agama yang kita anut.
- Pahami konstitusi yang berlaku. Apabila negara tidak pernah mengatakan bahwa agama itu bermasalah, jangan pernah mengambil keputusan sendiri seolah merasa kita paling benar. Dan yang mesti diingat adalah jangan pernah menyakiti orang lain atas nama agama kita, sebab agama adalah kesucian. Jangan kita mengambil otoritas Tuhan atau pemimpin, sebab itu menunjukan kalau apa yang kita jalani selama ini patut dipertanyakan. Biarkan negara menjalankan tugasnya dan kembalilah pada keyakinan kita sendiri, bila perlu perkuat keyakinan itu agar kita mampu belajar memahami agama orang lain.
- Selalu menanamkan rasa kebersamaan dalam perbedaan atau toleransi. Belajarlah pada keluarga kita, yang kadang banyak tidak sepahamnya, akan tetapi dari situ kita belajar, bahwa perbedaan adalah sebuah anugerah terindah dari Tuhan. Pelangi saja tidak akan indah hanya dengan satu warna, melainkan perbedaan itulah yang menunjukan eksistensinya sebagai pelangi. Lagi-lagi belajar pada sesuatu yang telah Tuhan ciptakan adalah salah satu media untuk kita lebih mengenal ajaran Tuhan.
- Belajar untuk berpikir jernih dan tidak pernah puas dengan pengetahuan yang dimiliki, apalagi menyangkut tentang agama. Agama perlu dilihat dari berbagai sisi dan belajar untuk tidak egois atas nama mayoritas. Sebab kebenaran tidak pernah ditunjukan pada satu golongan saja oleh Tuhan, seperti nabi yang selalu menghargai golongan lain. Maka dari itu, jik kita mendapati informasi yang belum jelas, ada baiknya bertanya pada mereka yang paham akan hal itu, atau bertanya langsung kepada penganutnya. Jauh akan lebih baik daripada kita ikut-ikutan dalam pemikiran orang. Kalau kata lainnya, menjadi tahu karena diri sendiri akan bermanfaat. Dalam agama Islam dikatakan, kalau benar dapat 2, kalau salah dapat 1. Kuncinya adalah tidak ada maksud lain, kecuali untuk belajar.
- Jika kita bukan tipe orang yang suka dengan isu-isu keagamaan, atau memang kurang minat mempelajari agama, informasi yang ditemukan anggap sebagai informasi saja. Jangan pernah ikut membantu menyebarluaskan sesuatu yang tidak kita ketahui. Lagi-lagi kalau sampai salah informasi, kita ikut menjadi pembunuh atas nama hak asasi orang lain atas keyakinannya. Itu sama halnya kita menjadi pembunuh berdarah dingin. Jangan ikut membantu para dedengkot yang tidak bertanggung jawab dengan memposting, membagikan atau ikut berkomentar ganas dan beringas seolah kita paham.
- Yang terakhir, segala sesuatu yang berbau media, baik itu berupa tulisan dan gambar, semua bisa dimanipulasi. Teknik memanipulasi adalah teknik pertempuran yang dibangun oknum tidak bertanggung jawab untuk meracuni otak kita supaya termakan hasutan dan bujukan. Dan satu lagi yang paling perlu kita perhatikan adalah ketika kita mendapatkan sumber dari Youtube, tidak selamanya itu adalah hasil asli dari sebuah rekaman yang ada, kadang juga mampu dimanipulasi dengan memotong bagian-bagian tertentu untuk menemukan kesalahan yang dibuat-buat. Lagi-lagi kita harus cermat dan pahami betul pertempuran media atau Cyber war tersebut.
Poin-poin di atas mungkin bisa menjadi cara-cara kita untuk bersikap atas fenomena maraknya pengguna media sosial saat ini dengan hal-hal yang berbau SARA. Dan yang mesti kita ingat adalah konflik tidak akan pernah bisa dihentikan, terutama masalah agama. Cara satu-satunya adalah kita belajar memahami perbedaaan, menjunjungi tinggi nilai-nilai toleransi, dan tidak menjadi follower sejati; dengar dan ikut (sami’na wa atho’na), melainkan harus kritis dan berani menyatakan kebenaran dengan cerdas.
Mari cerdas memposisikan diri dan menolak sikap anarkis dengan cara stop membantu menyebar informasi yang belum jelas kebenarannya. Dan Jangan pernah berpikir bahwa dengan mengangkat agama sendiri menunjukan agama kita yang mesti berkuasa. Yang paling penting adalah bagaimana menjaga kerukunan antar sesama dan menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi anak cucu dan bangsa.
Facebook : https://www.facebook.com/tainrubm
Twitter: https://twitter.com/MBurniat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H