Mohon tunggu...
Fariq Tasaufy
Fariq Tasaufy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

when the world turns against my will....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Alzaimeir, Tomcat, dan BBM yang Mematikan

3 April 2012   04:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:06 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua elemen bangsa, baik pejabat dan masyarakat adalah manusia. Memiliki kebebasan dalam menentukan antara salah-benar, baik-buruk, antara netral-memihak, dan antara sama-tidak sama. Namun pastilah manusia memiliki titik tengah dalam masalah tersebut. Bukan merupakan sebuah kenetralan, atau tak mau acuh, melainkan sebuah kebijaksanaan dan keadilan.

Problem kenaikan BBM dan Korupsi bukanlah masalah yang sepele. Dari kedua hal tersebut saja masyarakat sekaligus pemerintah terkena dampaknya. Kerugian korupsi bapak Nazarrudin saja sudah milyaran rupiah. Belum lagi kasus Malinda Dee dan Gayus Tambunan. Belum lagi kasus kasus yang lain yang belum tuntas. Diantaranya kasus Bank Century dan Bank Mega.

Belum kelar menangani kasus tersebut, pemerintah dan masyarakat harus kembali berkutat dengan kenaikan harga BBM yang dirasa perlu untuk menyelamatkan perekonomian bangsa. Alasan yang dilontarkan tetaplah sama "Menyesuaikan harga minyak dunia." Apapun alasannya, masyarakat tetaplah menyangsikan hal tersebut. Dan lagi-lagi pemerintah kembali mencanangkan BLT (Bantuan Lanhsung Tunai) atau sibsidi langsung, yang dialamatkan kepada masyarakat kurang mampu. Namun, kenyataan bahwa apapun alasan yang digunakan untuk memaksakan kenaikan harga BBM, dan sebesar apapun subsidi yang akan diberikan, masyarakat tetaplah tidak sependapat karena khawatir kenaikan BBM akan berdampak besar pada kenaikan harga barang kebutuhan yang lain, seperti obat-obatan serta bahan pokok yang lain.

Dari sini, alih-alih menerima suara rakyat, yang tersalurkan melalui aksi demo yang dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat, pemerintah malah melakukan reaksi dengan menyiapkan berpleton-pleton aparat kepolisian juga tentara pada titik-tik yang rawan. Kembali, alasan mereka tetap sama dan sudah udzur seperti yang dilakukan almarhum Presiden Soeharto pada zaman orde baru yaitu "Menjaga stabilitas negara dari MAKAR". Jika Bapak SBY (Presiden yang terhormat) pernah berkata bahwa aksi premanisme adalah ekses dari reformasi dan kebebasan yang tak bertepi, munkin perlu ditambahkan pula bahwa aksi anarkisme dan aksi demo adalah ekses dari kebijakan pemerintah yang tak berdaulat untuk rakyat, juga ekses dari penyakit "alzaimeire" yang semakin merakyat.

Masyarakat dan pejabat mulai lupa cara berdemokrasi, sudah lupa dalam mengamalkan Pancasila, sudah lupa dalam ber-Bhineka Tunggal Ika, dan yang lebih parah lagi kita sebagai manusia telah melupakan etika berbangsa dalam mengahadapi berbagai masalah yang muncul. Lalu bagaimana sebuah kebijakan dapat dikatakan bijaksana, adil dan berprioritas jika staat filosofi, etika berbangsa beserta semboyan bangsa sudah dilupakan? Penyakit alzaimeir mungkin sudah mewabah seperti Tomcat sehingga mengakibatkan "kulit sosial" dalam negeri yang semakin memanas. Suhu tubuh politik semakin tidak stabil dan akhirnya harus dilarikan ke Rumah Sakit Demo.

Secara lahiriah para pejabat dan masyarakat adalah manusia yang memiliki akal sehat. Memeiliki hati untuk dijadikan tepi dalam pembuatan kebijakan ataupun penyampaian aspirasi. Sebagai pemegang amanah masyarakat, seharusnya para pejabat menggunakan etika secara bijaksana agar mampu menciptakan keputusan sesuai dangan prioritas-tercipta keadilan yang semakin merata pada semua elemen masyarakat. Tentunya masyarakat juga harus berperan kooperatif dalam menyampaikan aspirasi, tanpa melakukan perusakan dan pembakaran. Agar masyarakat lain yang tidak terlibat dalam aksi demo merasa aman dan nyaman melakukan aktivitas sehari-hari.

"Hanya karena kita memiliki kebebasan, kita dapat dibebani kewajiban moral dan tanggung jawab." (Frans Magnis-Suseno).

Fariq Shiddiq Tasaufy

Surabaya, 27 Maret 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun