Pemberitaan media akhir-akhir ini perihal peran guru dalam dunia pendidikan di Indonesia terasa cukup miris. Guru tidak lagi menjadi sosok penuh kasih, pengajar dan pendidik yang disegani. Guru telah berubah menjadi pelaku pelecehan seksual dan penganiaya muridnya.
Selain pelaku kekerasan dan tindakan pelecehan seksual, guru diberitakan sebagai pembocor soal ujian nasional (UN) untuk murid-muridnya (Kompas, 10 Mei 2014); sebuah tampilan wajah lain yang agak ramah dan membantu tetapi secara substansial justru merugikan peserta didik.
Mental Kurang Terpuji
Ada beberapa persoalan penting yang perlu diuraikan antara guru yang menganiaya dan melecehkan, dengan guru yang berusaha ramah dan berbaik hati dengan membocorkan soal ujian nasional.
Pertama, guru yang menganiaya dan melecehkan adalah tindakan guru yang berada di luar batas kewajaran. Sebagai seorang pendidik dan pengajar, guru tidak pantas menganiaya murid dan melakukan pelecehan seksual karena tindakan tersebut hanya (pantas) dilakukan oleh para penjahat, preman dan orang-orang yang dari segi ilmu pengetahuan sangat terbatas.
Sedangkan, guru adalah manusia bermutu yang memiliki wawasan ilmu keguruan. Mereka memahami dunia pendidikan, dan mengenal karakter para murid. Karena itu, sangat tidak wajar, seorang guru melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap peserta didik.
Kedua, guru yang membocorkan soal ujian nasional adalah guru yang salah mengungkapkan maksud baik. Ada keinginan atau niat baik untuk meluluskan murid dengan cara yang tidak baik. Niat baik tidak bisa diungkapkan dengan cara yang tidak baik. Guru tidak boleh 'menolong' murid agar lulus ujian dengan membocorkan soal. Bukankah dengan demikian, guru telah mengajarkan tindakan penyelewengan, penyimpangan (baca: korupsi) kepada peserta didiknya?
Guru bermaksud baik dengan membocorkan soal ujian nasional, dengan harapan agar semua murid lulus ujian, sehingga sekolah mendapatkan predikat baik, dan mendapatkan pujian dari masyarakat luas. Maksud baik guru tersebut berbenturan (kontradiktif) dengan pendidikan budi pekerti (etis-moral) yang akhir-akhir ini sudah sekian terpinggirkan atau terabaikan. Faktanya, banyak sekolah di Indonesia yang mengukur kemampuan muridnya hanya dari kecerdasan intelektual, sedangkan kecerdasan mental tidak diperhitungkan bahkan diabaikan. Ujian Nasional menegaskan hal itu.
Barui Mental
Ujian nasional hanya mengukur kemampuan murid dari kecerdasan intelektual. Konsep tersebut juga dipraktikkan di sekolah-sekolah. Banyak sekolah kian tidak peduli terhadap persoalan kecerdasan emosional, seperti sikap simpati, empati dan kejujuran. Murid yang baik sekalipun, kalau nilai ujian nasionalnya tidak memenuhi standar, mesti menerima kenyataan "tidak lulus".
Pengabaian terhadap pendidikan budi pekerti (nilai etis-moral) menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan, karena tidak mampu membentuk moral peserta didik secara baik. Akhirnya, para murid tersebut kemudian, ketika menjadi guru juga mengabaikan nilai budi pekerti dalam memberikan penilaian terhadap peserta didiknya. Proses yang terabaikan dalam pembentukan karakter melahirkan lingkaran setan pengabaian terhadap nilai pendidikan budi pekerti dalam dunia pendidikan.