Dari wacana lisan atau suara inilah kemudian dikutip oleh media, sehingga lahirlah kolaborasi fungsional antara wacana lisan, pena, dan tinta. Mungkin istilah tinta zaman sekarang sudah dianggap kedaluwarsa (tidak model lagi), seiring dengan merebaknya media daring ("online"). Meskipun demikian, peran pena dan tinta ini sudah tertuang dalam kitab suci Alquran dan hadis. Sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Abu Hatim dari riwayat Abu Hurairah r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
''Allah telah menciptakan nun, yakni dawat (tinta)''.
Dalam QS Al-Qalam *68:01 Allah swt berfirman yang artinya:
''Nun (dawat), perhatikan qalam dan apa saja yang mereka tulis (dengannya)''.
Begitulah peran Kiai Sanusi dalam menyampaikan dakwah "bil al-lisan" dengan memungut realitas kehidupan yang menyimpang menurut nilai-nilai agama di tengah masyarakat, mengokreksinya dengan rujukan ayat-ayat Alquran dan hadis agar umat ini kian sadar supaya berkehidupan sesuai tuntutan agama  yang dianutnya, khususnya agama Islam.
Mahmud Suyuti, salah seorang aktivis NU, pengagum Kiai Sanusi dan pengabdi ulama menulis pada salah satu laman daring. Meskipun mungkin informasi ini sudah ada di bagian kisah buku ini, namun ada baiknya saya kutip (setelah diedit dengan sedikit jurnalistis) melengkapi kekaguman saya terhadap beliau:
''Pengalaman yang membekas di usia remaja, tahun 1968  beliau ke Kairo. Menumpang kapal barang, beliau terombang-ambing selama satu bulan dua hari  di laut bersama sahabatnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur almarhum).. Itu perjalanan yang sangat lama dan tentu membosankan. Tetapi Gus Dur yang humoris mampu menceriakan suasana yang jenuh, hingga Gurutta pun ikut terhibur. Dari situlah  persahabatan keduanya akrab dan terjalin.
Di era tahun 1970-an, pada setiap ke Makassar, Anre Gurutta Sanusi selalu menjemput Gus Dur di pelabuhan maupun dari di bandara. Kendaraan yang digunakan motor vespa, kendaraan yang banyak dikendarai pada masa itu di Makassar. Keduanya, berboncengan. Suatu waktu dari Bandara Mandai (bandara lama) ke Kota Makassar, motor vespa Kiai Sanusi mogok di Mandai. Tidak ada pilihan lain,  Gus Dur  turun mendorong motor dari belakang sampai mesinnya hidup. Keduanya pun melaju lagi.
Beberapa meter kemudian si vespa mogok lagi. Â Gus Dur pun turun lagi. Kali ini harus bekerja keras, sebab vespa itu harus didorong sampai ke Daya, tempat baru ada bengkel. Setelah baik, barulah mereka berdua berboncengan, kemudian keliling kota Makassar.
Saat Gus Dur menjabat Presiden tahun 1999 sampai 23 Juli 2001, Anre Gurutta Sanusi selalu bertandang ke Istana tanpa sepengetahuan orang banyak. Saat Gus Dur wafat, 30 Desember 2009, tepatnya pukul 18.45 WIB, Anre Gurutta Sanusi mendapat undangan khusus untuk melayat dan memimpin doa untuk Gus Dur di depan pusaranya''.
Tetapi ada satu keping cerita yang entah dari mana saya dengar (mungkin dari Pak Waspada Santing), Kiai Sanusi bercerita. Suatu hari, Gus Dur memanggilnya.