Reklamasi saat ini masih menjadi polemik tak berkesudahan di tengah masyarakat Indonesia. pemberitaan yang bombastis di berbagai media, forum-forum diskusi, seminar, sampai obrolan di warung kopi tidak berhenti membahasnya.
Komentar dan analisanya kadang lebay juga terkadang sangat serius, mulai dari pakar yang memang kompeten, pengamat abal-abal, para aktivis, sejarawan, sampai politisi, mereka pro dan kontra. Reklamasi semakin seksi dan kian panas ketika ‘bumbu’ politik menjadi penyedapnya, apalagi ditambah Ahok menjadi menu hidangannya, lengkap sudah.
Perdebatan penting atau tidaknya reklamasi semakin liar, tidak produktif dan sangat membosankan, alih alih mendapatkan solusi kongkrit, mereka masih berkutat pada kajian amdal, tinjauan sejarah dan aspek yuridisnya. Kalau pun ada solusi yang mereka tawarkan hanya sebatas peninjauan kembali atau pencabutan peraturan, seperti Perda, Pergub, Kepmen dan Keppres yang berkaitan dengan reklamasi.
Pertanyaannya adakah solusi kongkret untuk mengakhiri polemik ini? Tentu saja ada tetapi bukan dengan membangun Giant Sea Wall (tanggul laut raksasa) atau mereklamasi pulau kalau hanya untuk penanggulangan banjir rob atau abrasi. Sebagai salah satu solusi, pembangunan tanggul laut raksasa tidak direkomendasikan oleh para ahli karena dampaknya akan merusak ekosistem pesisir, air laut menjadi naik dan menjadi comberan terbesar di dunia.
Hasil diskusi PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Belanda yang menyatakan bahwa reklamasi teluk Jakarta dan membangun Giant Sea Wall adalah ide kuno memang ada benarnya. Di negara maju pendekatan hard infrastructure memang sudah mulai ditinggalkan. Salah satu negara yang menjadi referensi adalah Belanda yang menggunakan metode “sand nourishment” yaitu membuat jebakan-jebakan pasir di wilayah yang rawan abrasi. Metode ini lebih murah dan ramah lingkungan.
Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke Belanda untuk belajar membuat pengaman pesisir yang ramah lingkungan, murah dan lebih efektif. Di Kabupaten Demak sudah ada dua desa yang menerapkan pendekatan serupa, yakni Desa Timbulsloko dan Bedono.
Tanpa bumbu politik dan pemberitaan bombastis di berbagai media, masyarakat di dua desa tersebut sudah bekerja membangun pengaman pesisirnya dari ancaman banjir rob dan abrasi yang ramah lingkungan. Jadi kalau orang di Jakarta masih sibuk berwacana soal reklamasi, orang Demak sudah punya solusi kongkret.
Hybrid Engineering Solusinya
Dampaknya mulai tahun 2005 sudah ada sekitar 758 H pantai terkikis abrasi, dua dusun di Desa Bedono, Dusun Senik dan Tambaksari hilang, 200 KK kehilangan tempat tinggal, dan ribuan nelayan dan petani tambak di kawasan pesisir Demak beralih profesi menjadi buruh murah di pabrik-pabrik.
Berbeda dengan masyarakat pesisir Jakarta yang cenderung manja dan gampang dimanfaatkan secara politik, masyarakat pesisir Demak masih berpegang teguh pada kearifan lokal seperti gotong royong untuk menyelamatkan wilayah pesisirnya. Salah satu yang dilakukan oleh masyarakat adalah dengan membangun Hybrid Engineering.