Seorang pemimpin, baik di eksekutif, legsilatif, tokoh agama, partai politik, maupun pemimpin organsisasi masyarakat idealnya menjadi tolok ukur atau uswatun hasanah (contoh yang baik).Â
Bukan lagi hanya pencitraan untuk mendapatkan simpati masyarakatnya, tetapi ketulusan hati yang patut untuk ditiru bukan semu. Insya Allah ini bisa menjadi langkah solutif untuk menghilangkan stigma negatif bagi para tokoh atau pemimpin.
Kita optimis bila upaya ini sadar dilakukan oleh para pengarep atau tokoh negeri ini. Ungkapan bangsa ini  krisis contoh akan terpinggirkan. Akan tetapi sebaliknya bila dengan kasat mata para pemuka dan tokoh masih doyan korupsi, nepotisme, ketidak jujuran, ketidak adilan, keserakahan, gila harta dan sebagainya masih dengan masifnya dipertontonkan.
Maka bisa dibayangkan bagai menegakkan benang basah sulitnya untuk mengindoktrinasi nilai-nilai luhur pada para generasi penerus. Mereka akan berpikir kok tidak sama apa yang diterima di bangku sekolah atau pendidikan dengan kehidupan nyata. Ironi dan kontradiktif.
Sekarang apa yang harus diperbuat. Apakah hanya saling menyalahkan dan mencari kesalahan-kesalahan orang lain, saya kira tidak fair dan tidak tanggung jawab. Oleh karena itu marilah kita semua untuk bisa menjadi guru yaitu orang yang "bisa digugu dan ditiru" artinya bisa dipercaya dan diikuti.Â
Lebih-lebih para pemuka atau tokoh sebagai panutan. Bukankah kita semua tahu sesuai anjuran Rasulullah "Ballighu 'anni walau ayah"artinya sampaikan dariku meskipun satu ayat.Â
Sebagai guru bagi masyarakat sudah selayaknya kita semua berperan aktif menyampaikan pesan-pesan yang positif, produktif, kreatif dan solutif.
Dalam konteks menyampaikan kebaikan tidak harus verbalistik tetapi melalui perilaku dan tingkak laku yang positif akan memberikan dampak yang luar biasa, ibaratnya "satu tindakan lebih bermakna dari seribu kata-kata".Â
Nah, di sinilah peran dari ketiga milieu pendidikan antara keluarga, sekolah dan masyarakat harus selaras. Di sekolah anak meneladani guru-gurunya, di rumah orangtua bisa di idolakan dan di masyarakat para tokoh dan pemimpinnya bisa dihormati dan dibanggakan karena perilakunya layak untuk diadopsi.
Optimis sebagai kekuatan
Masih menjadi kekhawatiran kita benarkah rasa malu berbuat buruk atau maksiat sudah perlahan tercerabut dari nurani kita, saya kira tidak. Tetapi kalau melihat fenomena maraknya penyimpangan sosial di masyarakat, hilangnya rasa malu perlahan menjadi benar adanya.Â
Lihat saja di media-media sosial maupun pemberitaaan di telivisi semakin maraknya kejadian kejahatan dan penyimpangan terhadap norma-norma agama maupun adat ketimuran yang kadang diluar nalar akal sehat, ini seolah-olah menguatkan bahwa sebagian dari kita rasa malunya bukan lagi menjadi baju yang menutupi aib perilaku buruknya.