Natal diperingati umat Katolik (Roma) setiap tahun sebagai hari kelahiran Yesus Kristus. Sebagai pesta kelahiran, Natal mesti didahului oleh masa penantian (Adventus). Masa Adventus mendahului perayaan Natal karena kelahiran Sang Juruselamat harus disongsong dalam suasana bathin yang pantas. Kepantasan bathin tampak dalam penyediaan ruang, kamar kosong yang bersih dan rapih.
Hati yang bersih dan rapih mempertegas kesediaan manusia untuk menerima kedatangan Tuhan. Selain persiapan hati yang mantap, orang-orang Katolik juga menghadirkan satu suasana baru di dalam rumah-rumah mereka. Patung-patung yang ada dihiasi dengan aksesoris dalam nuansa khas Natal, dengan pohon Natal, lampu Natal, gua Natal dan lain-lain. Kelahiran Yesus sungguh-sungguh dipersiapkan.
Persiapan yang serius untuk menyongsong pesta Natal tampaknya berseberangan dengan suasana ketika Yesus dilahirkan. Sang Mesias lahir dalam suasana yang sangat memprihatinkan. Tidak ada persiapan yang mantap dari orang-orang Betlehem bagi kelahiran Sang Juruselamat. Bahkan kelahiran-Nya tidak diketahui oleh orang-orang di kota Betlehem. Â Karena itu hiasan-hiasan seperti pohon Natal, gua Natal tidak tampak di sana. Orang-orang Betlehem sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Yesus lahir dalam sebuah kandang hina. Kehinaan kandang di salah satu sudut kota Betlehem menyingkapkan bahasa kesederhanaan Yesus. Kesederhanaan suasana kelahiran Yesus rupanya sangat kontekstual.
Yesus lahir dalam konteks masyarakat-Nya yang sangat miskin dan sengsara. Tampaknya persiapan yang dimaksudkan Yesus adalah suasana kemiskinan. Allah rupanya menghendaki agar Putera-Nya lahir dalam suasana yang sederhana bahkan semiskin kota Betlehem, kota yang tidak sanggup menyiapkan sebuah rumah sakit atau tempat bersalin yang mewah dan istimewa bagi kelahiran sang Putera.
Mengapa Allah tidak mampu menyediakan tempat yang pantas bagi Putera-Nya? Ataukah kepantasan yang dihadirkan Allah adalah ketidakpantasan bagi manusia?
Hemat saya, Allah sanggup mengadakan segala-galanya bagi kelahiran Putera-Nya. Dan  bagi Allah, Sang Putera sudah mendapatkan tempat yang pantas bagi hari kelahiran-Nya. Allah tidak menghendaki kepantasan yang dipikirkan manusia, sebab kepantasan itu akan melahirkan penindasan bagi yang lain. Kepantasan bagi kelahiran sang Putera adalah kebahagiaan bagi manusia. Manusia yang merenungkan suasana dan tempat kelahiran Yesus akan merasakan sapaan Allah. Allah menyapa manusia ketika manusia berada dalam kondisi yang paling memprihatinkan.
Realitas kemiskinan menjadi sebuah suasana yang kontekstual bagi kelahiran sang Juruselamat. Dalam suasana yang memprihatinkan masyarakat masih mau mempersiapkan diri bagi kedatangan sang Mesias. Suasana kelaparan dan kekurangan gizi yang melanda daerah ini tidak menjadi penghalang untuk perayaan Natal. Suasana kota Betlehem saat kelahiran Yesus mirip dengan situasi yang sedang melanda orang-orang Katolik.
Bedanya, masyarakat tidak menghendaki Sang Juruselamatnya lahir dalam kandang yang hina. Mereka menghendaki sebuah situasi yang serba meriah bagi kedatangan Yesus, yang hanya sekali setahun dirayakan. Namun keinginan orang-orang Katolik untuk menyambut pesta Natal dalam suasana yang serba mewah dan meriah dibatasi oleh suasan kemiskinan. Mereka nampak masih seperti orang-orang di Kota Betlehem yang hanya sanggup menyediakan kandang hina bagi kelahiran Yesus.
Sebaliknya bagi Allah, kelahiran di sebuah kandang yang hina adalah sebuah keharusan. Yesus harus dilahirkan dalam suasana keterbatasan manusia. Sebab suasana yang serba terbatas memungkinkan suatu penerimaan akan yang tak terbatas. Yesus tidak pernah menolak untuk dilahirkan di sebuah daerah yang serba terbatas  seperti NTT.
Bahkan Yesus menghendaki agar suasana keterbatasan, kesederhanaan (baca:kemiskinan) menjadikan suasana pesta Natal yang lebih meriah. Kelahiran Yesus mesti dimeriahkan oleh tangisan anak-anak yang kelaparan, atau oleh kegelisahan para petani karena keadaan musim yang tidak menentu, atau juga kecemasan para tukang ojek karena ketiadaan calon penumpang.