Dengan kata lain, sangat besar kemungkinan kita akan atau menolak ikut dalam pertempuran media, akan ikut terprovokasi atau bahkan semakin tinggi nilai toleransi. Dan sangat disayangkan pula dimana pengguna media sosial terbesar merupakan berasal dari kalangan anak-anak muda atau usia produktif yang sebetulnya akan menjadi pengganti kinerja berbagai bidang selanjutnya.
Jadi dari data yang ada, dengan kapasitas yang sangat cukup mumpuni dalam meluncurkan senjatanya, para pemain akan berusah masuk dalam berbagai media sosial yang digandrungi oleh masyarakat. Jika mereka berhasil merusak dan mencabik-cabik persatuan kita, ada kemungkinan perang antar saudara mungkin saja bisa terjadi lagi di negeri yang kita cintai ini.Â
Salah satu kasus yang sangat memprihatikan bagi saya pribadi adalah kasus Sampang, penyerangan dalam acara kebaktian Rosario di rumah milik Julius Felicianus di Perum YKPN Jogja, Tolikara, dan berbagai kasus atas nama agama lainnya. Dari beberapa kasus yang ada, serta melihat potensi pengguna internet di Indonesia yang sangat signifikan tersebut, maka sangat mudah melakukan adu domba antar agama.
Apa yang mesti kita lakukan?
- Pahamilah bahwa kita tinggal di Indonesia dengan keragaman agama. Agama-agama besar Indonesia bukan agama milik Indonesia. Indonesia bukan Islam saja, namun juga ada Kristen, Buddha, Hindu dan Konghuchu dan yang lainnya. Tidak ada yang bertahta atau berkuasa, jangan mengatakan mayoritas dan minoritas, tetapi cobalah untuk membangun cinta kasih antar sesama. Jadikan agama yang diyakini sebagai pedoman bagaimana seharusnya memperlakukan sesama, sebab agama tidak pernah mengajarkan kebencian dan saling menyakiti. Agama dibangun berdasarkan tujuan yang sangat mulia yakni membangun diri manusia menjadi lebih baik. Jadi kalau kita masih punya rasa paling benar sendiri dan benci terhadap perbedaan, maka cari tahu lagi apa dan bagaimana agama yang kita anut.
- Pahami konstitusi yang berlaku. Apabila negara tidak pernah mengatakan bahwa agama itu bermasalah, jangan pernah mengambil keputusan sendiri seolah merasa kita paling benar. Dan yang mesti diingat adalah jangan pernah menyakiti orang lain atas nama agama kita, sebab agama adalah kesucian. Jangan kita mengambil otoritas Tuhan atau pemimpin, sebab itu menunjukan kalau apa yang kita jalani selama ini patut dipertanyakan. Biarkan negara menjalankan tugasnya dan kembalilah pada keyakinan kita sendiri, bila perlu perkuat keyakinan itu agar kita mampu belajar memahami agama orang lain.
- Selalu menanamkan rasa kebersamaan dalam perbedaan atau toleransi. Belajarlah pada keluarga kita, yang kadang banyak tidak sepahamnya, akan tetapi dari situ kita belajar, bahwa perbedaan adalah sebuah anugerah terindah dari Tuhan. Pelangi saja tidak akan indah hanya dengan satu warna, melainkan perbedaan itulah yang menunjukan eksistensinya sebagai pelangi. Lagi-lagi belajar pada sesuatu yang telah Tuhan ciptakan adalah salah satu media untuk kita lebih mengenal ajaran Tuhan.
- Belajar untuk berpikir jernih dan tidak pernah puas dengan pengetahuan yang dimiliki, apalagi menyangkut tentang agama. Agama perlu dilihat dari berbagai sisi dan belajar untuk tidak egois atas nama mayoritas. Sebab kebenaran tidak pernah ditunjukan pada satu golongan saja oleh Tuhan, seperti nabi yang selalu menghargai golongan lain. Maka dari itu, jik kita mendapati informasi yang belum jelas, ada baiknya bertanya pada mereka yang paham akan hal itu, atau bertanya langsung kepada penganutnya. Jauh akan lebih baik daripada kita ikut-ikutan dalam pemikiran orang. Kalau kata lainnya, menjadi tahu karena diri sendiri akan bermanfaat. Dalam agama Islam dikatakan, kalau benar dapat 2, kalau salah dapat 1. Kuncinya adalah tidak ada maksud lain, kecuali untuk belajar.
- Jika kita bukan tipe orang yang suka dengan isu-isu keagamaan, atau memang kurang minat mempelajari agama, informasi yang ditemukan anggap sebagai informasi saja. Jangan pernah ikut membantu menyebarluaskan sesuatu yang tidak kita ketahui. Lagi-lagi kalau sampai salah informasi, kita ikut menjadi pembunuh atas nama hak asasi orang lain atas keyakinannya. Itu sama halnya kita menjadi pembunuh berdarah dingin. Jangan ikut membantu para dedengkot yang tidak bertanggung jawab dengan memposting, membagikan atau ikut berkomentar ganas dan beringas seolah kita paham.
- Yang terakhir, segala sesuatu yang berbau media, baik itu berupa tulisan dan gambar, semua bisa dimanipulasi. Teknik memanipulasi adalah teknik pertempuran yang dibangun oknum tidak bertanggung jawab untuk meracuni otak kita supaya termakan hasutan dan bujukan. Dan satu lagi yang paling perlu kita perhatikan adalah ketika kita mendapatkan sumber dari Youtube, tidak selamanya itu adalah hasil asli dari sebuah rekaman yang ada, kadang juga mampu dimanipulasi dengan memotong bagian-bagian tertentu untuk menemukan kesalahan yang dibuat-buat. Lagi-lagi kita harus cermat dan pahami betul pertempuran media atau Cyber war tersebut.
Poin-poin di atas mungkin bisa menjadi cara-cara kita untuk bersikap atas fenomena  maraknya pengguna media sosial saat ini dengan hal-hal yang berbau SARA. Dan yang mesti kita ingat adalah konflik tidak akan pernah bisa dihentikan, terutama masalah agama. Cara satu-satunya adalah kita belajar memahami perbedaaan, menjunjungi tinggi nilai-nilai toleransi, dan tidak menjadi follower sejati; dengar dan ikut (sami’na wa atho’na), melainkan harus kritis dan berani menyatakan kebenaran dengan cerdas.
Mari cerdas memposisikan diri dan menolak sikap anarkis dengan cara stop membantu menyebar informasi yang belum jelas kebenarannya. Dan Jangan pernah berpikir bahwa dengan mengangkat agama sendiri menunjukan agama kita yang mesti berkuasa. Yang paling penting adalah bagaimana menjaga kerukunan antar sesama dan menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi anak cucu dan bangsa.
Facebook : https://www.facebook.com/tainrubm
Twitter: https://twitter.com/MBurniat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H