Mohon tunggu...
Jansori Andesta
Jansori Andesta Mohon Tunggu... Wiraswasta - aku anak ketiga dari pasangan hazairin dan sawati. dari tahun 2005 aku mulai menyukai puisi (baca n tulis puisi). dan saat ini menulis adalah pilihanku.

aku anak ketiga dari pasangan hazairin dan sawati. dari tahun 2005 aku mulai menyukai puisi (baca n tulis puisi). dan saat ini menulis adalah pilihanku.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Kematianmu, Yun

5 Mei 2016   08:36 Diperbarui: 5 Mei 2016   14:00 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto Yuyun - www.bbc.com

kematianmu, Yun

telah menjadi bukti

bukti yang tak lagi dapat dipungkiri

turunnya harga diri

kita

makhluk bernama manusia

yang selalu saja

mengaku paling tinggi derajatnya

turun

seturun-turunnya

hingga nyaris tak lagi punya harga

terlalu mudah nyawa terlepas dari jasadnya

direnggut paksa

dibuang serupa sampah

hina

sehina-hinanya

terkubur dalam, sedalam entah

kematianmu, Yun

benar menjadi saksi

kebuasan nafsu

nafsu duniawi dari bangsa kita sendiri

bangsa yang diberi akal dan budi

mengaku memiliki adab dan pekerti

nafsu menggila

menggila serupa binatang segala

tidak

bahkan lebih gila dari semuanya

terlalu mudah kesucian terampas dan ternoda

terhempas ia

tercampak begitu saja

ke dalam kubangan dalam

teramat dalam

lumpur hitam pekat jelaga dunia

kematianmu, Yun

benar pula telah menjadi wanti-wanti

wanti-wanti bagi semua tanpa tapi

untuk segera berbenah diri

berbenah dengan sebebar-benarnya

di segala bidang segala segi

yang ada

tanpa pilih tanpa tunda

tanpa peduli siapa

dan berperan laku sebagai apa

terlalu parah berlarut semua gejala

bertambah dan bertambah

serupa penyakit

teramat parah

tak lagi tahu apa

sebagai obat yang akan dapat menangkalnya

kematianmu, Yun

adalah sebuah tragedi

ingatan bagi sesama insan di muka bumi

yang bernafas masih

yang merasa punya hati

dan nurani

tak bisa dan tak pantas ditawar-tawar lagi

pun dengan apa sebagai negosiasi

bersilat lidah

berkilah itu dan ini

jadi tamparan teramat telak teramat perih

Bengkulu, 5 Mei 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun