Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Qua Vadis Parado Bima yang Relegius

26 Mei 2021   22:49 Diperbarui: 26 Mei 2021   22:54 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

         

Saya mengikuti perbincangan di grup hari ini yang mengesankan betapa memprihatikankan Parado, desa yang kini berubah menjadi sebuah wilayah kecamatan dengan lima desa pendukung, Parado Rato, Parado Wane, Kanca, Kuta, dan Lere.  

Sejatinya, dengan pemekaran sebagai satu kecamatan, Parado menjadi semarak dan semakin molek. Tetapi apa yang terjadi justru sebaliknya. Lihat saja komentar salah seorang warganet berikut ini:

"Kondisi Parado dari segala segi serba tidak menentu dan serba tidak nyaman menjadi tempat tinggal sesuai dengan ajaran agama  karena di kampung Parado manusianya sudah sangat sulit mengarah kepada yang lebih baik. Politik makin membikin terpecah belah,,bahkan ketika kejadian musibah seperti ini tidak sedikit hati kita dirasuki senang bahagia dari penderitaan sesama. Lebih miris lagi sudah jadi korban malah dicari-cari lagi kesalahannya.

"Itulah kondisi yang sesungguhnya Parado yang katanya kampung kebanggaan," tulis warganet yang saya tidak saya temukan namanya di postingannya..

Komentar ini pun mengusik adik saya Kaharuddin mengomentarinya.

"Parado yang kita banggakan sedikit demi sedikit ciri khas waktu zaman Abu pensiun dulu akan sirna diterpa angin. Ciri khas dingin waktu musim dingin akan sedikit demi sedikit terkikis dan berubah dengan panas. Apalagi lingkungan sekitarnya tidak lagi menyimpan suasana dan iklim yang sejuk dan dingin.

Keadaan masyarakat yang begitu drastis berubah karakter yang sangat jauh dari sifat aslinya. Mungkin ini disebabkan oleh zaman dan teknologi yang semakin canggih. Tak heran pesta dan pengedar sabu- sabu ada di Parado terbukti ditangkapnya orang Parado selaku penjual dan pengedar obat haram itu beberapa bulan yg lalu. Kami selaku tokoh yang kebetulan pernah duduk sebagai Ama Rasa 11 tahun lamanya merasa prihatin dengan keadaan Parado. Kami juga merasa heran kenapa karakter dan perubahan masyarakat yang begitu cepat dan drastis jauh seperti biasanya.

Memang kita maklumi dengan pengaruh teknologi yang begitu canggih. Yang merasa heran sekali anak-anak pelajar kawin di usia sekolah SMA kelas 3, 2 dan kelas, 1. Bahkan kelas 3 SMP sudah ada yang mengakhiri masa lajangnya yang sebenarnya belum matang untuk berumah tangga. Mungkin pengaruh globalisasi dan arus informasi yang begitu deras di era informasi dan dunia maya sekarang. Siapakah yang disalahkan dan bagaimana langkah kita orang orang yang konon dilahirkan di desa yang dijuluki Paradais (Paradise, surga). Itulah kita semua untuk mengembalikan keadaan Parado ini.

Saran saya, tulis Kaharuddin, untuk mengembalikan Parado ke sifat aslinya walaupun tidak bisa kita 100% adalah membuat piagam Parado dari semua sisi dan kita semua selaku elemen masyarakat harus bertanggung jawab untuk mengamankan piagam itu atau pun hukum adat dan kebiasaan masa lalu beltul-betul dibudayakan dan diberdayakan kembali sehingga sifat aslinya tampak. Mungkin masih ada dari tokoh-tokoh Parado yang ada di pelosok nusantara ini yang bisa nyumbang saran supaya kita duduk satu meja utk masalah ini".

Warganet bernama Marsadi pun menimpali.  Dia berkata dalam catatannya, untuk mengembalikan ciri khas keaslian Parado satu kemampuan atau kemauan kedua orang tuanya mengarahkn ilmu agama yang sedalam-dalamnya kepada pribadi anaknya masing-masing. Sekarang ini dapat nilai sewaktu kecil kita dulu-dulu kita bermalam di rumah guru ngaji. Kalau dibandingkan sekarang anak-anak  sudah tidak mengerti mengaji. Contoh masuk sekolah madrasah saja ada yang nggak hafal surat Al Fatihah. Itu menandakan orang tuanya tidak perduli sama anak-anaknya"

H.Djunaidin pun menimpali.

