[caption caption="Novel "Duka Darah Biru", foto milik Penerbit Jentera Pustaka "][/caption]
Untuk sebagian penulis bisa menerbitkan sebuah buku mungkin bukan sesuatu yang sulit karena mempunyai kemampuan menulis yang hebat sehingga karyanya memang dibutuhkan oleh penerbit dan pembaca.
Tapi buat Usaya, saat tulisan "ecek-ecek" saya bisa di tampilkan dalam wujud sebuah buku, wuihhh sungguh menjadi kebahagiaan yang luar biasa dan menjadi hal yang sangat istimewa.
Saya sadar kalau bukan penulis yang bertalenta melainkan hanya seorang ibu rumah tangga yang senang menuangkan segala macam unek-unek yang ada di dalam pikiran saya ke dalam sebuah tulisan. Apa saja yang penting bisa jadi sebuah tulisan dan berharap selalu bermanfaat, saya suka sekali membagikannya entah di Kompasiana, atau hanya di status FB.
Duluuuu sekali jaman remaja saya memang suka menulis cerpen. Kejadian cinta-cintaan yang saya atau teman alami, saya buat jadi sebuah cerpen dan ditulis dalam sebuah buku tanpa pernah mencoba mengirimkannya ke majalah remaja saat itu. Cuma saya dan beberapa teman saja yang membaca. Setelah itu lama sekali saya tak menulis fiksi, paling hanya menulis untuk sebuah buletin wanita di kantor suami.
Bermula tahun 2010 entah darimana asalnya, tiba-tiba muncul sebuah ide cerita dalam benak saya dan pengen sekali ditulis menjadi sebuah novel. Mungkin sebuah pemikiran yang "gila" karena saya bukanlah seorang penulis dengan berjuta imajinasi. Kebayang gak sih, novel yang pasti halaman nya lebih dari 150 dengan cerita yang kudu runtut !!! Nulis satu halaman saja, kadang mikir lama, lah ini berlembar lembar.. Huuuuhh, orang bilang mimpi kali yeee.
Tapi, saat itu saya berpikir "coba saja deh, selesai alhamdulillah, gak selesai ya sudah wong saya memang baru belajar menulis".
Akhirnya mulailah saya mencoba mengembangkan ide cerita tersebut, yang ternyata sangattt tidak mudah. Lamaaa sekali, tulisan tersebut berhenti, tidak tahu harus bagaimana mengembangkannya. Belum lagi "gangguan-gangguan" lainnya, seperti hobi saya membuat aksesoris sampai kesibukan diri karena saya harus mengikuti suami yang pindah tugas ke Baku, Azerbaijan. Saya sudah tak membayangkan lagi tulisan tersebut akan berlanjut sampai menjadi sebuah novel.
Tahun 2013, saya bergabung dengan Kompasiana. Saat ıtulah
hari-hari saya di perantauan kembali diisi dengan kegiatan tulis menulis. Dari posting cerita kehidupan saya di Baku sampai akhirnya saya mencoba menulis cerpen lagi. Semangat buat berfiksi seperti muncul kembali. Saya pun jadi ingat novel yang pernah saya rencanakan. Saya buka kembali file yang saya simpan, upss perjalanannya masih teramat jauh. Dan seperti niat awal, kenapa tak dicoba untuk menyelesaikannya.. Let's do it.
Dan kini Alhamdulillah atas ijin Allah akhirnya "Duka Darah Biru" bisa diterbitkan oleh Penerbit Jentera Pustaka. Hal yang selama ini saya pikir hanya ada dalam mimpi saya saja ternyata menjadi sebuah kenyataan.
Terimakasih juga untuk :
- Belahan jiwa saya, suami yang telah membantu menjadi penerjemah bahasa Lahat dan anak tercinta saya yang selalu membantu saat mamanya gagap teknologi.
- Mbak Sekar Mayang yang dengan sabar sudah mengedit naskah novel yang acak adul jadi lebih enak dibaca
- Mbak Liez Mutiara untuk layoutnya dan Domels yang sudah membuat cover novel yang menarik
- Kompasiana tempat saya belajar menulis dan mengenal banyak penulis
Novel "Duka Darah Biru" berisi 273 halaman dan Novel ini di jual dalam bentuk e-book dan cetak, Pemesanan melalui email : jentera.pustaka@gmail.com.
Sinopsis Novel “ Duka Darah Biru” :
Sri Khadijah muda berontak. Ia memutuskan untuk keluar dari kenyamanan hidup di rumah joglo yang megah saat akan dinikahkan paksa oleh ayahnya dengan pemuda kaya dan berpendidikan. Putri juragan batik berdarah biru itu memilih untuk kawin lari dengan kekasih hatinya, Samedjo, pemuda miskin yang sangat mencintai Sri Khadijah.
Oyong, anak sulung yang harusnya menjadi sandaran hidup Sri Khadijah, terlahir dalam ketidaksempurnaan fisik dan mental. Lelaki kesayangan Sri Khadijah itu pun harus pergi dari dunia fana di usia yang masih belia dan dengan cara yang mengenaskan. Dia menyelamatkan nyawa seseorang yang bahkan tak pernah menyayanginya.
Surami, anak kedua Sri Khadijah, wanita ayu yang dibenci ibu mertuanya sendiri. Lepas ditinggalkan tanpa kabar oleh suaminya, Kardi, Surami mengalami banyak peristiwa yang membuatnya belajar, apalagi ketika ia harus merasakan dinginnya tembok penjara.
Supri Kuncoro, anak bungsu Sri Khadijah, adalah pemuda yang bercita-cita menjadi seorang diplomat. Ketika melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta, ia bertemu dengan orang-orang yang kemudian mengubah hidupnya, juga hidup keluarganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H