Akhirnya, lepas juga kami dari kemacetan, kami langsung mencari tempat parkir. Dengan langkah cepat, kami penuju tempat untuk melihat sunrise. Sungguh sangat ajaib, setelah sampai di puncak, orang -orang berkata wawwww. Yang pasti bukan untuk kami. Tapi, kepada matahari yang baru saja terbit tepat setelah aku menginjak pendopo untuk melihat sunrise.
Kami berpindah ke sebelah barat pendopo. Terlihatah gunung Bromo dengan asapnya yang mengepul. Di kakinya ada awan putih dan tebal. Cahaya matahari menerangi separuh sisinya. Terlihat bayangan yang memanjang dari sisi yang lain. Terus ke barat tampak Mahameru dengan gagah. Tapi sayang, kami tidak bisa ke sana karena sangat jauh.
Temanku mengajak turun ke bawah menuju gunung Bromo. Kami pun kembali mengambil motor dan menyempatkan diri untuk sholat shubuh di mushollah. Saat mengambil air wudhu, brrrrrr..... mati rasa men..... Airnya seperti diimpor dari kutub utara. Dinginn pollllll. Aku melihat ada sekelompok remaja putri berwajah tionghoa yang juga antri di kamar mandi musollah. Dan benar, bahasa mereka juga bahasa negeri bambu.
Selesai sholat shubuh, kami bergegas menuju kawah gunung bromo. Ternyata menuju kawah mendapatkan pengalaman lain tersendiri. Bila kita naik pesawat, maka kita menembus awan dari bawah. Nah, kalau ini kita menembusnya dari atas. Kerenn. Kami belum bisa melihat dibawah kepulan awan itu karena begitu tebal. Setelah beberapa menit barulah kami sampai di bawah. Terlihat Gunung Bromo dari kejauhan.
Cukup sulit untuk mendekati Bromo karena ban motor kami sering tenggelam di dalam abu. Butuh keseimbangan tinggi melewati jalur ini. Kami melaju dengan lamban agar tidak terjatuh. Akhirnya, sampai juga di kaki gunung Bromo. Kami pun memarkirkan motor dan istirahat sejenak.
Di lereng gunung bromo, kembali terlihat ratusan orang yang menaiki tangga menuju kawah. Di sebelah tangga ada beberapa orang yang mendaki dengan tangan kosong. Salah satu temanku tidak ingin ikut ke atas untuk melihat kawah. Lalu, kami memutuskan untuk naik bertiga melewati lereng gunung.
Kami sampai di atas, terdengar suara gemuruh dari dalam kawah gunung bromo. Suaranya begitu garang dan berwibawa. Asapnya tetap mengepul beradu ke atas. Terdapat pagar setinggi dada untuk menjaga jarak langkah wisatawan melihat kawah. Di pagar terdapat tulisan agar jangan berlama-lama di situ karena berbahaya untuk pernafasan. Terdengar juga suara ngos-ngosan dari seluruh wisatawan. Mereka bak mendapat hukuman berlari mengelilingi lapangan sepak bola.
Setengah jam kami habiskan di atas menikmati segala pemandangan kawah, semut manusia, dan tekstur abu vulkanik di sekitar kaki gunung. Aku mengambil foto tekstur itu untuk diaplikasikan saat aku mengikuti lomba kaligrafi dekorasi.