Kota Bima memiliki pelabuhan yang terlindung oleh gelombang  dari laut lepas. Pelabuhan ini terletak di dalam "danau" teluk yang dikitari gunung dan bukit.Â
Jalur air yang menghubungkan teluk dengan laut lepas, Laut Flores di utara Pulau Sumbawa orang Bima menyebutnya "Asa Kota" (mulut kota).
Mulut kota ini merupakan satu jalur laut tempat kapal-kapal akan masuk dan keluar ke dan dari  Pelabuhan Bima.Â
Konon, pada zaman dulu, penjajahan sering terkibuli oleh kapal-kapal yang masuk bersembunyi di Teluk Bima ini karena "pintu" masuknya tersembunyi jika dilihat dari arah timur dan barat. Kapal-kapal yang berlayar tegak lurus dari utara yang dapat menemukan pintu masuk ini dengan tepat.
Belum diketahui pasti berapa sebenarnya lebar "Asa Kota" Bima dari tepi timur hingga ke tepi barat. Yang jelas, setiap kapal, terutama  yang berbobot berat harus mengurangi kecepatannya ketika melintasi jalur laut yang diapit dua sisi daratan ini. Penulis sempat menyaksikan pergerakan kapal dari atas ruang kemudi ketika akan melintasi  "Asa Kota" saat akan merapat ke Pelabuhan Bima.  Waktu itu, KM Kelimutu, sedang dalam perjalanan untuk diresmikan di Pelabuhan Tenau Kupang tahun 1986. Saya dapat menyaksikan Capten KM Kelimutu Oerip Tjahjadi yang berdiri di anjungan kemudi serius menyaksikan alur laut yang sangat sempit ini. Sebab kalau tidak hati-hati kapal bisa menabrak tepi daratan yang rata-rata batu keras. Lagi pula, teluk ini bertepi tidak lurus, sehingga kapal besar,seperti kapal penumpang PT Pelni harus sedikit hati-hati dan zig zag,
      Di tepi timur Asa Kota terdapat objek wisata yang menarik dengan pantai yang sangat landai dan tenang. Saya tidak tahu apakah di tepi barat juga terdapat objek wisata. Hanya saja pada November 1971, dalam pelayaran dari Pelabuhan Bima ke Makassar menggunakan perahu layar pinisi "Masyalihul Ahyar" milik orang Bugis, saya pernah mampir mengambil air di salah satu tempat yang disebut "wadu pa'a" (batu pahat). Air di situ tidak pernah kering pada musim kemarau dan menjadi tempat para nelayan singgah mengisi air tawar sebelum melanjutkan perjalanan ke Sulawesi, Kalimantan, Jawa, atau ke timur.Â
Pantai Ule Â
Pantai ule meripakan satu tempat yang selalu menarik perhatian pengunjung lokal untuk disambangi. Terletak di sisi timur Teluk Bima, Pantai Ule termasuk objek wisata lokal yang mudah dijangkau warga. Jalan raya ke sana cukup mulus. Hanya kondisinya meliuk-liuk dengan tanjakan dan turunan tajam. Pengemudi harus ekstra hati-hati. Sebab, jika salah "nyenter" kiri, urusannya bisa berakhir di bawah laut.Â
 Pantai ule letaknya dekat dari dari kota Bima. Jaraknya sekitar 10 km, sehingga mudah dijangkau.  Hanya saja pada saat hari libur, banyak pengunjung ke sana, membuat kendaraan ramai dan lalu lintas padat.Â
Batu-batu besar di pinggir pantai seolah menjadi tempat untuk melepas lelah yang menyenangkan diterpa angin laut. Jika sore hari kita berada di sini, akan dapat menyaksikan matahari lenyap dari balik barisan Gunung Soromandi yang seolah menjadi benteng pertahanan Asa Kota di sisi barat, Jadi, sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Â
Pantai Kolo Â
Selain Pantai Ule, di sisi timur Asa Kota ini juga ada Pantai Kolo. Pantai ini sudah agak di luar Teluk Bima. Di pantai ini, pengunjung sudah bebas melepaskan pandangan  sejauh mata memandang ke laut lepas, Laut Flores, Warga Pantai Kolo dapat menyaksikan lalu lintas kapal PT Pelni masuk dan keluar ke dan dari Pelabuhan Bima.
Berbeda dengan Pantai Ule yang sedikit tenang, Pantai Kolo sedikit gemuruh karena gelombang yang langsung datang dari Laut Flores. Tidak heran, laut di pantai ini sedikit bergelora.  Pantau Kolo juga  cantik dan masih alami menjadi keunggulan pantai yang terletak di salah satu kelurahan dari empat kelurahan yang termasuk dalam Kecamatan Asakota, Bima ini. Kolo, bersama Kelurahan Jatibaru, Jatiwangi, dan Melayu termasuk dalam wilayah Kecamatan Asa Kota yang terbentuk pada tahun 2017 dengan penduduk 30; 845 jiwa, tetapi data lain menyebutkan 27.931 jiwa menurut versi laman Pemerintah Kota Bima. .  Â
Kalau menggunakan kendaraan pribadi, dari Kota Bima dapat dijangkau dengan jarak tempuh sekitar satu jam. Jaraknya sekitar 15 km dari Kota Bima.  Pantai ini juga menyimpan potensi pesona bawah laut yang indah. Juga  memiliki kelebihan lain seperti menjadi pelabuhan altematif, tempat memancing, pusat tambak udang dan pegunungan disekitarnya yang bisa menjadi lahan pertanian yang menghasilkan buah.
      Penduduk Kelurahan Kolo bermata pencaharian utama sebagai nelayan. Banyak perahu berlabuh di lekuk-lekuk pantai di sisi timur Teluk Bima. Ikan banyak terhampar di tepi pantai saat dijemur  pada musim kemarau. Pada musim tanaman jagung, warga juga menanam komoditas ini. Di bagian yang datar banyak tumbuh pohon kelapa  yang juga menjadi pemandangan indah di pinggir pantai.
      Di bawah pepohonan kelapa inilah para pengunjung dapat menghampar tikar plastik saat berekreasi. Ketika saya berkunjung ke sana, untuk menikmati pantai ini masih belum dipungut bayaran. Terkecuali menggunakan fasilitas yang disediakan warga lokal, seperti gazebo, pondok-pondok kecil di pinggir laut, dan sejenisnya.
      Di Kolo juga sudah ada Pondok Pesantren yang khusus untuk menghasilkan hafiz (penghafal Alquran) dipimpin oleh salah seorang ustaz  yang pernah malang melintang di tanah Jawa. Lokasi gedung-gedung pesantren ini hampir sama tingginya dengan pohon kelapa karena berada di daerah ketinggian. Dari sini, para santri dapat menyaksikan kapal-kapal besar kecil maupun perahu yang melintas dan lalu lalang ke dan dari Pelabuhan Bima.Â
Pada malam hari, lampu-lampu bagan nelayan yang menangkap ikan terang benderang dan tampak kelap-kelip di kejauhan dari atas pondok pesantren ini. (MDA). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H