"Itulah tantangan hari ini dan ke depan Pak Kahar," katanya.

Kemudian menambahkan, tentunya yang bisa mengembalikan harapan mulia orang Parado adalah orang Parado itu sendiri. Jangan bermimpi orang lain "Hera'a". Perlu KEBULATAN TEKAD orang Parado untuk mengembalikan kondisi yang dicita-citakan. Siapa pun yang  memiliki cita-cita mulia kita berikan. PARADO PERLU SOLUSI Pak Jokowi saja sudah hafal luar kepala masalah Parado hari ini. 

Mari kita tidak saling menyalahkan. Kita intropeksi diri dan semoga Allah swt selalu memberikan jalan terbaik untuk MENATA  KEMBALI PARADO. Saran saya mohon para Tokoh Parado turun gunung, Kita silaturahim sehari atau 2 hari untuk duduk bersama mencari SOLUSI CERDAS. INSY.. BERSAMA PASTI BISA. AMIIIN"

Mau dan Prihatin

Setelah membaca catatan dari empat orang yang berbeda ini, permasalahan intinya adalah, rusaknya moral dan akhlak generasi muda Parado saat ini. Ditandai oleh munculnya tindakan kriminalitas, seperti penggunaan obat-obat terlarang seperti sabu-sabu (bahkan sudah ada di Parado yang menjadi penjual/pengedar, pekerjaan yang sebenarnya hanya ditemukan di kota dan kota-kota besar). Juga semakin banyaknya anak remaja yang menikah dini. Pada saat mereka sejatinya harus belajar, justru sudah tergiring  untuk menamatkan masa lajangnya.

Itulah mungkin permasalahan yang kita hadapi pada masa ini di Parado. Kita boleh bercerita tentang masa lalu, tetapi sangat tidak tepat menyelesaikan persoalan dengan menyontek masa lalu. Masa lalu, jika bagaikan barang atau bendara-benda keramat, itu tempatnya museum yang menjadi tempat atau objek kunjungan para turis. Situasi dulu berbeda dengan sekarang. Orang yang mau diubah perilaku dan karakternya pun berbeda, yaitu mereka yang sama sekali tidak tahu menahu dengan sejarah masa lalu.

Intinya yang perlu adalah harus ada kemauan. Kemauan untuk berubah. Saya sependapat dengan Pak Djunaidin bahwa mengubah kondisi Parado kita tidak dapat berharap kepada orang lain (di luar Parado), tetapi harus dilakukan oleh orang Parado itu sendiri.  Kita umat Islam masih ingat dengan firman Allah swt yang artinya," Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu  kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka".(QS Ar-Ra'ad (13):11).

Jadi kita tidak akan pernah mampu mengubah sesuatu sepanjang yang mau diubah itu mau mengubah dirinya sendiri. Lagu, bagaimana mengubah ini, harus datang dari orang Parado sendiri. Dalam jangka panjang adalah melalui pendidikan formal dan nonformal. Pendidikan formal adalah melalui lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan nonformal adalah melalui lembaga sosial keagamaan yang harus dibentuk.

Melalui pendidikan, terutama harus dimulai dari sekolah dasar. Meskipun pendidikan budi pekerti sudah dihilangkan di sekolah dasar, tetapi praktik-praktik budi pekerti yang baik harus diajarkan oleh para guru di depan kelas. Contohnya, bahwa setiap anak harus menghormati yang lebih tua. Setiap bertemu orang yang lebih tua harus melepaskan "assalamualaikum ww.". Di sekolah juga harus dipraktikkan.

