Diskusi akademis Universitas Gadjah Mada, berjudul "Pemecatan Presiden di tengah pandemi Ditinjau dari hukum Tatanegara" terpaksa ditiadakan. Alasannya, ada ancaman dari orang-orang tak dikenal terhadap pihak pelenggara diskusi. Hingga saat ini, belum diketahui dengan benar dari mana sumber ancaman tersebut.
Sebagian pihak mencurigai, ancaman tersebut berasal dari otoritas negara. Bila kecurigaan tersebut benar, pertanyaannya mengapa pihak penyenggara tidak bersikukuh menjalankan agenda diskusi tersebut? Mengapa mereka mudah goyah terhadap ancaman?
Menurut saya, ancaman tersebut semacam uji nyali untuk pihak penyelenggara. Kalau kegiatan diskusi itu benar dan sesuai dengan roh UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat, maka seharusnya diskusi tetap dilaksanakan. Karena dasarnya sudah sejalan dengan perintah UUD.Â
Lalu, mengapa ditiadakan? Apakah hanya karena ketakutan terhadap ancaman dari pihak-pihak yang belum diketahui asal-usulnya? Atau karena kebenarannya masih bersifat sensasional, mengguhan sensasi manusia, dan belum memiliki landasan kokoh, sehingga ketika datang badai ancaman, pohon kebenaran itu tumbang karena tidak berakar?
Kebenaran sensasional biasanya mudah terkenal (populer) tapi mudah hilang, seperti lagu-lagu pop yang tidak mendalam. Sekali didengar sudah puas, dan mudah dilupakan.
Artinya, kebenaran diskusi itu hanya memuaskan dahaga dendam, setelah sensasi dendam terpuaskan, orang menjadi mudah puas, sehingga ketika muncul sedikit ancaman, yang sensasi itu akan mudah layu, seperti sang putri malu.
Dugaan saya, kebenaran diskusi tersebut sensasional, tidak kokoh dan kuat, sehingga mudah dirobohkan. Dia tidak mewakili roh UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat. Karena hemat saya, sebuah ideologi atau roh perjuangan yang benar mesti tetap bertahan di tengah badai ancaman, entah dalam bentuk apa pun.
Emas pun harus diuji agar tampak jelas apakah emas palsu atau emas murni. Kebenaran pun demikian, harus diuji, apakah betul itu kebenaran, atau kepalsuan yang dibungkus dengan argumen kebebasan berpendapat. Atau ada semacam kedok ideologis yang sebenarnya berseberangan dengan semangat kebebasan berpendapat.
Alasan kebebasan berpendapat hanya dipakai untuk membenarkan sebuah kepalsuan. Jika sesuatu itu sesuai dan selaras dengan UUD 1945, maka keputusan untuk tetap melaksanakan diskusi ilmiah tidak mudah dibatalkan. Ada semacam ketakutan terhadap kebenaran ideologi negara yang, coba dipelintir oleh ideologi tertentu dengan dalil kemerdekaan berpendapat.
UUD 1945 dan produk hukum di Indonesia lahir dari konteksnya sendiri. Ada aspek sosiologis hukum yang tidak mungkin terabaikan begitu saja.
Di tengah upaya pemerintah dan masyarakat Indonesia mengatasi pandemi covid19, pantas kah kaum civitas akademia mendiskusikan isu lain soal pemecatan presiden? Apa urgensi diskusi pemecatan kepala negara di tengah pandemi covid19? Kebebasan berpendapat seperti apa yang bisa dijadikan landasan argumentasi, ketika energi seluruh bangsa dicurahkan untuk mengatasi virus corona yang sedang merajalela?