[caption id="attachment_363743" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]
Belakangan makin santer upaya masyarakat Indonesia terutama yang di luar negeri atau Diaspora Indonesia, untuk mengegolkan undang-undang yang membolehkan Dua Kewarganegaraan (DK) seumur hidup. Apakah mereka tidak nasionalis dan apakah DK merugikan Republik Indonesia? Herman Syah* menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dalam opininya berikut ini.
Persoalan DK ini memang kontroversial. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Masing-masing memiliki argumentasinya sendiri-sendiri. Saya dapat mengerti mereka yang karena alasan nasionalisme menolak DK. Sebab bagi mereka, kewarganegaraan itu bisa diibaratkan kesetiaan kepada satu istri. Namun kelompok nasionalis ini perlu mengetahui bahwa Diaspora Indonesia menginginkan DK justru karena mereka cinta kepada Indonesia, justru karena mereka merasa nasionalis, bukan karena sebaliknya. Buktinya, mereka tak mau melepaskan paspor Indonesia yang mereka miliki, sekalipun mereka tahu bahwa karier dan perlindungan hukum bagi mereka akan lebih terjamin jika mereka mau mengganti paspor Indonesia mereka itu ke paspor negara di mana mereka mengadu nasib.
Tidak lupa negeri kelahiran
Di lain pihak Diaspora Indonesia yang sudah kehilangan WNI-nya, apakah karena dicabut oleh penguasa Orde Lama maupun Orde Baru, ataukah karena hilang secara otomatis karena yang bersangkutan mengambil kewarganegaraan di mana mereka tinggal atas alasan praktis, pada umumnya tidak dapat melupakan negeri kelahiran mereka, dan sangat berkeinginan untuk kembali dapat merasa menjadi bagian dari bangsa, rakyat dan negara Indonesia, terutama setelah Indonesia kini berada di alam Reformasi, dan khususnya lagi bagi mereka yang telah mapan dalam hidup sehingga ingin membuka bisnis di Indonesia, atau yang telah memasuki masa pensiun.
Memang kepada Diaspora Indonesia yang telah pensiun sudah ada kemudahan untuk dapat tinggal di Indonesia guna menikmati sisa hari tua mereka. Namun yang mereka terima ini pada hakekatnya hanyalah ijin untuk tinggal di Indonesia, bukan perasaan diterima menjadi bagian dari rakyat Indonesia dan perasaan turut memiliki Indonesia, negeri tempat mereka dilahirkan atau tanah para leluhur mereka yang sangat mereka cintai.
Di sinilah DK memegang peranan. Walaupun ia hanya berbentuk sebuah paspor, namun secara psikologis ia memberikan implikasi yang sangat mendalam kepada pemiliknya dan efek samping yang dihasilkan akan berlipat ganda, yang terutama akan dirasakan dalam bidang ekonomi.
DK meningkatkan GNP
Studi yang dilakukan oleh tim TFIK (Taskforce Imigrasi dan Kewarganegaraan, red) menunjukkan bahwa sejak diberlakukannya DK oleh negara-negara berkembang seperti Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh, GNP kedua negara tersebut meningkat drastis dari tahun ke tahun. Begitu pula dengan India dengan DK terbatasnya yang dikenal dengan PIO (Person of Indian Origin)/OCI (Overseas citizenship of India). Dr. Edimon Ginting, ekonom senior dari Asian Development Bank mengatakan di Kongres Diaspora Indonesia II di Jakarta bulan Agustus tahun lalu, bahwa Filipina, sebagai contoh yang lain, juga mengalami lonjakan GNP sejak DK diberlakukan pada tahun 2003. Pelonjakan GNP di negara-negara berkembang yang memberlakukan DK ini, terutama terjadi akibat meningkatnya remitansi ke negara-negara tersebut, yang untuk Filipina pada tahun 2012 mencapai 25 milyar dolar Amerika.
Itu baru hanya pada bidang ekonomi yang mudah terukur dan dari bentuk yang paling sederhana, yaitu remitansi. Modus lainnya belum disebut, seperti misalnya investasi yang dapat dipastikan juga akan meningkat. Begitu pula dalam bidang-bidang lainnya seperti alih teknologi dan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kesehatan, dan semakin eratnya hubungan antar kedua negara akibat peran aktif pemilik DK, baik melalui jalur profesi maupun jalur diplomasi.
Inilah hasil dari win-win solution di mana kerinduan Diaspora Indonesia untuk dapat menjadi bagian dari Indonesia terpenuhi, namun Indonesia pun mendapatkan balasan yang setimpal dalam bentuk hal-hal yang saya sebutkan di atas.
“Just do it”
Tak diragukan lagi, tanpa DK sudah banyak kontribusi yang dilakukan oleh Diaspora Indonesia kepada Indonesia dengan hanya bermodalkan kecintaan mereka kepada Indonesia saja. Mereka ini berpendapat, yang penting tunjukkan kecintaan kepada Indonesia dengan berbuat atau “just do it”. Contohnya adalah usaha-usaha bisnis kerja sama, yang di antaranya dilakukan oleh beberapa rekan Indonesia Integrated. Begitu pula keterlibatan Diaspora Indonesia dalam program-program bantuan kesehatan dan pendidikan melalui berbagai macam yayasan yang ada. Tak ketinggalan tentu saja remitansi kepada sanak saudara di Indonesia, yang tahun 2012 saja telah mencapai 7 milyar dolar Amerika. Maka adalah wajar kalau Pemerintah Indonesia setelah melihat angka yang tidak kecil ini mengatakan bahwa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri adalah Pahlawan Devisa. Ini semua sudah memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan bagi Indonesia.
Apa yang Indonesia sudah nikmati dari Diaspora Indonesianya hingga hari ini, saya yakin akanlah menjadi berlipat ganda seandainya Pemerintah dan rakyat Indonesia dapat mengerti harapan Diaspora Indonesia akan DK.
Arti nasionalisme
Memandang aspirasi DK sebagai aspirasi yang anasionalis menurut saya adalah cara pandang yang sangat sempit, tidak realistis dan bertentangan dengan prinsip nasionalisme Indonesia yang seperti dikatakan oleh Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso adalah Nasionalisme terbuka. Nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme tertutup seperti nasionalismenye Hitler dan Mussolini. Lagi pula, siapa yang dapat menjamin bahwa seseorang yang hanya memiliki satu paspor, yaitu paspor RI dan berkoar-koar sebagai seorang nasionalis sejati, bukan pengkhianat atau perongrong negara? Kita sudah banyak melihat contoh bagaimana orang-orang yang berteriak-teriak soal nasionalisme akan tetapi di kemudian hari terjerat perkara korupsi bermilyar-milyar bahkan bertrilyun-trilyun rupiah.
Oleh karena itu saya sependapat dengan teman-teman yang mengatakan bahwa nasionalisme itu tidaklah ditunjukkan oleh paspor, namun nasionalisme itu berada di dalam hati kita masing-masing dan hanya akan terlihat dari tindakan-tindakan kita yang nyata. Keinginan Diaspora Indonesia untuk memiliki Dwi Kewarganegaraan menurut saya tidak lebih dari keinginan untuk mencari alat untuk dapat lebih mengukuhkan dan meningkatkan rasa nasionalisme itu di dalam hati, untuk memperoleh rasa benar-benar menjadi bagian dari negeri yang mereka cintai itu, yang pada gilirannya akan berakibat nyata pada perbuatan-perbuatan yang akan mereka lakukan terhadap Indonesia pada masa-masa selanjutnya, tanpa sampai harus terpaksa menepis kesempatan dan keselamatan membangun hidup dan kehidupan yang berbahagia di negeri orang. Tentu saja andai kata permohonan DK ini diluluskan oleh pemerintah dan wakil rakyat Indonesia, harus ada peraturan yang jelas yang secara hukum harus ditegakkan.
Sama seperti kita tidak dapat memberikan garansi bahwa seseorang yang hanya memiliki paspor RI dan berkoar-koar benar-benar seorang nasionalis sejati, begitu pula halnya dengan Diaspora Indonesia yang berkoar-koar bahwa mereka memiliki DK hanyalah karena kecintaan mereka yang kuat kepada Indonesia. Hanya dengan melaksanakan peraturan DK dengan sungguh-sungguhlah kita nantinya akan dapat menyaring orang-orang yang mengaku-ngaku nasionalis sejati akan tetapi ternyata adalah nasionalis gadungan, untuk selanjutnya digelandang ke meja hijau.
DK bukan kewajiban
Dan last but not least, DK bukanlah kewajiban. DK adalah pilihan, sama seperti pilihan untuk berpindah tempat dan mengganti paspor. Sekalipun hanya sekedar pilihan, DK jika dikabulkan adalah merupakan wujud nyata dari cinta kasih Pemerintah dan rakyat Indonesia kepada Diaspora mereka. DK adalah uluran tangan persahabatan dan kekeluargaan yang Pemerintah dan rakyat Indonesia berikan kepada Diaspora mereka, dalam rangka merangkul mereka untuk menjadi bagian dari Keluarga Besar Republik Indonesia, demi kepentingan pemerintah Indonesia dan kepentingan seluruh rakyatnya di mana pun mereka berada. Sekalipun demikian, pilihan tetap berada di tangan Diaspora Indonesia sendiri, yaitu apakah akan mengambil opsi ini nanti, atau cukup puas dengan melakukan ‘Just do it’ seperti yang selalu dilakukan hingga saat ini.
Semoga semua pihak dapat mendukung aspirasi ini dengan tulus ikhlas.
Bersatu kita teguh, bersama kita maju!
* Herman Syah adalah Ketua Taskforce Imigrasi dan Kewarganegaraan (TFIK) di Jaringan Diaspora Indonesia di Belanda (IDN-NL) dan anggota TFIK IDN-Global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H