Peraturan Presiden No.115 Tahun 2015 Tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara illegal yang ditandatangani Joko Widodo, 19 Oktober 2015 dan sekaligus menunjuk Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Komandan SatgasIllegal Fishing, kembali mengundang kontroversi. Hal itu dianggap sebagai kegelisahan rezim Poros Maritim mengatasi tindak kejahatan di laut yang silang sengkarut disebabkan faktor internal maupun eksternal. Tindakan penenggelaman 107 kapal yang diharapkan menimbulkan efek jera ternyata belum berdampak signifikan.
Kesan yang selama ini mengemuka terkait dengan problem itu adalah masih lemahnya kekuatan keamanan laut, tumpang tindih pengaturan pengamanan laut, kelembagaan dan lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Padahal pengendalian laut sangat terkait sea power, bukan berarti hanya armada kapal perang saja tetapi juga mencakup segala potensi kekuatan nasional yang menggunakan laut sebagai wahananya. Antara lain penegakan hukum, armada kapal niaga, pelabuhan, serta industri dan jasa maritime. (DR.Marsetio, Sea Power Indonesia)
Di tengah kegairahan negara-negara benua mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di laut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masa depan bangsanya, naïf jika kita justru membiarkan laut nusantara menjadi ajang jarahan. Sangat disesalkan bahwa para elit pemerintahan masih saja berkutat dengan tarik ulur kewenangan pengamanan di laut.
Contoh, dari Laut Arafura dan Laut Banda saja sejak dekade 1980-an jutaan ton ikan dijarah setiap tahun oleh ribuan kapal asing menggunakan jaring tidak ramah lingkungan, fish trawl ataupun shrimp trawl karena minimnya pengawasan.
Palka kapal berkapasitas rata-rata 100-1000 ton selalu terisi penuh muatan berbagai jenis dan ukuran ikan demersal laut dalam. Ironisnya, terumbu karang tempat pemijahan ikan dan merupakan lokasi yang nyaman bagi koloni ikan itu ikut dihancurkan menggunakan mesin penghancur karang agar jaring tidak rusak.
Wilayah fishing ground di Laut Arafura, Laut Banda selama 24 jam menjadi surga penangkapan ikan secara ilegal. Di sana tidak pernah sepi kapal asing penangkap ikan. Hal yang patut disesalkan, kebanyakan kapal tersebut konon diageni sejumlah yayasan milik institusi pemerintah. Lalu ke mana dan di mana armada pengawal laut Nusantara selama ini berada?
Jika melihat dari data besaran angka kerugian dari pencurian ikan sebesar 1,924 miliar dolar per hari dan pencurian pasir laut sebesar 6,14 miliar dolar perhari, ada kejanggalan jika armadakapal patroli sulit menemukan ribuan kapal pecundang (versi pemerintah 5000-7000 kapal) yang beroperasi di salah satu paru-paru laut terbesar di dunia itu. Boleh dikata sejatinya kepedulian negara untuk mengawal laut sangat minim, itu pun jika tidak ingin disebut gagal.
Puluhan tahun pemerintah seolah tidak pernah peduli isi lautnya dijarah. Pembiaran terhadap sejumlah kejahatan di laut adalah bukti kelalaian mengamankan kekayaan negara. Fakta yang terjadi belum searus dengan gagasan blue economic dan merupakan tantangan rezim Poros Maritim kedepan. Jangan sampai tejadi jargon itu hanya dijadikan kamuflase atau dalih menutupi kelemahan dan keterpurukan kita di laut.
Menguntungkan Bangsa lain
Dapat dikatakan bahwa sejumlah tragedi di laut selama ini tidak dijadikan cermin dan motivasi bagaimana menyejahterakan ekonomi bangsa yang sarat utang ini dengan memanfaatkan kekayaan lautnya. Sebagai referensi, potensi perikanan tangkap mencapai 6,7 juta ton per tahun atau 7 peresen dari potensi lestari Sumber Daya Ikan laut dunia.
Sementara tingkat pemanfaatan budidaya laut baru seluas 1.114.161 hektar (Ha) dari total potensi 17.74.303 Ha (hanya 6,27 persen dari potensi), hal itu diabaikan dan laut dibiarkan menjadi lalu lintas penyelundupan imigran gelap, perdagangan manusia, perompakan laut, penyelundupan barang yang justru menguntungkan dan memperkaya bangsa lain.
Soal pengamanan laut ini sebelumnya Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 178/2014 tentang Badan Keamanan Laut (Bakamla), dua bulan setelah disahkannya Undang-Undang (UU) No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Kehadiran Bakamla (sebelumnya Bakorkamla) tugas dan wewenangnya adalah melakukan patroli keamanan dan keselamatan diwilayah perairan dan kelautan dalam yurisdiksi Indonesia. Kehadirannya juga mencuatkan polemik menyangkut tugas, kewenangan maupun personil yang duduk di dalamnya.
Kedua Perpres tersebut dianggap saling menabrak dan tumpang-tindih dengan kebijakan yang telah ada sebelumnya. Antara lain Perpres Nomor 63/2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan, UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan, UU Nomor 45/2009 Tentang Perikanan,
Peraturan Presiden Nomor 178/2015 Tentang Badan Keamanan Laut, UU 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran, serta tidak sesuai dengan KUHAP. (Indonesia Institute For Maritime Studies).
Dalam catatan penulis berdasarkan kondisi saat ini, penjagaan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi dikawal oleh 13 instansi yang memiliki wewenang penegakan hukum di laut dan pantai sesuai undang-undang masing-masing yang jumlahnya 26 undang-undang.
Jumlah kapalnyapun cukup banyak, TNI-AL memiliki 160 unit armada, Kepolisian Air 678 unit, Kesatuan penjaga laut dan Pantai di bawah naungan Kemenhub 326 unit kapal patroli, Kementerian Kelautan 326 unit, Ditjen Bea Cukai 114 unit dan Bakamla 10 unit.
Jika dicermati lebih jauh, sebetulnya hambatan terbesar dalam penangkapan kapal illegal fishing berkaitan dengan anggaran yang besar, estimasi setiap pengoperasian satu kapal patroli TNI-AL membutuhkan biaya konon Rp 900 juta per jam.
Sebagian besar anggaran tersebut digunakan untuk bahan bakar minyak (BBM). Hambatan lain yang kerap terjadi adalah kapal asing pencuri ikan itu memiliki teknologi yang lebih canggih daripada milik TNI-AL. Misalnya, radar mereka lebih modern dan kecepatan kapal lebih tinggi.
Meresahkan Pelayaran
Perlu dicatat Indonesia adalah negara di dunia yang mempunyai lebih dari satu coast guard. Bakamla mengklaim sebagai Indonesia Coast Guard yang pembentukannya berdasarkan amanat UU Kelautan. Sementara Kesatuan Pengamanan Laut dan Pantai (KPLP) di bawah naungan Kementerian Perhubungan beranggapan pembentukanIndonesia Sea Coast Guard (ISGS) berdasarkan perintah UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Tumpang tindihnya pengamanan laut dan pantai itu menimbulkan kegerahan bisnis pelayaran. Karena setiap instansi tersebut dikeluhkan kerap kali melakukan pemeriksaan ke atas kapal, sehingga akhirnya mengakibatkan perusahaan pelayaran sulit tepat waktu dalam mengirimkan barang kiriman.
Memang semua instansi dengan dalih pengamanan leluasa melakukan pemeriksaan sesuai dengan kompetensinya. KPLP berdalih memeriksa kelengkapan dokumen kapal, Polisi (KP3) mempunyai kewenangan memeriksa masalah muatan. Demikian pula KKP berkepentingan dengan alat tangkap yang digunakan kapal nelayan
Kehadiran Satgas Illegal fishing dan Bakamla sebagai pendatang baru diharapkan justru tidak menambah keresahan di dunia pelayaran dan mengusik kapal ikan tradisional. Menilik dari kewenangannya, Satgas tersebut cenderung menjadi lembagasuper body yang berwenang menenggelamkan kapal pencuri ikan.
Termasuk dintaran menahan, menggeledah kapal kargo umum seperti dialami KM Pulau Nunukan di Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku yang membawa 660 ton ikan beku di Pelabuhan Tual beberapa waktu lalu.
(Catatan terbuka saya sebagai pembicara pada acara “Sarasehan HUT Armada RI Tahun 2015” Tanggal 20 Nopember 2015 di Makoarmatim )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H