Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Menulis Buku Cerita Anak Ternyata Tak Mudah Loh!

9 November 2024   11:48 Diperbarui: 10 November 2024   21:56 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalender Gereja kami, bulan Oktober adalah bulan Keluarga. Dalam rangka bulan Keluarga, gereja kami mengadakan suatu bazar pada penutupannya.

Nah, Koordinator perpustakaan Gereja,"Taman Sahabat", memiliki ide untuk membuat suatu buku antologi anak. 

Temanya sesuai dengan tema dari bulan keluarga adalah 4 pilar dalam bertumbuh, Tumbuh dalam Kasih, Tumbuh dalam Kebajikan, Tumbuh dalam Pelayanan, Tumbuh dalam Sorak Sorai.

Begitu pendaftaran dibuka, saya mencoba jadi "volunteer" penulis. Awalnya, saya berpikir menulis buku cerita anak itu gampang, tema sudah ada tinggal menggali cerita yang dituangkan sesuai dengan tema saja.

Sastra anak tentu bisa dipelajari dalam waktu singkat. Nggak perlu belajar teori yang sangat "njlimet" seperti prosa, puisi dalam karya sastra buku dewasa.

Tapi apa yang dipikirkan itu ternyata jauh dari kenyataan. Ketika kami berkumpul pertama kalinya untuk briefing tentang pembekalan menulis cerita anak, saya kaget dan otak saya langsung pening sedikit.

Oh, yang kupikir mudah itu ternyata tidak sama sekali. Pemahaman saya tentang buku cerita anak tidak sesuai dengan kenyataan yang harus dihadapi.

Naomi, seorang penulis buku cerita Anak yang sudah sangat mumpuni, mengajarkan kepada kami dengan sangat detail tentang apa yang harus dipersiapkan dalam menyusun cerita anak.

Dalam latihan pertama, menulis cerita anak itu harus spontan dalam waktu yang ditentukan, apa yang terpikir harus langsung dituliskan, jangan takut jelek, tata bahasa yang tidak baku.

Contohnya: Kita ingin menulis tentang namamu. Tuliskan segera apa arti namamu, siapa yang memberikan nama itu, ceritakan kejadian menarik sehubungan dengan namamu, menurutmu bagaimana namamu? Apakah unik? Biasa saja?

Buku anak itu memiliki genre, fiksi, non-fiksi, puisi. Formatnya dalam buku konsep, buku bergambar, buku bab, novel anak, komik, Kumpulan cerpen.

Kami juga harus ingat siapa pembaca anak, ada jenjang pembaca buku anak mulai dari jenjang A: Pembaca Dini (0-6 th), jenjang B: Pembaca Awal (6-9 th), jenjang C: pembaca semenjana (10-13 th), jenjang D: pembaca madya (13-15 th) dan jenjang E: pembaca mahir (lebih dari 16 th).

Cerita yang menarik bagi anak itu adalah cerita yang seru, imajinatif, ada kejutan, ada sesuatu yang baru dan sesuatu yang menyentuh.

Kita sebagai orang dewasa harus memiliki pemahaman cara berpikir anak, apa yang mereka pedulikan, apa yang mereka seru untuk diceritakan.

Nah, kali ini kami ingin mendalami tentang cerita fiksi untuk cerita anak. Dari cerita fiksi pasti ada elemen-elemen cerita yang terkandung di dalamnya. Beberapa elemen yang harus ada, tokoh, latar, alur, konflik, dan tema.

Dari teknik bercerita, kami harus mengetahui dari sudut pandang mana kami akan bercerita. Contohnya sudut pandang orang pertama, orang kedua dan orang ketiga. Gaya bercerita pun dalam suasana yang tersirat dalam bahasa dan pilihan kata penulis dan bagaimana teks itu bisa menggugah pembaca.

Proses Penulisan

Tulisan saya. Dokpri
Tulisan saya. Dokpri

Dalam proses pembuatan cerita, terjadilah hal-hal yang sangat mengejutkan bagi saya. Pola pikir saya masih saja terbawa dengan menulis cerita atau cerpen/artikel dewasa. Kalimat dan tulisan panjang dan inti cerita sulit bagi anak usia 9-13 tahun.

Editor pun minta saya untuk merevisi cerita yang telah saya buat. Ketika saya sudah revisi pertama, saya serahkan kepada editor.

Ternyata, editor masih mengatakan konten masih kurang menekankan value dan tidak sambung untuk pemikiran seorang anak. Saya perlu mengubah mindset saya sebagai anak.

Waduh, mindset diubah sebagai anak, itu benar-benar sulit sekali. Saya perlu belajar dan membaca buku-buku anak untuk referensi.

Begitu ada insight, saya perbaiki dan serahkan kembali. Ternyata untuk kedua kalinya, editor masih kurang lagi untuk cerita yang tidak sambung.

Saya hampir "stuck" karena sudah merasa jenuh untuk bisa memperbaiki. Saya ingin menyerah saja.

Lalu, saya dibantu oleh editor tentang apa yang harus dilakukan. Akhirnya saya serahkan yang ketiga kalinya. Jika tidak diterima lagi, saya akan mengundurkan diri.

Akhirnya, setelah proses revisi terakhir selesai, saya mendapat pelajaran yang sangat berharga. Menulis cerita anak, tidak semudah apa yang saya sangka. Perlu mindset seorang anak untuk bisa mengembangkan dan menceritakan dengan asyik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun