''PSM sekarang adalah klub penghasil pemain. Tempat mengasuh pemain,'' tukasnya.
Kata Ramang lagi, pemain yang sudah jadi kebanyakan lari ke Galatama dan beberapa klub lainnya di Jawa. Saat sekarang (1981) harus diakui, PSM adalah klub penempa pemain. Pembinaan pemain tidak bisa berdiri sendiri. Menyangkut masalah yang serba kompleks. Semua pihak harus terlibat. Hingga percakapan usai, Ramang tidak merasa bahwa ajakan berbincang-bincang model dialog tukang becak itu sebenarnya bagian dari wawancara.Â
Ketika itu, di sela-sela masa istirahat panjangnya, darah bola Ramang sulit dibendung. Kalau tidak sempat ke lapangan atau tidak ada anak-anak yang latihan, dia kerap menyambangi Sekretariat PSM yang ketika itu di Jl.Jenderal Sudirman, di sekitar Kantor POM (dulu), di depan Gubernuran Makassar. Katanya, sekadar jalan-jalan dan bertukar pikiran dengan para Pembina PSM.
Inilah kesempatan emas yang saya peroleh mewawancarai Ramang semasa hidupnya. Ya, setelah upaya mewawancarainya pada tandangan yang pertama gagal. Ketika keinginan saya hendak melakukan wawancara, Ramang berkata pendek.
''Saya sudah tua. Lebih baik para pemain muda yang diwawancarai,'' elaknya.
Agaknya, kata 'tua' itulah yang kini kemudian menjadi ikon untuk menganalogikan seseorang yang pernah berprestasi pada masa lalu sudah menurun kemampuanhya. Hanya agak lucu, saat Ramang sudah sejak 1987 berpulang ke rakhmatullah, masyarakat masih menggunakan analogi itu.
''Toa mi Ramang''. Padahal, dia sudah  meninggal dunia yang fana ini sejak 26 September 1987. *** (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H