Pro kontra pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang pasca Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/30 tahun 2016 tentang izin lingkungan kegiatan penambangan bahan baku semen dan pembangunan serta pengoperasian pabrik Semen Indonesia di Rembang, semakin menguat.
Apa pun dalihnya baik izin baru, laporan RKL RPL rutin atau addendum, keputusan tersebut merupakan bentuk pembangkangan hukum atas keputusan Mahkamah Agung yang telah memenangkan para petani melawan pabrik semen.
Bagi Semen Indonesia, ada atau tidak ada SK Gubernur, pembangunan pabrik harus jalan terus, juga propaganda sebagai pembawa kesejateraan masyarakat Rembang. Memanfaatkan tokoh berpengaruh, penggalangan massa, pencitraan di berbagai media dan membangun opini di masyarakat terus dilakukan oleh Semen Indonesia untuk mendapatkan dukungan.
Di Rembang saat ini bertebaran spanduk dukungan untuk Semen Indonesia, jualan nasionalisme diobral untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Spanduk bertuliskan “Tolak Pabrik Semen Asing, Dukung Semen Indonesia”, menjadi isu murahan yang terus diproduksi oleh kelompok pro semen.
Mereka lupa kalau kepemilikan saham Semen Indonesia sesuai laporan tahunan di 2014, 38,59% sudah dimiliki oleh asing. Inilah nasionalisme abal-abal yang mereka banggakan.
Selain nasionalisme, isu yang diangkat saat melakukan aksi demo oleh kelompok pro semen juga sangat memprihatinkan dan kadang tidak masuk akal, seperti “Pabrik Semen Ditutup, Kami Tidak Bisa Beli Beras”, atau “Rakyat Butuh Makan”. Menurut mereka, tolak ukur bisa beli beras dan bisa makan adalah adanya pabrik semen. Sungguh ironis!
Padahal tidak pernah ada data yang menyebutkan Rembang kekurangan pangan dan masyarakat kelaparan. “Ibu Bumi” sudah menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Rembang, tanah yang subur, air melimpah, dan aneka tanaman pangan tersedia.
Selain penggalangan massa, Semen Indonesia juga menguasai ruang publik untuk dijadikan tempat propaganda. Salah satunya alun-alun Rembang yang saat ini disulap menjadi “Pasar Semen”.
Dengan dalih bantuan, mereka memanfaatkan para pedagang kaki lima untuk menggunakan tenda-tenda berlogo Semen Indonesia. Tujuannya untuk memanipulasi dukungan masyarakat akan keberadaan pabrik semen.
Alun-alun sebagai area publik harusnya terbebas dari kepentingan kelompok tertentu, sayangnya saat ini sudah dimonopoli dan dijadikan media promosi oleh perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan.