Di Indonesia itu system distribusi dan promosi suatu produk obat itu sangat panjang pasok rantainya. Akibatnya harga bahan baku obat impor sudah dikenakan bea masuk, masih dengan biaya-biaya PPNÂ dan tambahan biaya lainnya. Â
Jatuhnya  cukup mahal sekali hampir 3-5 kali lipat ketika saya beli obat  di Penang yang jauh lebih ekonomis biaya dokter dan obatnya. Â
Termasuk akreditasi dokternya yang sudah kategori internasional, saya tidak perlu bolak-balik berobat seperti yang  terjadi  di Indonesia.Â
Saya berobat ke dokter A hingga 3 kali tidak bisa sembuh, terpaksa berobat ke dokter B juga sudah dua kali tidak sembuh. Akibatnya saya terpaksa terbang ke Penang dengan diagnose tepat, biaya obat lebih murah.
Meningkatnya Biaya Hidup untuk Middle Income Class
Tujuan kenaikan PPN 12 % itu adalah untuk mengkover  belanja  Pemerintah yang besar karena utang dari penerbitan SBN dalam rangka SKB II dan SKB III berjumlah Rp.100 triliun pada tahun 2025.
Namun, apakah efektifkah dengan menaikkan PPN 12% untuk mengkover biaya utang dan bunganya? Â
Justru jika kondisi kenaikan PPN 12% itu jadi pukulan bagi warga middle class, maka warga middle class yang akan terkena dampak, akan melakukan berikut ini:
1. Mengurangi pembelian untuk daya beli yang masih rendah (tidak ada kenaikan penghasilan)
2. Beralih kepada barang-barang illegal yang tak dikenakan tax PPN (misalnya cari  jastip, atau barang elektronik illegal).
Jika scenario di atas terjadi, Â tujuan dari Pemerintah untuk mendapatkan tambahan income justru berubah menjadi bumerang bagi Pemerintah.
Kesimpulan
Dalam kondisi daya beli warga yang lemah  dan geopolitik (perang dagang Amerika vs China) akan mulai tahun 2025,  kenaikan PPN tidak efisien .  Kenaikan PPN akan memukul daya beli terutama untuk "middle income class" yang tak menikmati kebijakan insentif.