Mohon tunggu...
Martha Andival
Martha Andival Mohon Tunggu... Freelancer - About Me

Hiduplah Untuk Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Toleransi Era Media Sosial Demi Generasi Bangsa

9 September 2016   20:12 Diperbarui: 9 September 2016   20:18 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu, caci maki merupakan sesuatu yang tabu dilakukan di depan umum. Bukannya tidak bisa, akan tetapi ada sebuah aturan tak tertulis yang membuat orang untuk menahannya.

Setelah merebaknya media sosial (Medsos), jutaan umat manusia mulai merangsek masuk ke dalamnya tanpa batas. Besarnya pemakai medsos ini akhirnya menambah maraknya medsos-medsos dengan genre-genre berbeda. Bukan hanya jumlah pengguna, jumlah medsos pun muncul bak jamur di musim hujan.

Dulu, pada awal-awal lahirnya medsos, seluruh pengguna juga telah diikat dengan aturan, baik secara tertulis maupun tidak. Tapi entah mengapa, lama-kelamaan, aturan itu semakin melemah bahkan dibiarkan untuk di langgar. Begitu pula para penggunanya, juga ikut-ikutan melanggar aturan-aturan tersebut.

Begitu mudah dan terbiasanya tingkah laku caci maki, baik caci maki yang bersifat sindiran maupun caci maki yang bersifat prontal, para pengguna pun mulai terbiasa melihat dan mendengar bahkan menonton secara langsung caci maki yang diunggah pengguna.

Uniknya, konten-konten rendah seperti itu justru memiliki view yang tinggi. User terus menerus membagi dan menyebarluaskannya. Jika dulu caci maki hanya sekedar "aksi" kesal seseorang terhadap orang lain, namun sekarang keadaannya telah berubah. Caci maki sengaja di "gali" untuk kepentingan tertentu. Yaitu, menolak dan mendukung, terutama dalam hal keyakinan (agama).

Negara Indonesia, dengan banyaknya agama dan aliran kepercayaan yang dianut warganya, menjadi celah besar bagi orang atau kelompok tertentu untuk masuk dan merusak kenyamana hidup bermasyarakat dan beragama.

Akhirnya, kita sudah tidak asing lagi bahkan tidak acuh dengan caci maki yang mulai bertebaran di berbagai medsos. Karena, ketika setiap masalah yang terjadi (yang dimulai dari perdebatan kecil) telah diselesaikan, ada saja pihak-pihak tertentu yang sengaja memancing agar keributan kembali terjadi. Jadi, tidak mengherankan hujatan dan caci maki yang berbau sara tetap saja terjadi bahkan semakin tidak terkendali.

Parahnya, caci maki itu terjadi sudah melibatkan orang-orang yang selama ini fokus pada pengabdian agama di rumah ibadah. Orang-orang itu lupa entah bagaimana bisa masuk. Pada awalnya untuk menengahkan dan meluruskan, namun ujung-ujung justru menjadi "tokoh" utama keributan.

Yang menjadi pertanyaan, masalah yang di "bedah" setiap tahun justru tidak berubah. Tetap yang itu-itu saja. Lain orang, lain agama, lain negara, yang diributkan tetap sama. Pun ujung-ujung tidak ada penyelesaian. Agama seperti menjadi tumbal keegoan. Merasa paling benar dan paling sempurna. 

Sosmed yang semula ditujukan untuk kemudahan dan kebaikan akhirnya tidak lagi "bersih" untuk orang-orang tidak bersalah, tidak nyaman lagi digunakan oleh anak-anak yang tidak berdosa. Sosmed yang awalnya untuk mempersingkat waktu pun akhirnya menjadi tempat untuk menghabiskan waktu berjam-jam.

Caci maki terus memenuhi dinding sosmed, sedangkan orang yang bertindak di dalamnya sebagian besarnya bukanlah orang-orang yang faham terhadap masalah. Sebab, sebagaimana pepatah, "Ibarat Padi, Semakin Berisi Semakin Merunduk".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun