Â
Sabtu (15/5/2021) malam, kita dikagetkan dengan berita duka. Anre Gurutta Dr.HC.K.H. Sanusi Baco LC berpulang ke rakhmatullah pada pukul 20.00 Wita dalam usia 83 tahun. Saya mengetahui beliau sakit ketika Jumat (14/5/2021) melalui berita media daring Ptl Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaeman mengharapkan umat Islam di Sulawesi Selatan ikut mendoakan bagi kesembuhan Anre Gurutta. Â Namun, Allah swt lebih mencintai Anre Gurutta dibandingkan rasa cinta kita manusia. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun.
Anre Gurutta dilahirkan di Maros 4 April 1938. Anak kedua dari enam bersaudara dari seorang ayah yang bekerja sebagai mandor bernama Baco. Pada masa remajanya, Anre Gurutta belajar pada beberapa orang guru sebelum memutuskan belajar di Pondok Pesantren Darul Dakwah wal Irsyad (DDI) Mangkoso Kabupaten Baru yang kemudian berlangsung 8 tahun. Dari Mangkoso, Anre Gurutta masuk ke Madrasah Aliyah pada tahun 1958.
Usai belajar di Aliyah, almarhum memutuskan masuk Makassar dan mengajar di beberapa tempat, sambil mengikuti kuliah di Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan meraih gelar sarjana muda (B.A.). Selain termasuk salah seorang pendakwah, almarhum termasuk salah seorang pendiri Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Sulsel.
Di tengah kesibukannya mengajar, Anre Gurutta memperoleh beasiswa dari Pemerintah Republik Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Al Azhar Mesir. Pada saat itu, almarhum memimpin Pondok Pesantren Darul Ulum salah satu ponpes milik Nahdatul Ulama yang ada di Maros.
Dalam pelayaran di kapal almarhum bertemu dengan Abdurrahman Wahid, yang kelak menjadi Presiden IV Republik Indonesia dan menjadi teman baiknya.
Sekembali dari Mesir, Anre Gurutta kembali mengajar di UMI dan Sekolah Tinggi Ilmu Agama (STIA) AL Ghazali Makassar (kini Universitas Islam Makassar) dan Fakultas Syariah IAIN Alauddin, perguruan tinggi yang menganugerahinya Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum Islam setelah berganti nama menjadi UIN Alauddin. Di tengah usianya yang sudah uzur, 78 tahun, Anre Gurutta aktif di ormas NU Sulawesi Selatan.
Konsisten Â
Saya mengenal baik AG. K.H.Sanusi Baco. Sebagai wartawan media umum sejak 1976, jelas saya sangat menghafal para tokoh penting di Sulawesi Selatan, apalagi sosok seorang kiai yang sangat kharismatik se-taraf Anre Gurutta ini. Saya mengikuti banyak aktivitas beliau dalam beragam  kegiatan dan tempat, tetapi dengan hanya satu misi, yakni dalam kapasitas kompetensi dan kapabilitasnya sebagai seorang tokoh spiritual yang sangat mumpuni.
AG K.H.Sanusi Baco adalah sosok ulama yang sejak saya kenal hingga akhir hayatnya tetap konsisten, tetap "on the track". Beliau adalah sosok karismatik yang tetap menjaga diri tidak keluar dari garis edar aktivitas keagamaannya, justru pada masa begitu banyak sosok yang sudah mulai mencampuradukkan persoalan duniawi dengan ukhrawi, kemudian membentur-benturkannya hingga terjadi disharmoni antarumat di republik ini.
