Tiap hari saya membatasi buka media sosial hanya dua kali saja. Â Namun, tiap kali buka Facebook, muncul di beranda saya , video dua anak kecil dalam satu keluarga. Â Anak pertama, perempuan, usia sekitar 3-4 tahun , anak kedua, adiknya , perempuan sekitar 9-12 bulan. Kedua anak itu, anak campuran antara Ibu Indonesia dan ayah Australia.
Apa yang dipertontonkan di video itu hanya aksi dari anak-anak itu misalnya saling berebut makanan, kakak perempuan sedang diajar oleh bibi (adik perempuan ibunya) tentang arti doa dalam bahasa Inggris, Â tetapi lebih sering video yang dipertontokan, Â sang adik yang masih kecil itu dengan muka setengah bule dan badan yang gempal, merangkak tanpa arah mencari sesuatu.
Saya tak menjumpai gambaran parenting yang baik dari sang ibu karena ketika anak yang besar nakal memukul adiknya, hal semacam itu divideo dan cara mendidik ibu adalah teriak-teriak memarahi sang kakak. Â Lebih sering kakak sebagai anak terbesar merasa tidak puas dengan reaksi ibunya, kembali memukul adiknya.
Adegan yang tidak mendidik, marah, mukul dan teriak-teriak ketika anak tidak melakukan apa yang diminta/diperintahkan?
Apakah itu aktualisasi ibu?
Orangtua dari generasi milenial punya kecenderuangan jika anaknya dilibatkan dalam momen-momen yang membanggakan, lucu atau yang menarik atau membahagiakan.  Semua momen ini dibuatkan video dan akhirnya secara konsisten diunggah  ke media sosial sang ibu.Â
Dilansir dari Rumah Main Cikal, Â para orang tua milenial lebih suka mempelajari pengasuhan anak , tips parenting dari media sosial. Â Media sosial dianggap sarana tepat untuk membagikan cerita dari pengasuhan anak.
Berbagi cerita pengasuhan anak itu akhirnya dilakukan oleh sebagian orang tua tanpa mempedulikan apakah sharing pengalaman itu sebenarnya tepat, bermanfaat atau etis bagi anak itu sendiri .
Kata sharenting itu berasal dari dua kata yaitu share dan  parenting, lalu keduanya digabungkan menjadi sharenting.  Dari makna kedua kata itu artinya  orang tua menggunakan media sosial sebagai sarana untuk certakan pengalaman mereka dalam mengasuh anak-anaknya.
Apalagi perkembangan dan pertumbuhan anak tiap fase itu sangat penuh dengan kejutan. Alangkah bahagia atau terkejutnya ketika anak bisa berjalan , anak bisa mengucapkan "mama" atau "papa", dapat menunjukkan siapa yang disukainya, mengoceh, bercakap lucu dan membantu ibunya memasak.
Alasan orang tua  untuk mencari dan menemukan pengetahuan dan pengasuhan anak itu penting sekali.  Tetapi apakah ilmu tentang parenting itu harus dicari dari media sosial?  Ada banyak buku referensi yang bisa dibaca dan lebih akuran serta lebih banyak penjelasannya ketimbang video singkat.
Bagi orang tua yang ingin membagikan video perkembangan anaknya, apakah dorongan atau motivasi itu berasal dari dirinya untuk berbagil ilmu praktis . Jika berbagi ilmu kepada teman dekat atau saudara tanpa harus mengunduh nya di media sosial lebih bagus.Â
Dari Abraham Maslow, tentang theory Hierarcy Human Needs terhadap Human Motivations, Â proses orang tua menjadi versi terbaik adalah memberikan pengasuhan terbaik dan seringkali menemukan kesulitan dalam pengasuhan.
Tetapi jika  pengasuhan anak dibagikan karena dorongan hanya untuk memamerkan anaknya, atau lebih lagi ada yang demi konten dan monetisasi terus menerus memperihatkan kegiatan anak tanpa ada artinya.
                       Â
Dampak Bahayanya Sharenting
Risiko terbesar dari menyebarkan momen anak-anak itu di media sosial menurut pakar sosial adalah keselamatan dan privasi anak terancam.
Contohnya  ketika anak dengan fisik yang tidak sempurna, kulit gelap, sering dibullying oleh orang tua dengan memanggilnya  si coklat, si hitam, si Ambon.  Bullying ini akan membekas terus sampai dewasa. Bahkan sampai anak itu dewasa, ada luka-luka batin yang  dibawa dan jika tidak dilepaskan dengan baik akan membuat mental yang sakit bagi anak.
Contoh yang lain dengan sharing tempat sekolah, rumah , tempat bermain anak-anak, Â halte bus, semua informasi itu dapat digunakan oleh predator untuk melacak secara offline.
Kejahatan yang berhubungan dengan teknologi geo tagging, ini akan membuat anak jadi korban perdagangan atau pencurian identitas dan penculikan.
Cara yang menjaga privasi anak secara online
- Setting atau pengaturan  "Privacy"  di semua platform  sosial media
- Cara yang paling efektif untuk melindungi  anak anda adalah dengan mengubah setting dengan "privat" pada semua platform media sosial.  Batasi siapa saja yang dapat melihat posting anda dan blok orang asing yang dapat menggunakan foto-foto , video itu untuk  memanfaatkan sebagai kejahatan.
Hindari terlalu banyak sharing data pribadi
- Penting sekali untuk berhati-hati untuk memposting secara terinci semua gambar, video. Â Apalagi tentang informasi yang sangat sensitif tentang nama nana, sekolah, lokasi dan tanggal lahirnya.
- Gunakan Kerahasiaan dan Keamanan Data Pribadi
- Bagi orang tua yang masih ingin sharing foto, video, Â jangan menampilkan seluruh identitas anak, buatlah wajah anak jadi "blur" atau memperlihatkan dari belakang saja.
Menjadi  orang tua yang beranggung jawab
- Sebelum memposting , tanyakan kepada diri sendiri sebagai orang tua, apakah perlu untuk dibagikan atau justru akan menimbulkan kerugian bagi anak di masa yang akan datang. Â Lebih baik untuk selalu berhati-hati ketimbang ingin pamer.
- Jika Anda sebagai orang tua sedang semangat untuk sharing momen yang membanggakan, perlu bertanya persetujuan anak., jika anak sudah dapat memahami.
- Menggunakan sharenting secara tradisional, seperti membuat foto alum dan hanya anggota keluarga saja yang dapat melihatnya.
- Jika harus memposting atau mengabarkan kepada pihak keluarga, kirim hanya kepada teman terdekat atau keluarga yang Anda percayai.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI