Mohon tunggu...
Didik Fitrianto
Didik Fitrianto Mohon Tunggu... Administrasi - Mencintai Laut, Lumpur dan Hujan

Terinspirasi dari kata-kata ini "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Membongkar Propaganda Pabrik Semen di Rembang

4 Februari 2017   11:13 Diperbarui: 4 Februari 2017   11:31 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pro kontra pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang pasca Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/30 tahun 2016 tentang izin lingkungan kegiatan penambangan bahan baku semen dan pembangunan serta pengoperasian pabrik Semen Indonesia di Rembang, semakin menguat.

Apa pun dalihnya baik izin baru, laporan RKL RPL rutin atau addendum, keputusan tersebut merupakan bentuk pembangkangan hukum  atas keputusan Mahkamah Agung  yang telah memenangkan para petani melawan pabrik semen.

Bagi Semen Indonesia, ada atau tidak ada SK Gubernur, pembangunan pabrik harus jalan terus, juga propaganda sebagai pembawa kesejateraan masyarakat Rembang. Memanfaatkan tokoh berpengaruh, penggalangan massa, pencitraan di berbagai media dan membangun opini di masyarakat terus dilakukan oleh Semen Indonesia untuk mendapatkan dukungan.

Propaganda Sesat

Di Rembang saat ini bertebaran spanduk dukungan untuk Semen Indonesia, jualan nasionalisme diobral untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Spanduk bertuliskan “Tolak Pabrik Semen Asing, Dukung Semen Indonesia”, menjadi isu murahan yang terus diproduksi oleh kelompok pro semen.

Mereka lupa kalau kepemilikan saham Semen Indonesia sesuai laporan tahunan di 2014, 38,59% sudah dimiliki oleh asing. Inilah nasionalisme abal-abal yang mereka banggakan.

Selain nasionalisme, isu yang diangkat saat melakukan aksi demo oleh kelompok pro semen juga sangat memprihatinkan dan kadang tidak masuk akal, seperti “Pabrik Semen Ditutup, Kami Tidak Bisa Beli Beras”, atau “Rakyat Butuh Makan”. Menurut mereka, tolak ukur bisa beli beras dan bisa makan adalah adanya pabrik semen. Sungguh ironis!

Padahal tidak pernah ada data yang menyebutkan Rembang kekurangan pangan dan masyarakat kelaparan. “Ibu Bumi” sudah menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Rembang, tanah yang subur, air melimpah, dan aneka tanaman pangan tersedia.

Selain penggalangan massa, Semen Indonesia juga menguasai ruang publik untuk dijadikan tempat propaganda. Salah satunya alun-alun Rembang yang saat ini disulap menjadi “Pasar Semen”.

Dengan dalih bantuan, mereka memanfaatkan para pedagang kaki lima untuk menggunakan tenda-tenda berlogo Semen Indonesia. Tujuannya untuk memanipulasi dukungan masyarakat akan keberadaan pabrik semen.

Alun-alun sebagai area publik harusnya terbebas dari kepentingan kelompok tertentu, sayangnya saat ini sudah dimonopoli dan dijadikan media promosi oleh perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan.

Ironisnya lagi "penistaan" ruang publik tersebut justru didukung oleh pemerintah daerah. Penyeragaman dengan menggunakan logo Semen Indonesia di area publik telah merusak estetika dan menunjukkan betapa tidak beradab dan miskinnya kreativitas pemerintah daerah dalam membangun kotanya.

Jauh sebelum itu, sejak tahun 2014 Semen Indonesia sudah memobilisasi ribuan anak muda untuk membuat propaganda tentang kehebatan pabrik semen melalui kegiatan yang dinamakan ‘Wisata Green Industri’.

Anak muda dari berbagai latar belakang tersebut diajak ‘piknik’ ke salah satu pabriknya yang berada di Tuban untuk melihat ‘kehebatan’ pabrik semen. Anak-anak muda yang sudah dicuci otaknya oleh Semen Indonesia ini kemudian dijadikan garda terdepan dalam membuat propaganda melalui tulisan tentang kehebatan pabrik semen dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan.

Hasilnya, tulisan propaganda yang disebar melalui media social hanya berisi puja puji kehebatan Semen Indonesia, tanpa ada kritik tanpa ada bantahan. Semen Indonesia telah berhasil menciptakan “robot” yang setiap saat bisa digerakkan untuk mendukung kerakusannya mengeruk sumber daya alam. Jadi jangan heran kalau setiap saat akan muncul tagar dukungan untuk  Semen Indonesia di media sosial.

Tidak hanya itu Semen Indonesia juga membungkam sikap kritis masyarakat dengan menggunakan dana CSR. Puluhan milyar sudah digelontorkan untuk berbagai kegiatan di masyarakat seperti sunatan masal, bedah rumah, pembuatan jamban, tandon air, pelatihan memasak, bantuan hewan qurban, buka puasa bersama, dan santunan anak yatim. Padahal bantuan tersebut hanya bersifat instant, bukan untuk mensejahterakan.