Dapat dikatakan, beliau adalah cermin kehidupan yang tak lekang oleh waktu bagi siapa pun. Selalu menjadi contoh yang baik dan sejuk bagi orang-orang yang mau meneladaninya. Pada diri beliau sejatinya dapat membanggakan diri. Beliau seorang yang mengenyam ilmu agama di perguruan tinggi tertua dan terkenal di Kairo pada masa ketika masih sangat sedikit orang Indonesia menimba ilmu di sana. Tetapi beliau adalah tipe ilmu padi yang makin tua kian merunduk. Tipe kelapa yang semakin tua kian banyak santannya. Itu terjadi, ketika beliau melakonkan dirinya pada era keterbukaan yang membuat sejumlah  orang seperti dirinya banyak yang lupa diri bahwa mereka dulunya adalah tokoh panutan. AG Sanusi Baco tetap mempertahankan eksistensi dirinya secara utuh dan tidak terkontaminasi oleh ''penyakit'' zaman "old" atau pun zaman "now". Beliau didatangi untuk suatu tendensi dan kepentingan tertentu, tetapi tidak pernah mendatangi untuk hal-hal yang sama. Beliu ada di mana-mana dan tidak pernah ke mana-mana.
Saya yakin mungkin banyak pihak -- dengan memotret ketokohan beliau -- ingin mendekatinya untuk kepentingan pragmatis dan praktis. Â Sebab, jika beliau berhasil didekati, tentu akan membuat begitu banyak orang menjadi "followers"-nya. Namun, beliau tetap menjaga diri tetap tidak terjebak berada di salah satu ruang kepentingan, tetapi berada di mana-mana saja tanpa identitas dan kepentingan yang menempeli dirinya. Beliau konsisten dengan ketokohannya yang harus berdiri pada dan di atas semua pihak dan kepentingan tanpa landasan diferensial (perbedaan) sama sekali.
 Bahasa Awam
Aktivitas AG Sanusi Baco sering saya ikuti ketika Pak Dr. (Cand.)H.Sattar Taba, S.E. M.IP menjabat Direktur Utama PT Semen Tonasa beberapa tahun yang lalu. Pak Sattar adalah ponakan beliau. Pada saat berbagai acara di perusahaan semen yang berdiri sejak tahun 1967 itu, saya kerap diundang oleh Pak Sattar. Begitu pun kalau Pak Sattar punya hajat keluarga, saya tidak pernah dilupakan. Hubungan komunikasi saya dengan Pak Sattar sudah terjalin lama, sejak pertama kali mengenalnya saat menghadiri pesta pernikahannya di Gedung Aisyiah Jl. G.Bulusaraung (kini Jl. Jenderal M.Jusuf) Makassar sekitar paruh tahun 1970-an ketika saya belum menikah dengan istri sekarang.
Pak Kiai Sanusi, begitu bagi banyak orang yang menyapanya, jika hadir dalam suatu acara selalu diposisikan pada dua tugas, yakni menyampaikan ceramah agama atau memimpin dan menuntun doa. Kalau dalam hal membaca doa, mungkin saya sama dengan orang-orang yang selalu mengikutinya, kerap terasa sangat menyentuh perasaan dalam kekhusyukan yang sangat menukik batin. Suaranya yang seolah ''sangat menyerah'' kepada permohonan atas kekuasaan-Nya benar-benar menohok palung dan tebing kalbu khalayak. Diferensiasi intonasi dari setiap orang yang terdengar pada saat memimpin doa, cenderung memberi efek spiritual dan religiusitas berbeda terhadap setiap khalayak. Irama suara beliau yang sedikit serak cenderung membuai khalayak benar-benar berserah diri dalam kebermohonan terhadap-Nya atas isi doa yang disampaikan.
Ketika membawakan ceramah, Kiai Sanusi bukanlah tipe muballig yang banyak menggiring khalayak terbahak-bahak bersorak berulang-ulang sebagaimana yang kerap temukan pada zaman "now" ini. Â Beliau bukan penceramah yang dari wacana yang dipilihnya langsung membuat orang ngakak massal spontan. Â Beliau berdakwah dan berceramah dalam bahasa yang awam. Bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak yang tidak tamat sekolah dasar atau kursus tuna aksara sekalipun.
Sebagai  orang yang bergerak di bidang kajian linguistik (ilmu bahasa/wacana), saya mungkin menilai sedikit ''ilmiah''  setiap wacana yang beliau sampaikan. Saya mengamati, Kiai Sanusi bukan tidak mampu membuat khalayak pendengarnya terbahak-bahak karena  frasa dan konten ceramah yang dipilihnya, melainkan selalu contoh-contoh yang disampaikannya itu sangat intelektual logis. Maksudnya, apa yang disampaikannya itu tidak serta merta membuat orang terkekeh-kekeh, tetapi ada ruang waktu beberapa detik bagi khalayak berpikir baru meledak ngakak-nya. Ini yang saya selalu amati, tetapi tidak berarti bahwa konten wacana penceramah yang lain tidak termasuk dalam kategori ini.  Namun, Kiai Sanusi memilikinya secara utuh.
Kiai Sanusi selalu memilih bahan ceramah yang diangkat dari realitas kehidupan sehari-hari. Ketimpangan dalam kehidupan manusia sehari-hari itulah yang kemudian dikontrol dan diperingati dengan menggunakan senjata ayat-ayat Alquran dan hadis. Pilihan isi ceramah seperti ini justru kontradiktif dengan yang kita dengar dari  sosok-sosok lain pada zaman sekarang yang lebih memilih masalah-masalah aktual, bahkan menyerempet kepada masalah politik. Kiai Sanusi sangat pantang menggiring masalah nonreligiusitas ke ranah agama. Ini patut menjadi contoh bagi sosok tokoh agama yang lain.
 Kolaborasi Pena dan Tinta
Kiai Sanusi menyampaikan pesan-pesan kehidupan melalui ceramahnya kepada umat melalui wacana lisan, wacana suara. Intinya beliau menyampaikan dakwah "bil al-lisan" yang menawarkan makna yang bergerak dan berbunyi, sementara dakwah al bil qalam mengusung makna yang bisu. Akan tetapi keduanya saling menunjang dan terpadu dalam keragaman yang saling mengutarakan ragam makna. Dakwah bil al qalam  (berdasarkan etimologis berasal dari bahasa dan huruf Arab :qaf, lam, dan mim) berarti ''memperbaiki sesuatu sehingga nyata dan berimbang'' (Suf Kasman: Jurnalisme Universal, Menelusur Prinsip-Prinsip Dakwah Bil Al-Qalam dalam Alquran, TERAJU Khazanah Pustaka Keilmuan,2004).
Kelebihan dakwah bil al-lisan seperti yang dilakonkan Kiai Sanusi adalah menawarkan sejumlah rasa. Mungkin saja ada rasa tawar, atau kecantikan dan kemudahan ditelaah pendengar. Karena Pak Kiai Sanusi selalu berbicara contoh realitas yang terjadi di masyarakat dan diuraikan melalui bahasa awam, tentu mudah dimaknai dan dipahami. Apatah pula dakwah bil al-lisan ini sanggup merangkum kefasihan dan disuarakan oleh penceramah jelas akan sangat mengena. Yang mungkin kita tidak temukan pada Kiai Sanusi adalah tipe-tipe penceramah yang tiba-tiba menjadi penyair yang melantunkan wacana ceramahnya bagaikan seorang pembaca puisi. Kiai Sanusi selalu tampil dengan sangat "low profile", sesuatu pandangan yang mungkin menurut kacamata awam sebenarnya sangat antoganis dengan kekarismatikannya. Tetapi itulah beliau, dalam setiap penampilannya selalu sangat ''syar'i''. Â
Dari wacana lisan atau suara inilah kemudian dikutip oleh media, sehingga lahirlah kolaborasi fungsional antara wacana lisan, pena, dan tinta. Mungkin istilah tinta zaman sekarang sudah dianggap kedaluwarsa (tidak model lagi), seiring dengan merebaknya media daring ("online"). Meskipun demikian, peran pena dan tinta ini sudah tertuang dalam kitab suci Alquran dan hadis. Sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Abu Hatim dari riwayat Abu Hurairah r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
''Allah telah menciptakan nun, yakni dawat (tinta)''.
Dalam QS Al-Qalam *68:01 Allah swt berfirman yang artinya:
''Nun (dawat), perhatikan qalam dan apa saja yang mereka tulis (dengannya)''.
Begitulah peran Kiai Sanusi dalam menyampaikan dakwah "bil al-lisan" dengan memungut realitas kehidupan yang menyimpang menurut nilai-nilai agama di tengah masyarakat, mengokreksinya dengan rujukan ayat-ayat Alquran dan hadis agar umat ini kian sadar supaya berkehidupan sesuai tuntutan agama  yang dianutnya, khususnya agama Islam.
Mahmud Suyuti, salah seorang aktivis NU, pengagum Kiai Sanusi dan pengabdi ulama menulis pada salah satu laman daring. Meskipun mungkin informasi ini sudah ada di bagian kisah buku ini, namun ada baiknya saya kutip (setelah diedit dengan sedikit jurnalistis) melengkapi kekaguman saya terhadap beliau:
''Pengalaman yang membekas di usia remaja, tahun 1968  beliau ke Kairo. Menumpang kapal barang, beliau terombang-ambing selama satu bulan dua hari  di laut bersama sahabatnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur almarhum).. Itu perjalanan yang sangat lama dan tentu membosankan. Tetapi Gus Dur yang humoris mampu menceriakan suasana yang jenuh, hingga Gurutta pun ikut terhibur. Dari situlah  persahabatan keduanya akrab dan terjalin.
Di era tahun 1970-an, pada setiap ke Makassar, Anre Gurutta Sanusi selalu menjemput Gus Dur di pelabuhan maupun dari di bandara. Kendaraan yang digunakan motor vespa, kendaraan yang banyak dikendarai pada masa itu di Makassar. Keduanya, berboncengan. Suatu waktu dari Bandara Mandai (bandara lama) ke Kota Makassar, motor vespa Kiai Sanusi mogok di Mandai. Tidak ada pilihan lain,  Gus Dur  turun mendorong motor dari belakang sampai mesinnya hidup. Keduanya pun melaju lagi.
Beberapa meter kemudian si vespa mogok lagi. Â Gus Dur pun turun lagi. Kali ini harus bekerja keras, sebab vespa itu harus didorong sampai ke Daya, tempat baru ada bengkel. Setelah baik, barulah mereka berdua berboncengan, kemudian keliling kota Makassar.
Saat Gus Dur menjabat Presiden tahun 1999 sampai 23 Juli 2001, Anre Gurutta Sanusi selalu bertandang ke Istana tanpa sepengetahuan orang banyak. Saat Gus Dur wafat, 30 Desember 2009, tepatnya pukul 18.45 WIB, Anre Gurutta Sanusi mendapat undangan khusus untuk melayat dan memimpin doa untuk Gus Dur di depan pusaranya''.
Tetapi ada satu keping cerita yang entah dari mana saya dengar (mungkin dari Pak Waspada Santing), Kiai Sanusi bercerita. Suatu hari, Gus Dur memanggilnya.
''Sanusi, coba lihat gambar orang di uang kertas ini bergerak dan tertawa,'' kata Gus Dur menggoda sahabatnya.
''Ah... mana mungkin gambar orang di uang kertas bisa bergerak dan tertawa!?,'' balas Kiai Sanusi tak percaya.
''Ya, datanglah lihat dulu!,'' desak Gus Dur.
Tak mau mengecewakan sahabatnya, Kiai Sanusi yang yakin itu hanya bualan sahabatnya,  pun memenuhi ajakan Gus Dur  yang terkenal kaya anekdot dan humor itu.
Kiai Sanusi dengan semangat menggebu-gebu mendekat. Matanya kemudian ''tertancap'' pada lembaran uang kertas yang ada di tangan Gus Dur.
''Mana...mana itu gambar orang bergerak?'' kata Kiai Sanusi.
''Iya tadi bergerak, sekarang sudah berhenti karena capek. Siapa suruh datang terlambat,'' Gus Dur berdalih sambil cekikikan yang membuat sahabatnya yang kini juga berpulang geleng-geleng kepala. (M.Dahlan Abubakar)
(Tulisan ini merupakan bagian testimoni saya untuk buku Anre Guruta yang diedit oleh Dr.H.Waspada Santing, M.HI, dan sedikit sudah diperkaya)
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H