“Maaf Nek, besok-besok tolong jemput Ben tepat waktu ya” kupaksa diriku untuk tetap tersenyum dan bersikap ramah pada wanita renta itu. Aku membalikkan tubuhku, membungkuk untuk mencari Benaya . Tidak ada. Ben hilang? Tidak mungkin. Telingaku cukup tajam untuk mendengar dengusan nafas anak kecil dari arah kolong meja guru. Kali ini aku berhasil meraih tubuh kecil itu dan menyerahkan kepada wanita tua yang menjemputnya. Seperti yang sudah-sudah, wanita tua itu menjabat erat tanganku dan mengucapkan doa singkat, “Tuhan memberkati Anda, Ibu Guru.”
Segelas es jeruk yang segar di warung dekat sekolah seolah-olah mengembalikan energiku yang terkuras habis. Aku senang karena bisa lalui hari ini dengan kegiatan pembelajaran di kelas, namun ada perasaan gagal yang merayap di sudut hatiku. Siapa lagi yang buat perasaanku seperti ini kalau bukan Benaya?
Aku cukup idealis dan bisa dikatakan sangat perfeksionis. Impianku bagi anak didikku adalah supaya mereka menjadi anak-anak yang luar biasa. Aku percaya meskipun rata-rata mereka berusia 4-5 tahun, namun mereka dapat menjadi anak-anak yang membanggakan . Itu sudah terbukti. Anak-anak asuhanku semuanya berprestasi, dan aku sering menerima laporan dan kabar menggembirakan dari orangtua mereka mengenai perkembangan mereka yang positif. Kecuali, ya kecuali yang satu ini, Benaya. Jujur saja, ada perasaan gagal yang merayap di hatiku. Bagaimana tidak, jangankan bisa duduk manis di kelas, untuk membuat Benaya menatap kearahku saja, aku tak mampu.
“Bu Guru, Benaya kenapa gak masuk?” Sinta, satu-satunya murid di kelasku yang suka membawa coklat untuk Benaya melontarkan pertanyaan tentang teman baiknya itu. Memang, sudah tiga hari Ben gak masuk. Pertanyaan Sinta mengusikku bahklan seperti menamparku. Aku bahkan seolah tak peduli dengan ketidakhadirannya. Aku menikmati kelasku yang nyaman, menyenangkan, tanpa ada si trouble maker itu. Tiba-tiba naluri seorang guru mengusikku. Apa yang terjadi dengan Ben? Mengapa Ben gak masuk? Apa mungkin ia sakit? Ingatan kepada Benaya terus terbayang, sampai akhirnya aku mengambil keputusan untuk menjenguknya sepulang sekolah.
Kulirik alamat yang tercantum di genggaman tanganku untuk memastikan apakah benar rumah tua berpagar bambu itu adalah tempat kediaman Benaya. Aku menyapu pandanganku kearah rumah tua itu. Ada beberapa pot bunga yang sudah layu menghias teras yang sempit. Rumput-rumput liar hidup di sana-sini. Tiga kali ketukan di pintu tak ada sahutan dari dalam. “Ben…. Benaya….” tetap hening. Aku penasaran. Pintu dengan mudah kudorong, rupanya tak dikunci. Kakiku melangkah memasuki ruang tamu yang sempit. Sepasang pengantin muda tersenyum bahagia dalam bingkai foto yang digantung. Wajah pria itu mirip Benaya, dan sepasang mata milik wanita itu persis mata Benaya. Dimana mereka sekarang?
Kain pintu kamar sedikit terkuak, jadi aku dapat mengintip ke dalam kamar. Astaga, wanita tua itu terbaring lemah dengan sehelai handuk kecil diatas dahinya. Benaya kecil sudah pulas disampingnya. “Nek, nenek kenapa?” kusentuh lengannya, panas. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku merasa akan terjadi sesuatu. Kuraih ponselku menghubungi rumah sakit terdekat. Beberapa menit kemudian, kami sudah berada dalam mobil ambulans. Wanita tua itu terbujur pucat pasi. Benaya tertidur pulas dalam pangkuanku. Seperti disambar petir di siang hari, aku terkejut bukan main ketika dokter mengabariku mengenai keadaan wanita tua itu. Air mataku mengalir mengantar kpergiannya. Ia telah pergi untuk selamanya, menyusul anak dan menantunya.
Peristiwa itu telah berlalu tujuh tahun silam. Sejak hari itu kuputuskan untuk mengadopsi Benaya menjadi anakku. Hari-hari panjang kulalui dengan perjuangan menolong Benaya untuk dapat berbicara, membimbingnya untuk dapat fokus, menatap mata lawan bicara, menolongnya membuang kebiasaan meludahi wajah orang, dan tentu saja membimbingnya untuk dapat menjadi anak yang berbudi pekerti luhur.
Enam tahun pertama dalam diri Ben, telah dilalui dengan tragedi demi tragedi. Ben kehilangan ayahnya saat ia berusia dua tahun. Ibunya menyusul ayahnya ketika Ben berusia empat tahun. Neneknya dengan susah payah berjuang untuk Ben tetap hidup dan bersekolah. Pengalaman masa lalu Ben yang pilu membentuk pribadinya menjadi anak bermasalah, haus kasih sayang, dan di cap sebagai “Si Pembuat masalah”.
Masih jelas dalam kenanganku, suatu malam ketika ia terjatuh dari tangga. Ia histeris, dan aku panik. Aku memeluknya dan menangis bersama-samanya. “Bunda sayang Benaya….. Bunda sayang Benaya.” Perkataan itu kuulangi terus menerus dari bibirku. Untuk pertama kalinya Benaya menatap lama wajahku, dan mengulang ucapanku, “Bunda sayang Benaya.” Ia memelukku erat-erat, dan aku tahu malam itu aku telah menang. Aku telah mendapatkan hati Ben.
Kemarin adalah hari ulang tahunku. Menjelang tidur malam, Ben mengetuk pintu kamarku dan mengulurkan sekuntum mawar. “Selamat ulang tahun, Bunda.” Ia mendekapku erat. Dadaku basah oleh airmatanya.
Kupandangi langit-langit kamarku. Ingatanku melayang ke masa silam. Kulihat Benaya kecil seorang diri di kamar gelap.Sepasang tangan terulur dan menariknya dari ruang gelap itu. Malam ini, dipembaringanku, aku bersyukur pada Tuhan yang telah mengubah hatiku dan memberikan tanganNya padaku untuk menjangkau dan menyelamatkan bocah kecil dalam kegelapan, untuk membawanya melihat dan merasakan kekuatan cinta.
Denpasar, 14 September 2014
(Dipersembahkan kepada seseorang yang amat kukasihi)