Aku tahu hari ini sangat melelahkan. Kutarik selimut yang membungkus tubuhku, berusaha untuk bangkit dari pembaringan. Matahari pagi menerobos melalui jendela nako. Kurentangkan tanganku dan menarik napas dalam-dalam, melakukan gerakan senam ringan. Kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 wita. Tidak ada banyak waktu lagi, aku harus bergegas mandi dan bersiap diri.
Lima tahun sudah aku mengabdi di sekolah ini. Sebuah lembaga pendidikan yang mengasuh anak-anak usia pra sekolah, anak-anak usia 4-5 tahun. Banyak suka dan duka sebagai guru. Aku menikmati semua hari-hariku sampai suatu hari datanglah Benaya. Kesibukanku seolah bertambah dua kali lipat sejak kehadirannya.
Setiap hari selalu saja ada murid yang melapor, “Bu Guru, Benaya menarik-narik rambutku.” Lagi-lagi Cindy protes ketika tangan Benaya menjambak rambutnya.
“Bu Guru, Benaya meludah di mejaku.”
“Bu Guru , tanganku …. tanganku…. digigit Benaya, sakiiit, Bu Guru…”
“Bu Guru, Benaya pipis di kelas, Bu…”
Dan masih banyak lagi teriakan-teriakan protes dari murid-murid di kelasku. Rasanya aku kehabisan akal untuk menghadapi si pendatang baru, Benaya.
Usianya sudah enam tahun, namun perilakunya tak beda dengan anak usia empat tahun. Aku harus memberikan perhatian ekstra kepadanya. Sengaja kutaruh tempat duduknya di sebelahku, supaya gampang kuawasi. Cukup melelahkan memang, sementara muridku yang lain juga butuh perhatian.
“Ben, tidak meludah sembarangan!” dengan nada tegas aku memandanginya, namun terlambat, cairan dingin dari mulut Benaya sudah pindah dan menempel di wajahku. Beberapa muridku tertawa melihat aku kebingungan mencari tissue. Perasaanku bercampur aduk antara kesal dan belas kasihan.
“Dihukum aja Bu, biar tahu rasa.” Alex berdiri dan menudingkan jarinya pada Benaya yang mendorong-dorong mejanya tanpa rasa bersalah.
“Sekarang Ibu Guru mau kalian menggambar bebas. Kalian boleh menggambar apa saja yang kalian suka, dan jangan lupa untuk diwarnai.” Metode ini kulakukan supaya aku punya kesempatan berdua dengan Benaya. Aku menarik Benaya mendekat. Matanya menari-nari liar menatap tembok kelas dari sisi yang satu ke sisi yang lain. Kedua tanganku memegang wajahnya.
“Ben… Benaya… Ibu Guru mau bicara. Lihat mata Bu Guru.” Aku mencoba membuat ia fokus. Usahaku sia-sia karena bola mata Benaya masih saja menari liar kesana-kemari seolah mencari sesuatu yang hilang di kelas.
“Ben… Benaya…. Coba lihat Bu Guru.” Tetap tak berhasil, dan kini mulutnya kembali mengumpulkan air liur dan siap untuk disemburkan kewajahku. “Tidak !” ia seperti terkesiap. Kali ini matanya memandangiku, namun hanya sekejap, dua detik saja, dan ia kembali asyik dengan dunianya sendiri.
Bel panjang berbunyi, waktunya berpisah dengan murid-muridku. Satu persatu mereka menyalami dan mencium tanganku. “Terima kasih, Bu Guru, sampai ketemu besok pagi.” Maya melompat-lompat kegirangan melihat papanya berdiri diambang pintu dengan senyum mengembang dan tangan terbuka lebar, siap menangkap bidadari kecilnya.
Suasana sekolah sudah lengang, ingin rasanya aku cepat-cepat ke warung sebelah dan meneguk segelas es jeruk, namun niat ini kuurungkan. Benaya masih di kelas, meringkuk dibawah meja. Hanya dia satu-satunya murid yang belum dijemput, dan selalu begitu setiap hari. Aku bersandar di dinding kelas memandangi makhluk kecil yang asyik sendiri dengan dunianya. Otakku berpikir keras bagaimana cara mendapatkan perhatian atau tatapan matanya. Aku beringsut maju mendekatinya, berlutut di kolong meja. Tangan kananku terulur menjamah tubuhnya.
“Auuuwwwwww……” Gigi geligi Ben setajam pisau. Perihnya bukan main. Lengan kananku seperti mau robek. Ingin rasanya kutampar atau kujewer kupingnya, namun peraturan sekolah tidak memperbolehkan guru menampar, menjewer, memukul, atau melakukan hukuman fisik lainnya terhadap siswa.
“Selamat siang, Bu Guru, maaf, saya terlambat lagi.” Seperti yang sudah-sudah, seorang perempuan tua berdiri di ambang pintu kelasku. Ia terlihat pucat dan sangat letih, sebuah senyuman yang dipaksakan menghias bibir keriputnya. Tangan kanannya mengapit keranjang berisi dagangan yang tidak laku terjual. Kupicingkan mataku untuk menyelidiki apa saja yang ada dalam keranjang itu. Beberapa bumbu dapur, beberapa roti tawar dan biskuit, juga dua buah margarine.
“Maaf Nek, besok-besok tolong jemput Ben tepat waktu ya” kupaksa diriku untuk tetap tersenyum dan bersikap ramah pada wanita renta itu. Aku membalikkan tubuhku, membungkuk untuk mencari Benaya . Tidak ada. Ben hilang? Tidak mungkin. Telingaku cukup tajam untuk mendengar dengusan nafas anak kecil dari arah kolong meja guru. Kali ini aku berhasil meraih tubuh kecil itu dan menyerahkan kepada wanita tua yang menjemputnya. Seperti yang sudah-sudah, wanita tua itu menjabat erat tanganku dan mengucapkan doa singkat, “Tuhan memberkati Anda, Ibu Guru.”
Segelas es jeruk yang segar di warung dekat sekolah seolah-olah mengembalikan energiku yang terkuras habis. Aku senang karena bisa lalui hari ini dengan kegiatan pembelajaran di kelas, namun ada perasaan gagal yang merayap di sudut hatiku. Siapa lagi yang buat perasaanku seperti ini kalau bukan Benaya?
Aku cukup idealis dan bisa dikatakan sangat perfeksionis. Impianku bagi anak didikku adalah supaya mereka menjadi anak-anak yang luar biasa. Aku percaya meskipun rata-rata mereka berusia 4-5 tahun, namun mereka dapat menjadi anak-anak yang membanggakan . Itu sudah terbukti. Anak-anak asuhanku semuanya berprestasi, dan aku sering menerima laporan dan kabar menggembirakan dari orangtua mereka mengenai perkembangan mereka yang positif. Kecuali, ya kecuali yang satu ini, Benaya. Jujur saja, ada perasaan gagal yang merayap di hatiku. Bagaimana tidak, jangankan bisa duduk manis di kelas, untuk membuat Benaya menatap kearahku saja, aku tak mampu.
“Bu Guru, Benaya kenapa gak masuk?” Sinta, satu-satunya murid di kelasku yang suka membawa coklat untuk Benaya melontarkan pertanyaan tentang teman baiknya itu. Memang, sudah tiga hari Ben gak masuk. Pertanyaan Sinta mengusikku bahklan seperti menamparku. Aku bahkan seolah tak peduli dengan ketidakhadirannya. Aku menikmati kelasku yang nyaman, menyenangkan, tanpa ada si trouble maker itu. Tiba-tiba naluri seorang guru mengusikku. Apa yang terjadi dengan Ben? Mengapa Ben gak masuk? Apa mungkin ia sakit? Ingatan kepada Benaya terus terbayang, sampai akhirnya aku mengambil keputusan untuk menjenguknya sepulang sekolah.
