Mohon tunggu...
Jejep Falahul Alam
Jejep Falahul Alam Mohon Tunggu... -

Aku adalah seorang yang hobi mencari sesuatu yang baru. Dan selalu berusaha menjadi cahaya dalam kegelapan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Dinasti

5 September 2015   01:14 Diperbarui: 5 September 2015   01:21 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari yang lalu Bupati Majalengka H.Sutrisno memberikan keterangan pers ke sejumlah awak media. Orang nomor satu di pemerintahan Kabupaten Majalengka menegaskan bahwa pihaknya ketika lengser nanti tidak akan mencalonkan istri maupun keluarganya melanjutkan estafet kepemimpinannya di Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat.

Alasan yang dikemukakan karena menjadi seorang kepala daerah bukan perkara mudah. Perlu orang yang memiliki kredibiitas, punya kapasitas, profesional, memiliki kemampuan dalam segala hal, dan didukung sepenuhnya oleh rakyat.

Atas pertimbangan itulah mantan Wakil Ketua DPRD Majalengka melarang keluarganya maju dalam Pilkada serentak yang digelar pada tahun 2017 mendatang. Ini artinya Ketua DPC PDIP Kabupaten Majalengka tidak ingin membangun dinasti politik.

Terlepas dari benar atau tidak pernyataan itu, tinggal kita lihat nanti pada waktunya. Karena terlalu dini berbicara Pilkada Majalengka sedangkan waktunya masih tiga tahun lagi. Sebab yang namanya politik itu bisa berubah dalam hitungan menit, tergantung situasi dan kondisi perpolitikan yang terjadi.

Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi, itulah kamus politik yang berlaku di negeri ini. Kesimpulannya, dipercaya atau tidak pernyataan suami dari Ny Hj. Imas Indrawati Sutrisno ini kita lihat nanti, bila kita masih diberikan panjang umur atau dunia tidak keburu runtuh (kiamat). Namun kita harus memberikan apresiasi atas keputusan Bupati Sutrisno yang tidak ingin membangun dinasti politik seperti kebanyakan terjadi di kota dan kabupaten lainnya di Indonesia.

Namun secara aturan yang berlaku saat ini, keluarga incumbent yang ingin bertarung dalam perebutan tahta kekuasaan, diperbolehkan dengan lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang jatuh pada bulan puasa yang lalu. Kendati sebelumnya UU Pilkada melarang keluarga petahana maju dalam Pilkada dengan berbagai alasan.

Salah satu tujuannya mencegah terbangunnya dinasti politik yang selama ini tumbuh subur di sejumlah daerah di tanah air. Keputusan MK itu sendiri menyebutkan, ketentuan larangan keluarga incumbent mengandung muatan diskriminatif.

Hingga akhirnya MK memutuskan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Tapi pendapat penulis, dengan diperbolehkannya keluarga incumbent kembali maju, itu sama artinya politik dinasti seolah-olah dilegalkan. Hal itu sama saja demokrasi di NKRI ini secara tidak langsung kembali ke zaman kerajaan. Karena hanya trah tertentu yang bisa menduduki jabatan penting dalam pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

Bukan hanya itu, dengan disahkannya politik dinasti sama saja telah terjadi kemunduran sistem perpolitikan yang mulai berkembang dengan baik. Karena politik dinasti sangatlah tidak etis, apabila diterapkan di era perpolitikan yang mulai demokratis dan transparan.

Dari pengamatan yang sudah-sudah, para calon incumbent biasanya menang karena ia menguasai anggaran daerah (uang rakyat=APBD) yang dikemas melalui beragam program yang dititipkan melalui organisasi program daerah (OPD) atau SKPD di lingkungan pemerintahan masing-masing. Sehingga calon keluarga incumbent dipredeksi bakal menang-meski tidak semuanya-karena faktanya incumbent memegang kekuasaan sebagai pengguna anggaran hingga mencapai ratusan bahkan triliunan rupiah dari berbagai "potensi sumber" yang dapat digali.

Mereka juga punya otoritas dalam mengangkat, memutasikan, pejabat dan mampu menggerakan para PNS secara tidak langsung untuk mengikuti alur politiknya. Meski PNS dilarang terlibat dalam politik, tapi faktanya hal itu sulit dihindari terutama bagi para pejabat yang memiliki keterkaitan. Maka dari itu, politik dinasti setidaknya telah menutup kran demokrasi yang terjadi dewasa ini.

Sebab setiap warga negara yang ingin maju sudah ciut sebelum bertarung, karena melihat kekuatan sumber dana berlimpah yang dimiliki keluarga incumbent dengan ditopang faktor pendukung lainnya.Maka dari itu, cara ampuh menghancurkan politik dinasti adalah dengan memberikan kesempatan yang besar kepada calon lain untuk bersaing dengan keluarga petahana dalam pertarungan Pilkada.

Dengan begitu, peluang setiap warga negara yang mempunyai hak politik berebut dalam sistem politik terbangun dengan sendirinya.Namun dengan keputusan MK tersebut, kita tetap harus menghargai dan menghormatinya. Karena ada alasan lain dibalik putusan mahkamah yang memperbolehkan keluarga incumbent maju dalam Pilkada. Tapi kita berharap semoga kebijakan itu tidak membuat kegaduhan di kalangan masyarakat dan kehawatiran yang selama ini terjadi dalam politik dinasti tidak terwujud. ***

Oleh : Jejep Falahul Alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun