Cerpen saya terhenti, ide saya habis, fikiran saya melayang terbang dan tak kembali. Berbagai permasalahan ingin menjadi yang pertama untuk disolusikan. Semua berawal ketika saya memikirkan masa depan, calon istri, orang tua, dan mimpi saya. Segalanya bermula ketika saya harus memikirkan manakah yang lebih penting antara materi dan ilmu serta hati dan fisik. Dan semakin berat saja ketika semua mimpi dan harapan yang telah saya bangun, selalu terhalang oleh realita yang menjadi pijakan dari kesemuanya.
Kenyataanya, saya lebih sering berharap untuk menjadi orang yang beruntung. Berdo'a agar banyak harta tanpa menabung. Menghiba pekerjaan mapan tanpa usaha. Lebih ironis lagi, saya lebih suka menyalahkan realita, berfikir sempit hingga timbul cita-cita untuk jadi politikus mandaraguna. Kemana-mana berkuasa karena menyimpan banyak harta. Senggol kiri dapat Mercy, senggol kanan hujan uang, dan senggol "mburi" rumahpun jadi.
Harapan menjadi orang beruntung itu datang saat saya mendengar teman saya nyeletuk saat ngopi; "Orang pintar itu selalu kalah dengan oarang beruntung bro!". Sampai sekarang saya masih bertanya, apakah saya ini orang yang beruntung ataukah orang pintar? Apakah saya harus jadi politikus dulu, baru saya jadi orang yang beruntung? Atau jadi orang yang pintar agar jadi beruntung? Atau jadi orang yang beruntung agar bisa jadi politikus?
Semuanya nampak seperti sebuah masalah ketika anda harus memikirkannya secara bersamaan. Sedari awalnya, kita diharuskan untuk memilih prioritas yang tepat, untuk mendapatkan solusi yang sesuai tempat. Kesemua masalah yang saya sebutkan diatas tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan permasalahan bagsa yang sangatlah rumit, pelik-dikarenakan sikap oknum atau kelompok tertentu bersikap uncompromised dalam menyatakan tuntutan terhadap pemerintah. Ditambah lagi ketika para pejabat pemerintah lebih senang memikirkan besaran gaji, megah bangunan dan mobil dinas apa yang harus dinaiki, daripada harus mensolusikan tuntutan itu dengan bijaksana-proporsianal-fungsional.
Banyak kalangan berkata tentang kondisi negeri yang semakin tidak kondusif. Saya juga berpendapat sama akan hal itu. Betapa tidak, korupsi sudah tidak lagi pekerjaan kaum priyai yang duduk di senayan. Sudah merambah sampai ke para perangkat desa hingga guru-guru yang "digugu lan ditiru", dan bisa jadi suatu saat menular pada para pemuka Agama (ulama) kita. Juga kenaikan harga BBM yang desertai dengan aksi demo beberapa pihak (buruh dan mahasiswa) yang memacetkan jalan. Belum lagi kebingungan masyrakat akan wabah hama Tomcat yang membuat sibuk beberapa rumah sakit ternama di Surabaya.
Beberapa kalangan masyrakat kota berpendapat bahwa isu hama tersebut sengaja dimunculkan sebagai "pengalih" semua isu besar. Untungnya, isu "Tomcat" tersebut masih kalah bersaing dengan kasus penimbunan BBM yang dilakukan secara besar-besaran oleh sejumlah orang-orang tak bertanggungjawab. Beribu liter BBM mereka kumpulkan untuk di jual kembali ketika harga BBM telah secara "terpaksa" dinaikkan. "Tomcat" hampir saja menjadi super hero yang memihak kepada pemerintah, dan semakin membuat sengsara kaum petani yang hilir mudik kesawah, yang berada di perkotaan, karena terkena toksin-nya yang mengakibatkan iritasasi pada kulit. Dikatakan bahwa seseorang yang terkena cairan tersebut akhirnya akan merasakan panas yang sangat hebat pada kulit.
Coba anda bayangkan betapa depresinya masyarakat kota Surabaya akhir-akhir ini, jika harus memikirkan banyak hal dalam sebuah momentum yang singkat. Belum selesai mengurusi "Tomcat", rakyat sudah disibukkan dengan isu kenaikan BBM yang sangat meresahkan. Mereka harus merevisi anggaran rumah tangga, menimbang besaran anggaran belanja dan akomodasi-transportasi serta uang kesehatan-pendidikan. Ditambah lagi mereka harus menahan rasa benci mereka yang memuncak terhadap para koruptor yang "mbulet" untuk mengakui kesalahan dan kebohongan yang mereka perbuat.
Beberapa teman saya menanyakan, "Apa ya yang salah dalam negeri ini? Siapa ya yang patut disalahkan terhadap semua semua masalah pelik yang melanda bangsa ini?" jawab saya adalah, "yang salah adalah manusianya. Bukan sistem ataupun realita yang ada." Bukan pula merupakan kesalahan segala ideologi yang berkembang serta transformasi politik, budaya dan ekonomi yang mana selalu dijadikan kambing hitam oleh membuat masyarakat, mengembik-gelagapan menyesuaikan diri terhadapnya.
Kesalahan terbesar adalah manusia dan masyarakat yang tidak menyadari bahwa mereka bukanlah hewan yang memiliki struktur secara biologis, yang diciptakan sesuai keadaan lingkungan yang ada. Sehingga sejak lahir mereka sudah mengerti cara berdiri-berjalan-mencari makan. Karena akal tak dianugerahkan pada mereka. Karena hati tidak terpatri pada diri mereka. Berbeda dengan manusia yang memiliki akal dan hati hingga akhirnya mereka mampu "berbudi". Manusia memerlukan sebuah proses penciptaan "sesuatu" agar mampu bertahan hidup serta menyesuaikan diri dengan alam. Proses inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Bisa dibayangkan kan kalau hewan memiliki akal, hati dan mampu menciptakan? Bisa-bisa mereka sudah ngopi bareng kita di pagi hari.
Tak urung, setiap manusia hendaknya melakukan proses penciptaan (kreativitas) agar mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang ia diami. Terlebih lagi mereka memiliki hati yang menjadi antidote dikala ego atau akal seorang manusia bertindak irasional ataupun tak bersesuaian dengan norma moral yang berlaku.
Sebagai manusia, tidak merupakan sebuah kesalahan jika mereka kembali mengingat peran mereka dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Pun, sudah menjadi sebuah kebutuhan bagi manusia untuk kembali menilik hati mereka, sebagai koridor utama untuk membuat kebijakan yang relevan dengan kondisi sosial yang serba "BEDA". Manusia memanglah memiliki kemampuan untuk mencipta, segala hal yang berwujud (materi) dan segala hal verbal (yang akhirnya dikonversi menjadi hukum, norma, serta kebijakan-kebijakan lain untuk mengatur masyarakat agar tercipta kehidupan yang beradab.)
Semua elemen bangsa, baik pejabat dan masyarakat adalah manusia. Memiliki kebebasan dalam menentukan antara salah-benar, baik-buruk, antara netral-memihak, dan antara sama-tidak sama. Namun pastilah manusia memiliki titik tengah dalam masalah tersebut. Bukan merupakan sebuah kenetralan, atau tak mau acuh, melainkan sebuah kebijaksanaan dan keadilan.
Problem kenaikan BBM dan Korupsi bukanlah masalah yang sepele. Dari kedua hal tersebut saja masyarakat sekaligus pemerintah terkena dampaknya. Kerugian korupsi bapak Nazarrudin saja sudah milyaran rupiah. Belum lagi kasus Malinda Dee dan Gayus Tambunan. Belum lagi kasus kasus yang lain yang belum tuntas. Diantaranya kasus Bank Century dan Bank Mega.
Belum kelar menangani kasus tersebut, pemerintah dan masyarakat harus kembali berkutat dengan kenaikan harga BBM yang dirasa perlu untuk menyelamatkan perekonomian bangsa. Alasan yang dilontarkan tetaplah sama "Menyesuaikan harga minyak dunia." Apapun alasannya, masyarakat tetaplah menyangsikan hal tersebut. Dan lagi-lagi pemerintah kembali mencanangkan BLT (Bantuan Lanhsung Tunai) atau sibsidi langsung, yang dialamatkan kepada masyarakat kurang mampu. Namun, kenyataan bahwa apapun alasan yang digunakan untuk memaksakan kenaikan harga BBM, dan sebesar apapun subsidi yang akan diberikan, masyarakat tetaplah tidak sependapat karena khawatir kenaikan BBM akan berdampak besar pada kenaikan harga barang kebutuhan yang lain, seperti obat-obatan serta bahan pokok yang lain.
Dari sini, alih-alih menerima suara rakyat, yang tersalurkan melalui aksi demo yang dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat, pemerintah malah melakukan reaksi dengan menyiapkan berpleton-pleton aparat kepolisian juga tentara pada titik-tik yang rawan. Kembali, alasan mereka tetap sama dan sudah udzur seperti yang dilakukan almarhum Presiden Soeharto pada zaman orde baru yaitu "Menjaga stabilitas negara dari MAKAR". Jika Bapak SBY (Presiden yang terhormat) pernah berkata bahwa aksi premanisme adalah ekses dari reformasi dan kebebasan yang tak bertepi, munkin perlu ditambahkan pula bahwa aksi anarkisme dan aksi demo adalah ekses dari kebijakan pemerintah yang tak berdaulat untuk rakyat, juga ekses dari penyakit "alzaimeire" yang semakin merakyat.
Masyarakat dan pejabat mulai lupa cara berdemokrasi, sudah lupa dalam mengamalkan Pancasila, sudah lupa dalam ber-Bhineka Tunggal Ika, dan yang lebih parah lagi kita sebagai manusia telah melupakan etika berbangsa dalam mengahadapi berbagai masalah yang muncul. Lalu bagaimana sebuah kebijakan dapat dikatakan bijaksana, adil dan berprioritas jika staat filosofi, etika berbangsa beserta semboyan bangsa sudah dilupakan? Penyakit alzaimeir mungkin sudah mewabah seperti Tomcat sehingga mengakibatkan "kulit sosial" dalam negeri yang semakin memanas. Suhu tubuh politik semakin tidak stabil dan akhirnya harus dilarikan ke Rumah Sakit Demo.
Secara lahiriah para pejabat dan masyarakat adalah manusia yang memiliki akal sehat. Memeiliki hati untuk dijadikan tepi dalam pembuatan kebijakan ataupun penyampaian aspirasi. Sebagai pemegang amanah masyarakat, seharusnya para pejabat menggunakan etika secara bijaksana agar mampu menciptakan keputusan sesuai dangan prioritas-tercipta keadilan yang semakin merata pada semua elemen masyarakat. Tentunya masyarakat juga harus berperan kooperatif dalam menyampaikan aspirasi, tanpa melakukan perusakan dan pembakaran. Agar masyarakat lain yang tidak terlibat dalam aksi demo merasa aman dan nyaman melakukan aktivitas sehari-hari.
"Hanya karena kita memiliki kebebasan, kita dapat dibebani kewajiban moral dan tanggung jawab." (Frans Magnis-Suseno).
Fariq Shiddiq Tasaufy
Surabaya, 27 Maret 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H