Melalui sekolah para guru harus menyarankan kepada anak didik belajar mengaji. "Ancam" murid bahwa setiap malam guru akan pergi mengecek orang mengaji di Tempat Pengajian Alquran (TPA). Guru agama harus mengajarkan anak didik mengenal huruf Arab agar mereka dapat membaca Alquran sendiri. Mereka juga diwanti-wanti untuk tidak mendekati atau mengonsumsi tramadol, barang haram yang memabukkan itu. Informasikan bahwa jika ditemukan menggunakan obat itu akan berurusan dengan polisi dan penjara. 

Melalui pendidikan nonformal, para anak didik pun disediakan wadah untuk berlomba, misalnya MTQ. Hadiah bisa diminta kepada kepala desa. Kan ada Dana Desa. Para orangtua juga harus memiliki kepedulian terhadap anak didik anaknya. Kepala desa harus mengecek anak-anak yang tidak sekolah agar menikmati pendidikan.

Program jangka panjang melalui pendidikan ini memang memakan waktu, tetapi hasilnya akan memangkas satu generasi kelak. Kita akan menemukan atau mendapatkan generasi yang melek huruf Alquran dan memiliki budi pekerti yang baik. Anak generasi bangsa yang bebas dari penggunaan obat-obat terlarang,

Meskipun pengalaman masa sekolah saya di SD dulu mungkin tidak tepat diterapkan pada anak-anak yang lebih banyak dipengaruhi unsur "asing" sekarang, namun tidak ada salahnya dipraktikkan di sekolah ketika anak-anak dan para murid masih segan pada gurunya.  Guru agama, kebetulan Pak K.H. Muhammad Hasan, B.A. mengajarkan kami mulai dari mengenal huruf Arab, cara dan tertib berwudu dan salat, hingga praktik salat pada hari Jumat di masjid kecil di Kanca dulu. Ini bisa dilakukan kalau guru agama SD mau melakukannya. Kalau tidak, ya memang susah.

Ilmu agama harus diberikan di sekolah. Ini sekaligus menimpali komentar Bung Marsadi. Ilmu agama merupakan benteng tangguh terhadap godaan duniawi terhadap seseorang. Ini akan tertanam dengan baik jika diberikan sejak dini. Ya, sejak duduk di sekolah dasar itu. Saat ini kita tidak lagi mendengar di Parado pada malam-malam hari suara anak-anak yang mengaji di rumah guru mengaji. Suara di rumah sudah tergantikan oleh suara musik dari TV atau musik dari HP yang diperkeras melalui pengeras suara . 

Perubahan masyarakat yang begitu cepat yang disinggung adik Kaharuddin, itu adalah sesuatu yang "given" (terberi) dan tidak dapat dibendung. Pengaruh teknologi sudah merasuk hingga ke dapur orang desa, bukan cuma orang kota. Anak-anak desa sudah bergaya orang kota. Lihat saja rambut mereka sudah dicat pirang. Untuk merupakan stempel tentang "kemajuan" menurut mereka. Padahal, untuk apa. Hanya untuk aktualisasi diri belaka dan mempermudah polisi membekuk mereka jika melakukan tindakan kriminal.

Teknologi hanyalah alat dan penggunaannya akan ditentukan oleh manusianya. Kalau kita gunakan secara baik-baik jelas akan bermanfaat. Jika digunakan salah, juga akan salah. Jadi, akan kembali kepada manusianya. Sepanjang manusianya tidak mampu mengendalikan diri memperlakukan teknologi, jelas dia akan terjerumus pada dampak buruk teknologi.

Mengapa banyak pelajar dan siswa yang menikah diri, jelas itu salah satu dampak teknologi yang membawa kemudaratan. Mereka saat ini dengan mudah mengonsumsi siaran dan film yang sebenarnya belum layak mereka tonton. Kebebasan menggunakan gawai (selepon seluler) juga kian mempercepat dan memperbanyak anak-anak yang menikah dini. 

Maraknya anak-anak menikah dini itu diperparah lagi dengan tidak adanya penyuluhan tentang Kependudukan dan Keluarga Berencana yang selalu mengarahkan anak-anak usia subur untuk menunda usia pernikahan sebagai upaya mengendalikan jumlah penduduk dan menghasilkan keluarga yang sehat dan sejahtera.

 

 

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun