Dewasa ini pergerakan terorisme telah menyita berbagai perhatian negara, termasuk negara Indonesia. Pada umumnya pergerakan terorisme dilakukan secara geriliya, sebagai bentuk kewaspadaan untuk meraih kepentingan mereka dalam mewujudkan “Khilafah Islamiyah dan Daulah Islamiyah”.
Pemahaman “Jihad” bagi kelompok teror merupakan suatu tindakan real untuk melawan musuh, baik itu orang kafir maupun masyarakat (muslim) yang tidak sepemahaman dengan mereka. Hal ini ditunjukkan melalui aksi bom bunuh diri maupun aksi pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok fanatik (ISIS) kepada lawannya, yang sebagian besar adalah warga sipil. Dalam perkembangannya, mereka tidak melakukan tindakan tersebut sebagai bentuk hukuman saja, sehingga beberapa aksinya dengan sengaja dibagikan melalui media social ataupun jaringan internet, dalam rangka menunjukkan eksistensinya maupun antusias mereka dalam mewujudkan tujuannya.
Untuk kelompok teror di Indonesia, sebagian besar masih menunjukkan eksistensinya melalui aksi bom bunuh diri dengan target lokasi, tempat yang mayoritas dikunjungi oleh turis luar negeri, terutama orang barat serta tempat-tempat yang berhubungan dengan simbol-simbol agama tertentu atau Gereja.
Kelompok Santoso dan Konflik Poso
Secara umum Poso merupakan daerah yang mengalami konflik horizontal sejak tahun 2000an, kemudian menjadi konflik vertikal yakni, antara kelompok Santoso dan Negara. Namun dalam perkembangannya isu terkait telah berubah menjadi isu global karena adanya deklarasi “ISIS” oleh Al Baghdadi di Suriah.
Dalam perkembangannya, Amerika Serikat memasukkan Santoso dalam daftar teroris global SDGT (Specially Designated Global Terorists). Saat ini, Santoso disebut sebagai pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT), sebuah kelompok yang dianggap bertanggung jawab untuk sejumlah pembunuhan dan penculikan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
Sebagai daerah pasca konflik, Poso menyisakan timbunan senjata dalam jumlah besar, yang saat ini justru dimanfaatkan oleh kelompok Santoso. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kasus penembakan polisi di depan Bank BCA Palu, pada tahun 2011 oleh Santoso dan kelompoknya yang menggunakan senjata sisa konflik.
Dalam aktifitasnya, kelompok teroris pimpinan Abu Wardah alias Santoso melakukan kegiatan tadrib (pelatihan militer) di hutan, yang merupakan lokasi persembunyiannya di Poso, Sulawesi Tengah. Mereka membuat halang rintang sendiri untuk kegiatan tadrib, berdasarkan pergerakannya, kelompok ini bergerak secara berpindah-pindah tempat setiap harinya.
Beberapa waktu lalu kelompok santoso kembali melakukan penembakan kepada seorang prajurit (Serka Zainuddin) dalam Operasi gabungan TNI/Polri dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Dalam aksinya Santoso juga telah menyebarkan video yang berisi ancaman untuk menghancurkan Markas Polda Metro Jaya dan Istana Merdeka. Selain itu, kelompok santoso juga telah menebarkan teror kepada masyarakat setempat, melalui tindakan pembunuhan terhadap Wayan (Transmigran Bali) dengan kondisi kepala terpenggal di pondok kebun. Hal serupa juga dialami oleh Simon (warga Tolai Barat) di kebun Dusun Buana Sari, Desa Tolai Induk, Kecamatan Torue serta di Desa Sausu Salubanga, Kecamatan Sausu.
Kondisi ini menjadi pergolakan di tengah masyarakat Poso karena kelompok Santoso tidak hanya mengincar aparat melainkan juga warga setempat, yang dicurigai sebagai mata-mata ataupun melakukan pengaduan terkait keberadaan kelompok tersebut kepada pihak berwajib. Mencermati adanya tindakan pengaduan tentunya menunjukkan sikap kontra masyarakat terhadap kelompok tersebut. Disisi lain masyarakat saat ini, faham tentang tindakan radikal kelompok Santoso yang tidak membawa perdamaian bagi masyarakat Poso, melainkan justru menambah pergolakan sosial dan keamanan di Poso.
Laluapa saja upayadilakukan oleh negara?
Pergerakan kelompok Santoso sampai saat ini terus menjadi perhatian pihak pemerintah, dalam kegiatanya pemerintah telah melakukan pendekatan keamanan, dalam rangka memutus mata rantai kelompok santoso. Terkait hal ini pihak pemerintah juga telah melibatkan masyarakat sipil untuk berpartisipasi secara langsung dalam mengeliminir pergerakan kelompok satoso. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya menepis tudingan bahwa operasi keamanan di Poso itu hanyalah “pemikiran” aparat keamanan untuk terus menganggarkan dana besar dalam upaya pemberantasan teroris di Poso.
Banyaknya dampak negatif yang diberikan oleh kelompok santoso, baik terhadap situasi keamanan daerah maupun masyarakat, merupakan suatu dorongan bagi kita semua untuk siap berpartisipasi secara aktif memerangi tindakan terorisme di Indonesia, terutama kelompok Santoso di Poso. Mengingat banyaknya nyawa yang telah menjadi korban oleh kelompok tersebut, baik dari kalangan aparat negara maupun masyarakat setempat.
Dari sekarang mari kita bergotong royong “Menolak Terorisme”, melalui implementasi sikap toleransi antar sesama umat beragama maupun antar suku untuk mengeliminir pandangan “Fanatik”, menolak berbagai kajian agama yang tidak sesuai dengan ajaran, mendukung berbagai program pemerintah untuk mengeliminir perkembangan terorisme di Indonesia, serta ikut berpartisipasi aktif untuk melaporkan aktifitas kelompok teror, diiringi dengan dukungan terhadap berbagai kebijakan pemerintah melalui aktivitas aparat negara dalam menindak kegiatan kelompok teror.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI