Mohon tunggu...
J. Shiddiq
J. Shiddiq Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

"Santri UIN Syahidt , jurusan theology. Beberapa kali ngikut sayembara nulis gak pernah lolos edit. Hahaha"

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Selamat Datang di Baduy Dalam

25 Maret 2016   00:41 Diperbarui: 25 Maret 2016   00:51 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Adalah untuk pertama kalinya, saya bertandang ke kampung yang konon dikabarkan masih kuat kepercayaan mistis-naturalisme-nya. Kampung yang harus dicapai melalui Rangkas-Ciboleger, Tangerang, Banten itu menjadi tujuan survey kami untuk acara pelatihan alam Teater. Alhasil, beberapa hari sebelum keberangkatan, saya beserta teman seperjuangan mencari data-data yang berkaitan dengan Baduy. Beberapa data yang kami peroleh terkesan ganjil, tidak seperti daerah tujuan pelatihan kami sebelumnya. 

Bisa dibilang itu merupakan pantangan yang tidak boleh dilanggar saat berada di sana, seperti: mendokumentasikan kegiatan, atau menggunakan barang-barang berbasis elektronik, karena beberapa pengunjung sempat kesurupan lantaran lancang mengambil gambar tanpa seizin kepala suku/jaro, kemudian mandi menggunakan sabun. Tidak hanya itu, setiap pengunjung yang hendak ke sana juga diharuskan membawa beras mentah dan lauk untuk persediaan makan selama menginap.

***

Pagi, kisaran jam 7.00 kami meluncur menuju stasiun Pondok Ranji. Karena keberangkatan kami dalam rangka survey, maka tidak lepas dari pegangan tangan, buku saku plus bolpoin dan stopwatch. Segala aspek yang kami temui selama perjalanan tidak boleh terlewatkan, semisal, kondisi kereta, titik-titik potensial untuk dijadikan pos transit, kondisi lingkungan, perijinan petugas setempat, waktu transisi dan lain-lain. Pada kondisi seperti ini, saya memilih sebagai pencatat, rekan saya Ari sebagai time keeper sekaligus kompas arah, meskipun masing-masing dari kami berbekal nekad.

Sesampainya di stasiun Rangkas, kami mengeluarkan kudapan dari Bunda Idat. Pintanya, “Awas, lo. Kalo sampai kudapan bikinan gue gak dimakan, sama aja kepergian kalian tanpa ridlo gue!” (Haha...Ibu RT di sanggar kami emang begitu, rada bawel). Setelah merasa cukup kenyang, kami menyegerakan melanjutkan perjalanan menaiki angkot menuju stasiun Ciboleger. 

Biaya yang kami keluarkan pada waktu itu, masih tiga puluh lima ribu rupiah. Angkot yang kami tumpangi terhitung jarang, karena dateng setiap satu jam sekali. Terpaksa, kami musti rela menunggu angkot terisi penuh penumpang untuk kemudian melakukan perjalanan. Kami berdua memilih duduk di atas angkot bersama barang-barang belanjaan penumpang.

Hampir sepanjang perjalanan hujan turun memijati kulit ari kami. Tak peduli teriakan sopir angkot yang berkali-kali menawari kami masuk angkot dan tidak kami hirau. Sejenak saya memejamkan mata dan bergumam lirih kepada Ari yang sejak awal keberangkatan kompak bekerjasama,”Ri, gua berjanji gak akan melewatkan suasana romantis semacam ini sendirian, gua bakal ajak temen-temen survey bareng. Kita akan bercengkerama bersama bersama awan-awan mendung yang siap memijati kulit kita. Kita akan memeluk rintik demi rintiknya, kemudian mengumpulkannya menjadi genangan air penentram dunia.”

***

Sesampainya di Ciboleger, kami mulai asing dengan keramaian di sana. Banyak manusia aneh berseragam hitam dan putih. Memanggul kayu dan buntelan tas di pundak mereka. Kontan kami terbelalak dan mencoba tenang sembari menuju warung sekadar untuk ngerokok dan ngopi. Menghangatkan tubuh yang selama perjalanan diselimuti hujan. Belum sempat kami memesan, seseorang dari belakang punggung kami berteriak, “Badhe, kamana?”, Ari yang sedikit paham bahasa Sunda membalas, “Badhe ka Badui Kang, tapi badhe ngupi heula”. Ternyata, warung yang kami singgahi merupakan agen guide. Mereka biasa menerima jasa guide bagi pengunjung yang belum pernah ke sana. Kami positif thingking, mereka semua orang baik. Itu sebabnya kami menerima tawaran guide/pemandu selama perjalanan.

Dirasa telah cukup kering pakaian kami, Mang Saldi mengajak kami untuk segera berangkat. Untuk pertama kalinya, saya berkenalan dengan manusia baik hati yang kami rasa tidak seperti manusia pada umumnya. Kakinya lebar, mirip kaki bebek, karena mereka terbiasa naik turun bukit tanpa alas kaki. Mereka mengenakan pakaian putih pertanda orang asli Badui Dalam. Jidatnya diikatat kain yang sama. Bersarung lima centimeter di atas lutut.

Sebelum memulai perjalanan, kami diharuskan melakukan registrasi kepada salah satu Jaro/kepala suku yang berada di gerbang pintu selamat datang kampung Badui. Tidak lama setelah itu, perjalanan kami legal diberangkatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun