Peraturan Presiden No 78 tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang dan Purwodadi, menyebutkan bahwa Demak akan dijadikan sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi berskala internasional, berbasis perdagangan, jasa dan industri. Untuk mendukung Perpres tersebut, Pemerintah Kabupaten Demak telah merevisi Perda Nomor 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011 -- 2030.
Dalam revisi RTRW, Pemerintah Kabupaten Demak telah menambah luasan kawasan industri dari 1200 H menjadi 6000 H, perluasan kawasan terkonsentrasi di kawasan pesisir. Pertanyaannya, mengapa perluasan  kawasan industri baru berada di kawasan pesisir yang sudah tenggelam? Lalu siapakah pemilik lahan-lahan tersebut? Kedua pertanyaan ini akan menjawab siapa sebenarnya yang diuntungkan adanya tanggul laut yang akan dibangun oleh pemerintah.
Sebelum terdampak banjir rob, desa -- desa pesisir di Kecamatan Sayung tahun 1990 an merupakan daerah pertanian yang subur dan juga daerah perikanan yang potensial. Pada saat itu hasil pertanian seperti padi, kelapa, dan hasil pertanian lainnya bisa diandalkan, juga hasil perikanan tambaknya, bandeng dan udang windu. Â Secara ekonomi, masyarakatnya makmur dan sejahtera.
Tidak terpikirkan oleh mereka sebelumnya, sepuluh tahun kemudian sawah, tambak dan rumah, mulai tenggelam oleh air rob. Saat itulah para investor masuk, membeli lahan-lahan mereka yang sudah tenggelam dengan sangat murah. Banjir rob telah mematikan harapan mereka akan kesejahteraan. Mereka akhirnya menjadi buruh murah di pabrik- pabrik, nelayan tanpa akses modal, dan tenggelam dalam  kemiskinan.
Pembangunan tanggul laut  hanya akan memulihkan kembali ribuan hektar lahan yang sudah tenggelam, ribuan hektar yang sudah dikuasai para investor. Di lokasi itulah, kelak kawasan industri baru akan berdiri. Masyarakat kembali akan menjadi buruh murah dan papa di tanah yang dulu pernah menjadi sumber kehidupannya.
Masih ada harapan
Melihat dampak yang akan terjadi dari pembangunan tanggul laut terutama bagi masyarakat pesisir di Demak, maka sudah seharusnya pemerintah daerah Kabupaten Demak meninjau kembali kebijakannya. Keberpihakan kepada rakyat harus menjadi prioritas daripada kepentingan segelintir kelompok. Masih ada ruang untuk melakukan perubahan apabila pemerintah daerah mempunyai kemauan, yakni dengan merevisi kembali RTRW.
Sesuai dengan surat rekomendasi dari Kementrian ATR/BPN No 435/200/XII/2017 tentang Rekomendasi Kesesuaian Tata Ruang Integrasi pembangunan Tanggul Laut Kota Semarang dan Jalan Tol Semarang Demak. Dalam rekomendasinya Kementrian ATR/BPN meminta Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Demak mempercepat revisi Rencana Tata Ruang dan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau -- Pulau Kecil. Inilah celah yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, Mahasiswa, Buruh, Ormas Kepemudaan dan LSM untuk mengusulkan revisi RTRW yang berpihak kepada rakyat dan peduli lingkungan.
Ada dua persoalan yang harus direvisi dalam RTRW Kabupaten Demak, pertama alokasi luas kawasan industri, yang ke dua tentang zonasi pada kawasan rawan gelombang pasang dan abrasi. Dua masalah ini menjadi kunci masa depan pembangunan kawasan pesisir Demak. Apakah bisa diselamatkan atau justru akan semakin tenggelam.
Pertama, membuka kawasan industri baru di kawasan pesisir sama saja akan menenggelamkan kembali masyarakat dalam kubangan air rob. Bisa dibayangkan di lokasi yang penurunan muka tanahnya semakin parah akan dibangun kawasan industri, tentunya beban berat karena adanya struktur bangunan diatasnya akan memperparah penurunan muka tanah. Belum lagi setelah kawasan industri terbangun, bisa dipastikan penggunaan air tanah semakin tidak terkendali.
Kedua, melihat dampak yang akan terjadi apabila tanggul laut dibangun, pasal mengenai zonasi pada kawasan rawan gelombang pasang dan abrasi harus direvisi dengan menghilangkan pasal yang mengizinkan melakukan rekayasa konstruksi pada lokasi tertentu, melalui pembuatan berbagai bangunan pemecah ombak, tanggul dan kanal limpasan.