Kulirik alamat yang tercantum di genggaman tanganku untuk memastikan apakah benar rumah tua berpagar bambu itu adalah tempat kediaman Benaya. Aku menyapu pandanganku kearah rumah tua itu. Ada beberapa pot bunga yang sudah layu menghias teras yang sempit. Rumput-rumput liar hidup di sana-sini. Tiga kali ketukan di pintu tak ada sahutan dari dalam. “Ben…. Benaya….” tetap hening. Aku penasaran. Pintu dengan mudah kudorong, rupanya tak dikunci. Kakiku melangkah memasuki ruang tamu yang sempit. Sepasang pengantin muda tersenyum bahagia dalam bingkai foto yang digantung. Wajah pria itu mirip Benaya, dan sepasang mata milik wanita itu persis mata Benaya. Dimana mereka sekarang?
Kain pintu kamar sedikit terkuak, jadi aku dapat mengintip ke dalam kamar. Astaga, wanita tua itu terbaring lemah dengan sehelai handuk kecil diatas dahinya. Benaya kecil sudah pulas disampingnya. “Nek, nenek kenapa?” kusentuh lengannya, panas. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku merasa akan terjadi sesuatu. Kuraih ponselku menghubungi rumah sakit terdekat. Beberapa menit kemudian, kami sudah berada dalam mobil ambulans. Wanita tua itu terbujur pucat pasi. Benaya tertidur pulas dalam pangkuanku. Seperti disambar petir di siang hari, aku terkejut bukan main ketika dokter mengabariku mengenai keadaan wanita tua itu. Air mataku mengalir mengantar kpergiannya. Ia telah pergi untuk selamanya, menyusul anak dan menantunya.
Peristiwa itu telah berlalu tujuh tahun silam. Sejak hari itu kuputuskan untuk mengadopsi Benaya menjadi anakku. Hari-hari panjang kulalui dengan perjuangan menolong Benaya untuk dapat berbicara, membimbingnya untuk dapat fokus, menatap mata lawan bicara, menolongnya membuang kebiasaan meludahi wajah orang, dan tentu saja membimbingnya untuk dapat menjadi anak yang berbudi pekerti luhur.
Enam tahun pertama dalam diri Ben, telah dilalui dengan tragedi demi tragedi. Ben kehilangan ayahnya saat ia berusia dua tahun. Ibunya menyusul ayahnya ketika Ben berusia empat tahun. Neneknya dengan susah payah berjuang untuk Ben tetap hidup dan bersekolah. Pengalaman masa lalu Ben yang pilu membentuk pribadinya menjadi anak bermasalah, haus kasih sayang, dan di cap sebagai “Si Pembuat masalah”.
Masih jelas dalam kenanganku, suatu malam ketika ia terjatuh dari tangga. Ia histeris, dan aku panik. Aku memeluknya dan menangis bersama-samanya. “Bunda sayang Benaya….. Bunda sayang Benaya.” Perkataan itu kuulangi terus menerus dari bibirku. Untuk pertama kalinya Benaya menatap lama wajahku, dan mengulang ucapanku, “Bunda sayang Benaya.” Ia memelukku erat-erat, dan aku tahu malam itu aku telah menang. Aku telah mendapatkan hati Ben.
Kemarin adalah hari ulang tahunku. Menjelang tidur malam, Ben mengetuk pintu kamarku dan mengulurkan sekuntum mawar. “Selamat ulang tahun, Bunda.” Ia mendekapku erat. Dadaku basah oleh airmatanya.
Kupandangi langit-langit kamarku. Ingatanku melayang ke masa silam. Kulihat Benaya kecil seorang diri di kamar gelap.Sepasang tangan terulur dan menariknya dari ruang gelap itu. Malam ini, dipembaringanku, aku bersyukur pada Tuhan yang telah mengubah hatiku dan memberikan tanganNya padaku untuk menjangkau dan menyelamatkan bocah kecil dalam kegelapan, untuk membawanya melihat dan merasakan kekuatan cinta.
Denpasar, 14 September 2014
(Dipersembahkan kepada seseorang yang amat kukasihi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H