“Ibu ini bagaimana. Justru harusnya Ibu bangga pada saya. Sebab cinta saya begitu luas. Saya berani diadu besar mana cinta mereka yang tadi upacara dengan saya. Mau sebanyak apapun orang upacara, cintanya tidak bisa mengalahkan luasnya cinta saya”
“Luas dari Hongkong!”
“Tidak usah jauh-jauh ke Hongkong, Bu. Disini saja kalau mau mendengarkan saya. Toh, meskipun saya cinta Hongkong, saya belum tentu bisa pergi ke Hongkong. Tidak ada uangnya, Bu”
“Hehehe…” si Ibu tertawa.
“Bu, mari kita berandai-andai. Kalaulah cinta Ibu dan saya dibandingkan, cinta Ibu itu hanyalah rahmatan lil Indonesia. Nah, sedangkan saya rahmatan lil alamin”
“Hehehe…”
“Di negeri apapun kita hidup, mau di Timbuktu atau di Etophia, yang terpenting adalah kita menjadikan diri kita sebagai makhluk yang paling bertaqwa sekaligus cantik (seperti saya, itu dalam hati saya). Makhluk yang berguna bagi dunia karena perbuatan baiknya. Yang semata-mata didasari atas nama Allah dan agamanya”
“Hehehe… iya Pak Ustadz” Si Ibu ketawa sambil menyindir (barangkali)
“Ibu sepakat tidak?”
“Ya sepakat aja sih tapi masa pahlawan di negara orang dihormati juga”
“Namanya juga Mujahidin, Bu. Mau di negeri mana pun ya harus dihormat. Mereka itu generasi terbaik setelah generasinya Rasulullah.”