Ilusi Kesejahteraan

Data BPS tahun 2015 Kabupaten Rembang masuk tiga besar daerah termiskin di Jawa Tengah, dengan angka kemiskinan mencapai 19,5 persen. Sedangkan data dari kepala Bappeda Rembang, Hari Susanto (3/7/16) Kabupaten Rembang merupakan daerah termiskin se- Pati Raya (Rembang, Blora, Grobogan, Pati, dan Jepara).

Dua data tersebut sudah membantah klaim Semen Indonesia, bahwa sejak pendirian pabrik sejak tahun 2012 sampai saat ini kemiskinan terus menurun.

Berikutnya klaim bahwa sejak ada pembangunan pabrik semen pertumbuhan ekonomi terus meningkat  terbantahkan dengan kondisi Rembang saat ini. Efek berantai dari proses pembangunan pabrik yang selalu dipropagandakan Semen Indonesia seperti tumbuhnya usaha skala mikro, kecil dan menengah tidaklah terbukti.

Faktanya usaha yang muncul justru usaha dengan modal raksasa, antara lain mini market, hotel, rumah sakit, restoran, café, komplek pertokoan dan perumahan elit.  

Keberadaan mini market (Alfa Mart dan Indomaret) bisa menjadi bukti kebohongan klaim Semen Indonesia bahwa keberadaan pabrik semen menumbuhkan usaha mikro.

Bayangkan, dalam tiga tahun terakhir sejak ada pembangunan pabrik semen, data dari Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) menyebutkan sudah ada 42 mini market yang berdiri dan saat ini terus bertambah. Apa dampaknya? Ada ribuan pedagang kecil, toko sembako dan pedagang pasar tradisional mati perlahan-lahan.  

Data dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Rembang juga mencatat angka pengangguran pada tahun 2016 telah mencapai 14.474 orang. Tingginya angka pengangguran menjadi bukti bahwa keberadaan pabrik semen tidak memberikan dampak terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan.

Faktor pendidikan warga yang sangat rendah di sekitar pabrik, baik di ring satu, dua, dan tiga hanya dimanfaatkan sebagai tenaga kasar untuk pengerjaan kontruksi pabrik seperti tukang batu dan tukang las. Itu pun setelah pembangunan selesai mereka tidak akan dipekerjakan lagi.

Jadi kesejahteraan yang dipropagandakan Semen Indonesia hanya menjadi mimpi buruk bagi masyarakat Rembang. Tumbuhnya ekonomi mikro, ketersediaan lapangan kerja dan berkurangnya kemiskinan hanya menjadi pepesan kosong dan tidak akan pernah terwujud.

Taat Hukum, Tunduk Kepada Alam

Publik tentu masih ingat dua tahun lalu, (27/4/2014) Gubernur Jawa tengah, Ganjar Pranowo menjadi pemberitaan di berbagai media. Saat itu Gubernur Ganjar menemukan praktek pungli yang dilakukan petugas jembatan timbang di Kabupaten Batang.

Ia marah besar karena praktek culas mempermainkan hukum masih terjadi di daerahnya. Pasca kejadian tersebut publik  di Jawa Tengah mempunyai harapan besar, pemimpinnya akan menegakkan aturan, lurus dan tanpa pandang bulu.

Sayangnya ketaatan dan penghormatan terhadap hukum hanya ada di panggung – panggung talk show televisi, radio dan media sosial yang menampilkan dirinya. Gubernur Ganjar lupa bahwa saat ini, meminjam istilah Dandhy Laksono dari WatchDoc, ia sedang menghadapi panggung sejarah sesungguhnya. SK Gubernur No 660.1/30 tahun 2016 menjadi bukti konsistensinya pada penegakkan hukum sudah luntur, mulutnya lamis (tidak bisa dipercaya).

Saat ini publik disuguhi drama perselingkuhan antara korporasi yang memanipulasi informasi dengan penguasa yang tidak taat hukum. Perselingkuhan tersebut telah melahirkan ‘monster’ yang setiap saat membahayakan kehidupan masyarakat. Tidak hanya kerusakan lingkungan, para petani yang menolak pembangunan pabrik semen pun mulai dipolisikan.

Kembali ke “khittah” Jawa Tengah “Ijo Royo-royo” menjadi jalan terbaik bagi Ganjar Pranowo untuk membuktikan bahwa ucapannya tidak lamis. Pembangunan yang mengedepankan kedaulatan lingkungan, bukan pembangunan yang merusak lingkungan.

Mengembalikan kawasan gunung watu putih sebagai kawasan lindung geologi sesuai Perda Tata Ruang Kabupaten nomor 14/2011 dan melindungi kawasan watu putih sebagai Cekungan Air Tanah (CAT) sesuai Keputusan Presiden nomor 26/2011 merupakan kebijakan penguasa yang paling masuk akal dan beradab, kecuali sang penguasa memang tidak mau lagi tunduk kepada hukum, tetapi tunduk di ketiak korporasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun