Mohon tunggu...
Yohanes Platoris Hakeng
Yohanes Platoris Hakeng Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

saya mahasiswa broadcast universitas mercubuana jakarta angkatan 25.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tinjauan Moral Kristiani atas Hukuman Mati

22 Januari 2015   22:16 Diperbarui: 4 April 2017   18:04 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

untuk itu, kita bisa menilainya secara moral juga pada masing-masing cara.

Hukuman Mati Dalam Kontroversi
Pertama-tama, yang harus dipahami dalam kasus ini adalah adanya pertentangan antara
pro dan kontra. Sebagai catatan, pembunuhan dalam kasus-kasus biasa, apalagi untuk
tujuan yang jahat, jelas sekali tindakan semacam itu tidak bermoral. Kasus hukuman mati
memiliki pertimbangan yang sangat berbeda. Ini bukan pembunuhan biasa. Tapi
pembunuhan yang legal secara hukum dengan beberapa latar belakang. Berikut ini kita
akan melihat pro dan kontranya.

Argumen Pro Hukuman Mati
Kontroversi pertama adalah berkaitan dengan yang mendukung adanya hukuman mati.
Secara umum para tokoh yang mendukung adanya hukuman mati memiliki beberapa
argumen-argumen berikut:

a. Demi Hak Hidup Orang Banyak
Setiap orang dipanggil untuk menumbuhkan sikap saling menghormati martabat pribadi
manusia. Hormat terhadap martabat pribadi manusia berarti juga menghormati segala hak
yang terkandung di dalamnya, termasuk hak yang paling hakiki yaitu hak hidup. Hak hidup
merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada manusia dan setiap manusia berhak atas
hidupnya.
Setiap manusia mempunyai kewajiban mengakui dan menghormati hak hidup orang lain.
segala bentuk usaha yang mengancam hak hidup, apalagi yang berkaitan dengan
kepentingan orang banyak, harus dilawan. Lebih baik, hidup seorang penjahat ditiadakan
dari pada hak hidup bayak orang terancam bahaya. Dengan ini, hukum mati layak untuk
dilaksanakan mengingat pentingnya hak hidup banyak orang.
b. Wewenang Negara atas Hukuman Mati
Negara mempunyai dasarnya pada kodrat manusia yang dibentuk oleh warganya. Aparat
negara yang menjalankan roda pemerintahan dipilih berdasarkan kebebasan setiap
warganya. Untuk itu, negara dibentuk untuk kesejahteraan bagi warganya. Demi tujuan ini,
setiap negara yang berdaulat mempunyai otonomi untuk mengatur warganya dengan perundang-undangan atau hukum yang telah ditetapkan. Hukum itu dibuat demi ketertiban
dan kesejahteraan bersama. Setiap warga negara wajib patut dan taat berdasarkan hati
nuraninya terhadap perundang-undangan yang berlaku. Jika terdapat warga negara yang
tidak mengindahkan hukum yang telah ditetapkan, maka negara melalui hakimnya berhak
dan wajib memberikan sanksi, termasuk hukuman mati. Hukuman mati merupakan
wewenang penuh yang dimiliki oleh negara tersebut. Wewenang tersebut tidak terletak pada
setiap orang karena hanya negara sebagai otoritas yang berwewenang.
c. Perlindungan Terhadap Masyarakat
Salah satu hak yang dimiliki oleh manusia adalah hak untuk hidup dalam situasi masyarakat
yang damai, aman dan tenteram. Dalam situasi masyarakat yang demikianlah manusia
mampu mewujudkan kehidupan yang sungguh manusiawi. Negara berkewajiban
mengusahakan kesejahteraan bagi warganya. Jika orang atau sekelompok orang
mengacaukan kesejahteraan, maka ia dapat dikenai sanksi hukum, termasuk hukuman mati.
Hukuman mati diterapkan untuk menyingkirkan orang tersebut dari tengah-tengah
masyarakat. Dalam hal ini, hukuman mati dapat menjadi sarana perlindungan bagi warga
negara.
Hartawi A. M, seorang pendukung pelaksanaan hukuman mati di Indonesia berpendapat
bahwa hukuman mati berfungsi sebagai pertahanan sosial untuk menghindarkan
masyarakat dari ancaman yang membahayakan kehidupan sekaligus senjata ampuh untuk
menangkis berbagai kejahatan yang menimpa masyarakat. Dengan adanya hukuman mati
maka kejahatan akan dimusnahkan dan masyarakat pun dilindungi dari ancaman kejahatan.
d. Sebagai Silih Kejahatan
Dalam rangka membangun kehidupan bernegara yang sungguh manusiawi, tidak ada yang
lebih baik dari pada menumbuhkan semangat batin keadilan dan pengabdian diri secara
utuh bagi kesejahteraan bersama tanpa tindakan kejahatan. Patut disayangkan bahwa
tindakan kejahatan masih saja terjadi. Sebagai silih atau tindakan kejahatan, hukuman mati
layak dilaksanakan. Seorang atau sekelompok orang yang telah mengakibatkan kerusakan
tata kehidupan masyarakat dengan berbagai tindakan kriminal, seperti pembunuhan, harus
mempertanggungjawabkan tindakannya itu. Bila seseorang oleh kejahatannya
menyebabkan hidup orang lain terancam maka hak hidup yang dimiliki pelaku kejahatan
bisa dilanggar. Dalam hal ini, berlaku hukuman ganti rugi sebagai perwujudan keadilan.
Semakin besar kerugian yang disebabkannya maka semakin besar juga ganti rugi yang
harus ditanggungnya. Ganti rugi yang paling besar adalah kematian. Hukuman mati bagi
pelaku kejahatan dapat dipandang sebagai silih yang setaraf dengan kejahatannya. Ia harus menerima kematiannya dengan semangat pertobatan yang mendalam atas tindakannya
yang tidak bertanggung jawab.
e. Hukuman Seumur Hidup Tidak lebih Ringan
B. Bawazjir, seorang wartawan di Kairo yang mendukung pelaksanaan hukuman mati
berpendapat bahwa hukuman penjara seumur hidup lebih kejam dari hukuman mati karena
penderitaannya lebih hebat dibandingkan dengan seseorang yang dalam sekejap mata
berpindah ke alam baka. Seorang yang dihukum mati hanya mengalami konflik berat dalam
waktu sekejap mata ketika ia hendak menjalani hukuman mati. Sementara itu bagi orang
yang dihukum penjara seumur hidup akan mengalami konflik batin terus-menerus sehingga
penderitaannya tidak lebih ringan jika dibanding dengan hukuman mati.
Penjara seumur hidup tidak begitu menakutkan karena masih terbuka kemungkinan bagi
pelaku kejahatan untuk melarikan diri. Efeknya untuk mencegah kejahatan sangat kecil
karena belum tentu pelaku kejahatan itu mau bertobat. Hukuman penjara seumur hidup
belum tentu menjamin ketenteraman bagi masyarakat dan mengurangi tindak kejahatan.
Jadi, hukuman penjara seumur hidup belum tentu lebih ringan dari hukuman mati.
f. Demi Penegakan Hukuman Mati
Tugas pemerintah adalah menegakkan kesejahteraan bersama. Demi tugas ini, diperlukan
adanya hukum. Hukum dibuat oleh negara untuk kepentingan bersama dan haru dijunjung
tinggi oleh semua warganya demi kesejahteraan bersama. Tindakan yang mengganggu
kesejahteraan bersama, terutama perihal penghianatan terhadap negara dan pelanggaran
terhadap perikemanusiaan, akan dikenai sanksi hukum, termasuk hukuman mati. Pemberian
sanksi hukuman tersebut menunjukkan penegakan terhadap hukum itu sendiri. Tidak dapat
disangsikan lagi bahwa jika ada yang melanggar hukum, maka pelanggar yang
bersangkutan wajib menerima sanksi hukum yang setimpal dengan perbuatannya, tidak
terkecuali hukuman mati. Dengan sanksi hukuman tersebut hendak ditegaskan bahwa
hukum wajib ditaati oleh setiap warga negara dan penegakan hukum mutlak perlu untuk

kepentingan bersama.

Argumen Kontra Hukuman Mati
Pandangan dasar bahwa manusia tidak boleh mencabut hak hidup orang lain, membuat
beberapa kalangan tidak menyetujui adanya hukuman mati. Hal tersebut kemudian
dipertegas dengan beberapa argumentasi berikut:
a. Hak Hidup Penjahat, Sama dengan Orang Yang Baik

Setiap manusia mempunyai hak atas hidupnya. Hak hidup tersebut tidak berasal dari
masyarakat, tidak berasal dari negara, atau siapa pun. Hak hidup berasal dari Allah, Sang
Pencipta, karena hidup manusia berasal dari Allah sendiri. Seorang penjahat adalah
manusia. Seberat apa pun kejahatan yang dilakukannya, ia tetap berhak atas hidupnya.
Hukuman mati mengakibatkan penjahat kehilangan hak atas hidupnya. Dalam hal ini,
negara sebagai otoritas yang berwenang atas hukuman mati, mengambil hak tersebut dari
warganya. Kekuasaan negaralah yang mengakibatkan seorang penjahat kehilangan hak
atas hidupnya.
b. Mencari Alternatif Lain dari Hukuman Mati
Telah dinyatakan bahwa hak hidup manusia hanya diberikan oleh Sang Pencipta bukan oleh
manusia atau negara. Manusia tidak mempunyai hak untuk mengambil nyawa orang lain,
sekalipun orang itu adalah penjahat. Bila dirasakan tindakan penjahat membuat bahaya atas
hidup orang lain, padahal tindakan itu masih dapat dielakkan tanpa harus dengan
mematikan penjahat tersebut, maka tidaklah benar bahwa hukuman mati dilihat sebagai
cara satu-satunya untuk melindungi masyarakat. Masih banyak cara lain yang lebih pantas
untuk menanggulangi kejahatan, misalnya penjara.
Banyak ahli yang bergelut dalam bidang ini, mengajukan argumen bahwa hukuman mati
bukanlah cara yang tepat untuk menindaklanjuti kejahatan. Salah satu tokoh yang terkenal
adalah Beccaria. Ia berpendapat bahwa hak untuk hidup adalah sesuatu yang tidak dapat
dihilangkan secara legal. Membunuh adalah perbuatan yang tercela. Pembunuhan yang
dilegalkan dalam undang-undang adalah immoral, maka tidak sah. Senada dengan itu, Von
Hentig, juga seorang penentang hukuman mati, berpendapat bahwa menahan seseorang
dalam penjara karena tindakannya yang meresahkan masyarakat merupakan tindakan yang
bijaksana. Dengan menahannya dalam penjara, penjahat masih akan hidup dan mempunyai
kemungkinan untuk memperbaiki hidupnya.
c. Tindakan Balas Dendam, Normal Tapi Jahat
Hukuman mati tidak lain dari pada tindakan balas dendam semata dengan menggunakan
nama silih. Silih yang dimaksud adalah silih untuk memperbaiki tata nilai yang dilanggar,
silih atas kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, dan silih terhadap Tuhan.
Terkadang harus diakui bahwa di balik gagasan silih terimplisit maksud balas dendam. Jika
demikian, hukuman mati hanya merupakan luapan emosi yang tidak berperikemanusiaan.
d. Gagasan Resosialisasi
Maksud dari gagasan resosialisasi adalah membimbing terpidana agar insyaf dan menjadi
anggota masyarakat yang baik. Dengan cara ini, diharapkan terpidana dapat memperbaikidiri dan kembali ke dalam masyarakat dan hidup sesuai dengan tata nilai yang ada.
Gagasan ini muncul karena adanya suatu kesadaran masyarakat bahwa kejahatan tidak
dapat timbul semata-mata karena manusia ingin berbuat jahat. Pada dasarnya, manusia
mampu membedakan yang baik dan yang tidak baik serta memilih untuk berbuat yang
terbaik.
e. Kemungkinan Kekeliruan dan Ketidakadilan
Satu hal yang sering dicemaskan oleh penentang hukuman mati adalah masih adanya
kemungkinan kekeliruan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pengadilan dalam
mengeluarkan suatu keputusan. Keputusan yang keliru dan tidak adil bisa diubah, akan
tetapi hidup tidak bisa dikembalikan. Ernes Bown Row Lands, seorang penentang hukuman
mati berpendapat bahwa bila seorang hakim telah keliru dalam memutuskan suatu perkara
hukuman mati, maka keadaan itu tidak akan pernah diperbaiki lagi, sebab terdakwa sudah
meninggal dan tidak akan bisa lagi mengajukan gugatan atau naik banding. Sebaliknya, bila
seorang hakim tidak melakukan kekeliruan, maka terpidana tidak akan mati, kerugian dan
nama baiknya masih dapat dikembalikan.
f. Kepekaan Terhadap Nilai Hidup Manusia
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan hidup manusia memiliki
keistimewaan dari makhluk lain. Manusia memiliki hak untuk merdeka dan hak untuk hidup
di dunia. Hak itu bukan berasal dari masyarakat tetapi ada dalam diri manusia sejak ia lahir,
sebagai pemberian dari Sang Pencipta. Hidup manusia mempunyai nilai yang sangat luhur
dan tidak tergantikan oleh apapun yang ada di dunia.
Alasan mendasar penolakan hukuman mati adalah keluhuran hidup manusia itu sendiri.
Keluhuran hidup manusia mendorong setiap orang untuk mengembangkan sikap hormat
terhadap hidup sebagai unsur yang hakiki dalam diri manusia. Hidup itu berharga, maka
setiap orang berhak atas hidupnya dan pantas dihormati. Kematian setiap orang memang
akan terjadi, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah dengan cara manakah kematian itu
dialami? Di sinilah letak ketidaksetujuan para penentang pelaksanaan hukuman mati.
g. Merendahkan Wibawa Negara
Adalah tugas negara untuk melindungi para warganya dengan segala hak dan kewajiban
yang dimilikinya. Maka sebenarnya, negara tidak boleh menjatuhkan pidana mati jika terjadi
kejahatan. Berdasarkan hal tersebut, Damste dan J.A. Jolles, kelompok yang menentang
hukuman mati, berpendapat bahwa dengan melegalkan hukuman mati berarti negara
menurunkan wibawanya sendiri dalam memerangi tindak kejahatan. Masih ada alternatif lain
yang dapat dilakukan negara yakni dengan hukuman penjara seumur hidup.

Refleksi Etis
Gereja tidak mendukung adanya hukuman mati, tetapi tidak melarangnya juga. Gereja
mempertahankan bahwa kuasa negara yang sah berhak menjatuhkan hukuman mati dalam
kasus yang amat berat. Namun demikian, para moralis Katolik terus merefleksikan kasus ini,
benarkah bermoral atau tidak.
Dengan hukuman mati, dan dengan hukuman pada umumnya, masyarakat mendenda
perbuatan seseorang yang di pengadilan terbukti salah. Dengan sanksi hukuman dinyatakan
bahwa masyarakat tidak dapat menerima dan menyetujui perbuatan jahat. Dengan
menjatuhkan hukuman, masyarakat membela diri yaitu dengan meringkus penjahat dan
dengan demikian mengancam penjahat-penjahat lain. Melalui hukuman, keonaran sosial
akibat kejahatan akan dibereskan dan diharapkan bahwa penjahat pun memperbaiki diri dan
kembali menjadi anggota masyarakat yang biasa. Prinsip ini telah dirumuskan oleh Santo
Thomas Aquino: “Kesejahteraan bersama lebih tinggi nilainya dari pada kesejahteraan
perorangan. Kesejahteraan perorangan perlu dikurangi sedikit guna menegakkan
kesejahteraan umum.”
Tidak banyak menolong, bila kejahatan hanya ditangkis dengan kekerasan senjata. Tidak
mungkin mengadakan keadilan dan menjamin hidup bersama yang aman di luar tata hukum
atau tanpa pengadilan yang jujur. Tidaklah sesuai dengan semangat Kristen, bahwa
perbuatan jahat yang membawa penderitaan dibalas dengan penderitaan juga. Menurut
moral Kristen, hukuman berkaitan dengan suatu kesalahan moral. Narapidana memikul
beban kesalahannya. Namun orang Kristen mengimani bahwa semua beban dosa telah
dipikul oleh Kristus, yang telah mati bagi dosa kita dan adalah perdamaian kita. Maka
menurut keinginan Kristiani, bukan beban kejahatan yang harus dikenakan pada orang
jahat, melainkan pendamaian Kristus yang mesti diwujudkan. Dalam hal “hukuman” kita juga
bertanya, “bagaimana kita makin memelihara hidup?” Sayangnya, yang semacam ini juga
kelihatan masih sangat utopis.
Argumentasi berikutnya adalah bagaimana hak asasi manusia melekat erat pada manusia.
Pelaku kejahatan biasanya dianggap sudah tidak menghargai dirinya sebagai manusia. Dia
melakukan di luar batas kewajaran sebagai seorang manusia. Sebab itu, dia tidak layak
diperlakukan sebagai manusia. “Dia kejam, dia jahat. Dia sudah bukan manusia lagi. Untuk
apa kamu masih memperjuangkan hak-haknya?” Betapa sering pertanyaan yang
mengungkapkan penolakan atas perlakuan manusiawi terhadap pelaku kejahatan berat ini
dialamatkan kepada mereka yang terus memperjuangkan hak-hak asasi orang seperti ini.
Pandangan seperti ini sudah bermula ketika orang melukiskan tindak kejahatan seseorang
sebagai tindakan yang bestialis, tindakan yang cuma ditemukan dalam gerombolan
binatang-binatang buas. Logika berpikirnya mengatakan: kalau tindakan itu bestialis, maka
berdasarkan prinsip: tindakan adalah ekspresi jati diri, orang lalu berkesimpulan, bahwa subjek yang melakukan tindakan itu adalah juga binatang. Dia direndahkan menjadi
binatang, dan karena binatang buas yang membahayakan dibenarkan pembasmiannya,
maka ada legitimasi pula untuk mengeliminasi subjek seperti ini melalui penjatuhan dan
pelaksanaan hukuman mati atas dirinya.
Menanggapi pola pikir seperti ini perlu diuraikan prinsip pertama dan utama yang menjadi
pedoman penting setiap perjuangan membela HAM: bahwa hak-hak ini melekat pada
kemanusiaan seseorang, sebelum ada kualifikasi moral dan rasional apa pun. Kemanusiaan
seseorang tidak ditentukan oleh kualitas moralnya. Seseorang tetap merupakan seorang
manusia, juga ketika moralitasnya patut diragukan karena pelanggaran-pelanggaran yang
terbukti. Kenapa demikian?
Adalah benar bahwa manusia merupakan insan moral. Namun moralitas bukanlah sebuah
status yang sudah baku dan terberi. Dengan kelahiran sebagai manusia tidak diberikan
kepada manusia satu kualitas moral yang sempurna. Sebaliknya, dengan kelahiran sebagai
manusia ia mendapat sebuah tugas untuk terus mengkualifikasikan dirinya sebagai makhluk
moral. Moralitas adalah sebuah tugas, bukan sebuah pemberian. Yang terberi adalah
kemanusiaan, sementara moralitas merupakan sebuah cita-cita yang perlu diwujudkan
manusia. Kemanusiaan ada sebagai basis untuk menjadi makhluk yang bermoral.
Apabila kita mengatakan bahwa moralitas adalah sebuah tugas, maka pernyataan ini
sebenarnya lahir dari kesadaran bahwa manusia selalu berada dalam bahaya untuk
melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral. Justru karena itu, moralitas adalah
sebuah upaya pengkualifikasian diri, sebuah perjuangan yang terus-menerus. Moralitas
seseorang ditunjukkan oleh kesungguhannya untuk menguasai diri sekian sehingga ia
bertindak seturut kaidah moral. Namun perjuangan seperti ini tidak pernah dapat
meniadakan kemungkinan melakukan kejahatan. Kita dapat mengatakan bahwa termasuk
dalam kemanusiaan seseorang adalah bahwa dia dapat juga melakukan kejahatan.
Melakukan kejahatan bukanlah sesuatu yang terlepas dari kemanusiaan seseorang. Sebab
itu, seseorang yang melakukan kejahatan, apa pun dan betapa pun besarnya kejahatan itu,
tidak pernah kehilangan kemanusiaannya.

Berpikir seperti di atas bukan berarti bahwa kita membenarkan tindak kejahatan dan
menyepelekan kejahatan seseorang dengan alasan kemanusiaan. Juga dengan pemikiran
seperti ini kita tidak menolak setiap bentuk hukuman terhadap penjahat. Kejahatan adalah
sebuah pelanggaran dan harus dilihat dan dinilai sebagai pelanggaran. Melalui tindak
kejahatannya manusia melanggar apa yang seharusnya menjadi cita-citanya. Namun
karena pelanggaran adalah penyimpangan dari apa yang seharusnya menjadi cita-cita,
maka hukuman atas pelanggaran itu tidak boleh menghilangkan basis untuk perealisasian cita-cita itu. Menghukum mati seseorang berarti meniadakan kemungkinan utama orang itu
untuk kembali berjuang merealisasikan apa yang menjadi tugasnya. Kita memang patut
menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang melakukan pelanggaran. Tetapi hukuman
itu diberikan selalu dengan tujuan agar orang itu disadarkan dan dimampukan untuk
mengenal dan melaksanakan apa yang seharusnya dilakukannya. Hukuman yang
dijatuhkan tidak akan pernah sanggup membayar atau memperbaiki kesalahan yang sudah
dibuat. Hukuman hanya mempunyai makna apabila dijalankan untuk menyadarkan orang
akan kewajibannya.
Penghormatan terhadap HAM pada umumnya hanya dapat ditegakkan apabila masyarakat
konsisten dengan sikap ini, juga ketika berhadapan dengan para pelaku kejahatan. HAM
didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak ini tidak diberikan oleh negara, dan karena itu tidak
dapat juga dicabut oleh negara. Di samping karena negara dan masyarakat tidak
mempunyai hak untuk mencabut hak hidup seseorang, termasuk di dalamnya seorang
pelanggar HAM, sikap menolak hukuman mati justru dapat mendorong budaya kehidupan
yang menanamkan dan meneguhkan sikap menghormati keluhuran martabat manusia
secara keseluruhan. Masyarakat dan negara menjadi promotor penegakan HAM, apabila
negara dan masyarakat berani menghapus hukuman mati. Menolak hukuman mati adalah
bukti kesadaran akan keluhuran martabat manusia, dan akan mendorong perluasan
kesadaran ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun